Oleh Ammy Amelia
Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah
Sejak tahun 2017, Indonesia telah mengubah batas wilayah perairan utara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menjadi Laut Natuna Utara. Wilayah Laut Natuna memiliki potensi sumber daya alam yang sangat melimpah, dari hasil laut hingga hasil tambangnya. Hal ini jelas sangat menggiurkan bagi negara-negara yang berbatasan langsung. Maka tak heran jika keberadaanya kerap menjadi sengketa.
Adalah China dan Amerika, dua negara besar yang tengah bersaing untuk mengklaim wilayah Natuna. Dengan fakta yang ada, harusnya Indonesia bersikap tegas terhadap kasus perebutan wilayah tersebut. Karena saat ini, kedaulatan negara sedang dipertaruhkan. Perebutan wilayah tersebut jelas akan berdampak besar pada rakyat Indonesia, terutama warga setempat di wilayah Natuna.
Sebagaimana diketahui, belum lama ini China menuntut Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas bumi di ring lepas pantai Laut Natuna Utara. Melalui surat dari Diplomat China kepada Kementrian Luar Negeri Indonesia yang menegaskan bahwa lokasi pengeboran tersebut berada di wilayah yang diklaim milik China. Padahal menurut konvensi PBB tentang Hukum Laut menyatakan bahwa Laut Natuna merupakan ZEE Indonesia. Sehingga aktivitas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam harusnya menjadi kewenangan penuh negara Indonesia.
Namun faktanya, kedaulatan negara tidak cukup kuat untuk mencegah klaim China atas Natuna. Pasalnya, jeratan pinjaman utang luar negeri seolah menjadi benteng atas wibawa dan kedaulatan negara. Sehingga sebagai bentuk konsekuensi, China pun ikut mendominasi setiap kebijakan pemerintah negeri ini.
Dalam sistem kapitalis, jeratan utang menjadi salah satu bentuk penjajahan. Bahkan China yang notabene penganut sosialis pun ikut mengambil kesempatan dalam sistem kapitalis ini. Melalui jeratan utang, China mampu memperluas kekuasaan bahkan tidak segan memperebutkan wilayah jika dianggap mendatangkan keuntungan. Kapitalisme yang berasaskan manfaat, jelas menimbulkan berbagai kerusakan. Di mana kerusakan yang terjadi bukanlah sebuah kebetulan, namun merupakan kerusakan yang sistematis. Maka tanpa adanya perubahan fundamental, mustahil tercapai kebangkitan umat secara total.
Sejatinya hanya sistem Islam solusi hakiki. Sistem yang mampu menjamin kedaulatan negara secara penuh. Karena pengaturan kepemimpinan berdasarkan syariat Islam bukan dalam rangka pemenuhan ambisi kekuasaan, namun atas dasar kesadaran menjalankan amanah demi meraih rida-Nya. Amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sehingga para pemimpin selalu mengutamakan kemaslahatan umat, bukan sekadar berburu manfaat.
Adapun sistem ekonomi Islam tidak menjadikan utang sebagai solusi dan tumpuan dalam menjaga kestabilan ekonomi negara. Pemimpin justru membebaskan negara dari jeratan utang, sehingga tidak dibutuhkan balas budi yang berakibat adanya campur tangan asing terhadap urusan dalam negeri. Negara mampu menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan stabilitas kedaulatan di mata dunia. Maka hanya dengan kembali pada tatanan yang bersumber dari Sang Pencipta sekaligus Pengatur Alam Semesta, tidak akan terjadi kasus perebutan wilayah seperti di Natuna. Negara akan diantarkan pada posisi adidaya yang ditakuti dan disegani negara lain. Seperti yang telah terbukti 13 abad lamanya, saat Islam dijadikan aturan maka akan tercipta kedaulatan hakiki dalam peradaban mulia nan gemilang.
Wallahua’lam bishawab.
Post a Comment