RUU TPKS BUKAN SOLUSI KEKERASAN SEKSUAL

Oleh: Nurul Rabiatul Adawiyah (Aktivis Dakwah Kampus)

Belum tuntas masalah permendikbut No. 30 tahun 2021, kini DPR melangkah lebih jauh lagi untuk mengesahkan RUU TPKS (Tindakan Pidana Kekerasan Seksual).

Banyak organisasi Islam masih meminta DPR agar tidak terburu-buru mengesahkan RUU tersebut, sebab masih ada beberapa hal yang kontroversial.

Sebagaimana kita ketahui, Majlis Ormas Islam (MOI) juga sudah secara resmi mendatangi DPR dan menyampaikan aspirasi tentang Permendikbud No.30 tahun 2021. Sebab, Permendikbud itu masih menggunakan paradigma sexual consent dan relasi gender. Dalam paragdigma itu yang dipersoalkan dalam kasus seksual hanyalah yang dilakukan dengan tanpa persetujuan para pelakunya. Jika dilakukan suka sama suka maka tidak perlu dipersoalkan.

Namun, lagi-lagi DPR saat ini ingin mengesahkan RUU PTKS yang dimana RUU ini juga termasuk muatan paradigma sexual consent (ada atau tidaknya persetujuan dalam hubungan seksual). Karena itulah, setelah mengkaji RUU TPKS, Majlis Ormas Islam (MOI) menyatakan sikapnya yakni,

1. Mengimbau agar DPR melakukan uji publik naskah akademik (NA) yang baru dikeluarkan setelah RUU TPKS agar tidak terkesan terburu-buru dan seperti menggunakan logika jungkir balik, dimana RUU dulu dikeluarkan baru NA disusulkan, serta agar menjadi koreksi internal DPR atas metode pembuatan RUU yang tidak sesuai tata aturan yang selama ini berlaku

2. Menghimbau DPR agar menghilangkan seluruh paradigma sexual consent dalam draf RUU TPKS dan kerangka berpikir feminist legal theory karena tidak sejalan dengan Pancasila, Agama, dan Budaya Indonesia dan telah ditolak oleh banyak akademisi dan elemen masyarakat. Hal ini terlihat dengan tetap dipertahankan diksi kekerasan hubungan seksual dan pemaksaan.

3. Mengingatkan DPR bahwa RUU TPKS ini berpotensi menjadi tandasan hukum bagi kaum feminis radikal dalam mengembangkan pendidikan seks yang aman menggunakan kondom dan sejenisnya kepada murid sejak usia dasar atau sering disebut sebagai comprehensive sexual education (CSE) yang telah ditolak oleh banyak SLM di barat, dimana generasi bangsa diarahkan untuk melihat kehalalan sebuah perzinahan tidak lagi dengan sudut pandang agama, tetapi sekedar dilihat dari sisi hubungan seksual yang sehat dan aman tanpa kekerasan dan ancaman

Demikianlah pernyataan MOI tentang RUU TPKS dan masih ada beberapa pernyataan dari MOI dalam menanggapi RUU TPKS tersebut, dan hal ini ditanda tangani oleh ketua presidium MOI: KH. Nazar Haris. Meskipun hampir semua fraksi menyetujui RUU TPKS, tetapi MOI tetap berharap DPR bersedia menunda pengesahannya, (Hidayatullah.com, Jum’at 10/11/2021).

Menanggapi terkait RUU TPKS bukanlah sebuah solusi tuntas dalam menggani permasalahan tersebut. RUU TPKS ini hanya berfokus pada tindakan kekerasan seksual semata tetapi tidak menangani keseluruhan perkara-perkara yang membawa seseorang pada perbuatan nista. Apabila hubungan seksual dilakukan dengan lemah lembut maka tidak akan dipermasalahkan. RUU TPKS ini tidaklah berbeda dengan UU Permendikbud yang dimana dalam UU tersebut tidak mempermasalahkan terjadinya perzinahan atau hubungan seksual apabila dilakukan dengan persetujuan.

RUU TPKS ini sebenarnya bermaksud melindungi masyarakat dari tindakan kekerasan seksual, khususnya para pelajar dan mahasiswa. Semuanya tentu sepakat tidak boleh ada pelanggaran kehormatan, sebagaimana dinyatakan dalam RUU TPKS tersebut, baik pada perempuan maupun laki-laki, anak-anak maupun dewasa.

Hanya saja, menilik definisi kekerasan seksual yang tercantum dalam peraturan yang ingin disahkan oleh DPR tersebut hanya dilakukan tanpa persetujuan korban bila ada persetujuan korban maka tidak dipermasalahkan, dengan demikian UU ini akan memberikan payung hukum bagi perzinahan.

Sebab, yang menjadi fokus utama dalam RUU TPKS tersebut hanya berfokus pada korbannya saja, namun tidak memberikan jalan keluar yang hakiki bagaimana kasus perzinahan tersebut akan terselesaikan di negeri ini.

Hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah RUU TPKS ini dapat menyelesaikan persoalan kekerasan seksual atau justru memperparah kondisi ?

Yang lebih mirisnya adalah kasus kekerasan seksual ini sering terjadi diranah pendidikan, yang dimana fungsi utama pendidikan itu sendiri untuk bisa memperbaiki moral anak bangsa namun kini fungsi pendidikan sudah tidak ada lagi. Potret seorang guru yang telah diberi kepercayaan oleh para orangtua untuk mendidik, memberi tauladan serta bertanggung jawab terhadap anak-anak mereka justru menjadi penghancur masa depan mereka dengan sangat keji.

Sebagimana yang dilakukan laki-laki paru baya bernama Heryy Wirawan yang merupakan pemilik ponpes tahfidz al-ikhlas, yayasan al-huda antapati dan madani boarding school cibiru serta ketua forum pondok pesantren di bandung, Jawa Barat, ternyata tidak lebih dari seorang predator anak. Sedikitnya siswa ada 12 santriawati dipersekosa hingga banyak diantaranya yang hamil dan melahirkan.

Kasus ini banyak mengundang kritikan dan reaksi dari berbagai pihak termasuk pemerintah dan menyatakan bahwa melihat kondisi ini. Maka, pengesahan undang-undang tentang kekerasan seksual merupakan hal yang sangat mendesak. Sebagian besar fraksi di DPR sudah menyetujui agar RUU TPKS segera disahkan menjadi undang-undang tetapi banyak pula dari ormas Islam meminta DPR untuk tidak segera mengesahkan RUU TPKS tersebut sebab ada beberapa hal yang menuai kontroversi.

Sebab RUU TPKS ini hanya berfokus pada konten kekerasan saja dan tidak menanggapi terkait kasus perzinahan yang tanpa kekerasan. Bila solusi maraknya kekerasan seksual dan perzinahan di jawab dengan UU TPKS, hampir bisa dipastikan kondisi moral bangsa Indonesia akan semakin rendah dan terpuruk. Perzinahan akan tetap merajalela sebab tidak ada undang-undang yang menyelesaikannya.

Pada akhirnya orangtua akan semakin merasa cemas melepaskan anak-anak mereka di dalam dunia pendidikan terutama pesantren sebab tidak ada undang-undang yang mencegah mereka melakukan perbuatan nista atau zina itu sendiri.

Sesungguhnya hal yang paling mendesak yang harus kita lakukan saat ini adalah menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Sejatinya, kekerasan seksual hanya terjadi di dalam sistem kapitalis yang merupakan sebuah sistem yang rusak. Sebuah sistem yang tidak akan pernah melahirkan sebuah solusi yang hakiki dalam menanggani setiap problematika umat.

Sistem ini mengagungkan kebebasan dan mencampakan aturan agama dalam mengatur kehidupan. Semua ini ada di dalam sistem kapitalisme yang berlandaskan sekularisme. Maka, untuk tuntas dari persolan ini, harus diterapkan suatu sistem yang berlandaskan pada keimanan dan kepatuhan kepada seluruh hukum Allah SWT. yaitu sistem Islam.

Islam adalah sistem yang menjamin pemenuhan kebutuhan hidup manusia, menentramkan jiwa dan memuaskan akal. Islam memiliki tatanan kehidupan yang mampu menghentikan perilaku seks bebas dan mencegah munculnya peluang menyimpangan terhadap seks bebas. Seluruh kehidupan Islam membuat seseorang takut melakukan tindakan kemaskiatan sebab rasa keimanan terhadap Allah serta beratnya tanggung jawab yang akan diterima. Maka, negara memiliki peran yang sangat penting untuk membuat moral masyarakat yang baik tentunya sesuai dengan Al-quran dan As-sunah.

Islam memiliki beberapa cara untuk mengatasi permasalahan seks bebas dan kekerasan seksual. Yang pertama, Islam telah memerintahkan kepada keluarga untuk mendidik anggota keluarga dengan ajaran Islam. Kemudian sebagai tindakan preventif, Islam memiliki seperangkat aturan yang tegas dan jelas diantaranya mewajibkan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat, dilarang khalawat (berduaan), laki-lai dan perempuan juga di minta untuk saling menundukan pandangan. Bila semua itu dilanggar tentu ada sanksi yang akan diterima.

Selain itu Islam memelihara urusan masyarakat agar berjalan sesuai dengan aturan Allah SWT. Oleh karena itu, Islam telah menyiapkan sanksi yang diterapkan negara bagi yang melanggar aturan Allah SWT. menerapkan hukum rajam dan diasingkan bagi pezina mushan (yang sudah menikah). Sedangkan bagi pezina bukan mushan dihukum cambuk 100 kali.

Dan Islam juga melarang aktivitas atau membuat konten-konten yang berbaur pornografi dan segala perkara yang bisa membangkitkan nafsu. Pelaku akan diberikan tindakan tegas tanpa ada dikriminasi hukum. Islam memerintahkan untuk melakukan amar ma’aruf nahi mungkar, seorang muslim tidak diperkenankan membiarkan adanya kemaksiatan. Berdiam diri terhadap kemaksiatan yang terjadi sama dengan mengundang musibah bagi seluruh umat.

Demikianlah, Islam hadir di tengah- tengah umat bukan sebagai alat untuk menistakan dan memporak-porandakan moral umat. Melainkan, sebagai payung kedamaian untuk kehidupan dunia hingga akhirat.

Wallahualam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post