Oleh Hany Handayani, S.P.
(Aktivis Muslimah)
Indonesia sebagai negara berkembang sudah lama terlibat utang luar negeri. Hingga detik ini saja menurut Bank Indonesia utang Indonesia kian bertambah hingga Rp 6.008 triliun atau naik 3,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Namun, bertambahnya utang negara tak menyurutkan langkah pemerintah negeri ini untuk melakukan utang kembali. Dengan dalih persentase yang masih dianggap "aman", hingga pernyataan bahwa utang Indonesia yang masih tergolong sehat, membuat negara ini terus melanjutkan kebijakan pemerintah sebelumnya yakni utang luar negeri (ULN).
Direktur Eksekutif Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono bahkan mengatakan bahwa penarikan pinjaman luar negeri saat ini adalah untuk penanganan dampak pandemi Covid-19. Serta usaha untuk menjaga kredibilitas pemerintah dalam pengelolaan ULN melalui pelunasan pokok pinjaman yang jatuh tempo.
Jika ditinjau dari syarat mengajukan utang luar negeri, sebenarnya tidak mudah untuk mendapatkannya. Sebab, ada kemungkinan hal tersebut bisa mempengaruhi beberapa kebijakan dalam negeri. Selain itu, perjanjian hitam di atas putih ini pun, pada akhirnya akan menjerat negara-negara berkembang yang melakukan utang. Membuat mereka tak bisa lepas dari ULN.
Lihatlah bagaimana pemerintah mengeluarkan kebijakan penjualan beberapa aset negara. Begitupun penyerahan sumber-sumber daya alam dengan kedok investasi, yang justru merugikan negara. Itu semua adalah salah satu dampak dari kebijakan utang luar negeri.
Tidak sebanding dampak dengan manfaat yang didapatkan dari utang. Hal itu harusnya membuat pemerintah jera dan mulai berpikir untuk membangun negeri ini tanpa utang. Bukan malah melanjutkan kebijakan yang sudah usang dan tak menguntungkan sama sekali untuk negeri ini.
Saat ini Pemerintah masih optimis bahwa ULN Indonesia bisa menyelesaikan masalah keuangan negara. Walau nyatanya harus tertatih-tatih membayar utang dengan utang. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase ULN yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun rinciannya sebagai berikut: sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (17,8% dari total ULN Pemerintah), sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (17,2%), sektor jasa pendidikan (16,4%), sektor konstruksi (15,4%), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (12,6%).
Dari pemaparan di atas, nampaknya mindset membangun negeri dengan utang sudah tertanam dalam benak pemerintah. Bahkan seperti sudah terbius oleh janji manis ULN, hingga tak sadar bahwa ULN ini nyatanya merupakan bagian dari bentuk penjajahan masa kini. Buktinya dari sekian negara berkembang yang terjerat ULN, adakah yang berhasil menjadi negara yang maju dan lepas dari jeratan utang? Tentu saja tidak ada. Karena tujuan utama dari pihak pemberi utang adalah menjerat negara-negara berkembang yang memiliki banyak sumber daya.
Semakin berkembangnya zaman, fakta penjajahan pun semakin beragam bentuknya. Tak hanya penjajahan secara fisik namun penjajahan dalam bentuk pemikiran, jerat utang juga nampaknya jadi alat yang paling efektif.
Buktinya tak sedikit negara-negera berkembang yang terjebak dalam lilitan utang dan akhirnya harus merelakan sumber daya alam di negaranya jatuh ke tangan penjajah.
Penjajahan lewat utang berkepanjangan adalah bagian dari agenda besar para penjajah Barat demi menguasai sumber daya alam. Melalui utang berbalut riba membuat negara takluk tak berkutik. Sebab tak mampu lepas dari jeratan mautnya. Riba hanya memberikan keberhasilan semu dalam membangun negara. Tak ada sejarah yang mencatat sebuah negara yang mampu bangkit dan berkembang dari riba. Justru sebaliknya, negara yang terlibat riba menjadi pesakitan yang akhirnya menyebabkan kesengsaraan rakyat banyak.
Sebaiknya kita belajar dari pengalaman pribadi dan juga negara berkembang lainnya, bahwa pembangunan yang dilandasi dengan utang tak lebih dari sebuah aksi masuk jurang. Memang hukum berhutang sendiri adalah mubah alias diperbolehkan. Namun jika sudah berkaitan dengan riba maka menjadi lain cerita. Lantaran Islam dengan jelas mengharamkan riba.
Sebagaimana yang disampaikan dalam ayat dibawah ini, yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir." (TQS. Ali-Imron [3]: 130).
Wallahu alam bishawab
Post a Comment