Penulis Opini Bela Islam Akademi Menulis Kreatif
Bagaikan jamur tumbuh di musim hujan. Itulah peribahasa yang tepat atas maraknya kasus perzinaan saat gerakan moderasi beragama diaruskan. Adakah korelasinya? Sungguh nyata, pengaruh moderasi beragama sudah mengikis iman generasi muda, tidak terkecuali orang dewasa. Bahkan, di semua kalangan dan tidak mengenal status sosial. Ironisnya, predikat guru mengaji, ustaz, kiai pun turut diterpa isu zina. Siapa yang harus dipersalahkan?
Terbongkar, modus pemerkosaan yang terjadi di pesantren Tahfidz Madani di Bandung milik Herry Wirawan. Herry seorang ustaz (guru) sekaligus pemilik pesantren memperkosa dua belas santrinya hingga hamil. Bahkan, sudah ada sembilan anak yang lahir dan dua janin masih ada dalam kandungan akibat perbuatan bejat Herry Wirawan.
Menurut Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), kejahatan Herry tidak hanya melakukan pemerkosaan terhadap santrinya, dengan diiming-imingi akan dikuliahkan. Lebih dari itu, diduga ada unsur eksploitasi ekonomi. Sebab, anak-anak yang dilahirkan dari korban diakui sebagai anak yatim piatu yang dijadikan alat oleh Herry untuk meminta dana di sejumlah pihak. Herry juga memaksa korban sebagai kuli saat membangun gedung di pesantren daerah Cibiru. Tidak hanya itu, uang dana BOS dan dana Program Indonesia Pintar (PIP) untuk para korban diambil pelaku. (Dikutip suara.com, 10/12/2021)
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan DPR minta pemerkosa santriwati dihukum kebiri. Menurut Waketum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, seharusnya Herry dihukum rajam, dilempari dengan batu hingga mati. Tetapi, karena Indonesia bukan negara Islam maka hakim harus berani memberikan sanksi hukum yang seberat-beratnya. Benarkah pernyataan Waketum MUI Anwar Abbas?
Itulah fenomena di alam demokrasi sekularisme. Nyata sekali, jika menafikan aturan Allah Swt. Sekularisme biang keroknya, yakni paham yang memisahkan agama dengan kehidupan. Agama hanya sebatas urusan ibadah mahdah (rutinitas) saja. Seharusnya, agama dipakai sebagai pedoman hidup. Akibatnya, perbuatan-perbuatan seperti pergaulan bebas, seks bebas, pacaran, aborsi, prostitusi, perselingkuhan, dan perbuatan amoral lainnya dianggap sebagai hal yang lumrah atau wajar.
Ironis memang, pergaulan bebas, seks bebas tidak hanya di kalangan pelajar dan mahasiswa, tetapi merambah hingga menyusup ke ranah pesantren, aneh. Mengapa? Semua ini tidak lepas dari program rezim dalam mengaruskan moderasi beragama secara masif, sistematis, dan terstruktur melalui kurikulum Kemenag dan Kemendikbud.
Telah dilaksanakan oleh Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi, menghapus konten-konten terkait ajaran radikal dalam 155 buku pelajaran agama Islam. Ini merupakan program penguatan moderasi beragama Kemenag. Termasuk konten jihad dan khilafah diamputasi sehingga maknanya berubah tidak sesuai dengan syariat Islam. (CNN Indonesia, 2/7/2020)
Bahkan, Menag Yaqut Kholil Qoumas dalam rekontekstualisasi fikih menyebut khilafah jadi bencana umat Islam. (tempo.co, 26/10/2021). Jika ditelisik dari pernyataan kedua Menag di atas tersurat bahwa rezim anti khilafah.
Melalui Ditjen Pendidikan Islam, pada Juli 2020, mengeluarkan buku modul Membangun Karakter Moderat untuk MI, Mts, dan MA. Ditegaskan dalam pengantarnya bahwa buku tersebut mengandung dua inti, yakni moderasi agama dan revolusi mental. Menurut Fahmi Lukman, Mantan Atdikbud RI untuk Mesir, jika dicermati tampak ada penggeseran dari pluralitas sosiologi ke pluralitas agama yang memandang semua agama benar.
Jadi, telah tergambar dengan jelas bahwa sejatinya moderasi beragama pada dasarnya menjajakan pluralisme yang memandang semua agama sama benar. Ini merupakan proyek Barat untuk membendung tegaknya khilafah. Berupaya menghancurkan akidah umat Islam khususnya generasi muda dengan paham sepilis (sekularisme, pluralisme, liberalisme) melalui pengarusan moderasi beragama.
Akibatnya, generasi muda dan umat Islam tidak bisa membedakan haram dan halal, tidak mau terikat dengan aturan Allah Swt. dan menuntut kebebasan. Bahkan, dihinggapi islamofobia, yakni takut terhadap agamanya sendiri. Wajar, jika kasus perzinaan merajalela dan menggurita di mana-mana.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mengakui kekerasan seksual adalah dalam situasi gawat darurat, ibarat fenomena gunung es. Oleh sebab itu, negara perlu segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), salah satunya Permendikbud Nomor 30/2021. Hal ini ditolak oleh Majelis Ormas Islam (MOI) karena beraromakan liberalisme, yakni yang bisa dipersoalkan hanyalah jika dilakukan dengan paksaan. Apabila dilakukan suka sama suka, maka tidak bisa dipersoalkan. Artinya, Permendikbud No 30/2021 sama dengan melegalisasikan seks bebas.
Belum lagi hukum yang tidak transparan, rekam jejak hukum di Indonesia bisa diperjualbelikan, dan vonisnya ringan. Ini mendorong pelaku kemaksiatan tidak jera. Tuntutan hukuman kebiri bagi pemerkosa adalah sanksi batil, tidak menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah baru. Sebab, kebiri (kimia) ada efek samping, seperti osteoporosis, penyakit jantung, depresi, dan anemia. Otomatis ini beban, menjadi tanggung jawab negara. Sudah terbukti, bahwa undang-undang buatan manusia, yakni sistem demokrasi sekuler hanya menghasilkan kerusakan dan kesengsaraan. Mengapa masih dipertahankan?
Islam Menumpas Perzinaan
Syariat Islam merupakan aturan Allah yang sempurna dan menyeluruh, sebagai problem solving terhadap semua permasalahan manusia termasuk cara menanggulangi pergaulan bebas (zina). Allah Swt. mengharamkan perbuatan yang mendekati zina, tidak lain adalah merupakan hukum preventif (pencegahan) agar tidak terjadi perzinaan. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. al-Isra' ayat 32: "Dan janganlah kamu mendekati zina; Zina itu sungguh perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk."
Allah melarang mendekati zina, apalagi melakukan zina. Agar tidak terjerumus dalam perbuatan zina, syariat Islam memberikan aturan yang bersifat preventif (pencegahan) meliputi: larangan berkhalwat (berduaan dengan nonmahram), larangan berikhtilat (campur baur antara laki dan perempuan yang bukan mahramnya), larangan mengumbar aurat, dan larangan mengumbar pandangan mata.
Adapun hukum kuratif, syariat Islam mewajibkan kepada negara untuk memberikan sanksi (uqubat) terhadap pelaku zina baik muhshan (sudah menikah), maupun ghayru muhshan (belum menikah). Jika sudah menikah dirajam sampai mati, yakni dengan cara tubuhnya ditanam setinggi dada, kemudian dilempari batu hingga mati. Adapun yang belum menikah dicambuk seratus kali (100x), dan diasingkan selama setahun.
Sedangkan pelaksana eksekusi Islam mewajibkan negara (khilafah) yang disaksikan oleh sebagian kaum muslimin. Sehingga hukum Islam yang bersifat tegas dapat berfungsi sebagai zawajir (pencegah) artinya mencegah manusia dari tindak kejahatan dan sebagai jawabir (penebus dosa) artinya di akhirat tidak dimintai pertanggungjawaban (tidak dihisab). Keagungan dan keistimewaan hukum Islam ini hanya ada pada sistem pemerintahan Islam (khilafah) dan tidak ada pada sistem hukum positif. Inilah salah satu di antara keunggulan sistem Islam (khilafah).
Keagungan dan kemuliaan Islam baru bisa dirasakan jika syariat Islam diterapkan secara menyeluruh (lihat: QS. al-Baqarah ayat 208).
Artinya tidak hanya sanksi hukum saja yang diterapkan, tetapi harus disertai penerapan aturan lainnya, di antaranya:
1. Pelaksanaan sistem pendidikan Islam yang berasaskan akidah Islam. Bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam, yakni pola pikir dan pola sikapnya berlandaskan akidah Islam. Dengan demikian, akan terbentuk insan-insan bertakwa yang menjadikan haram dan halal sebagai tolok ukur berbuat dan beramal.
2. Penerapan sistem ekonomi Islam, yang mampu menciptakan kesejahteraan pada masing-masing individu. Sehingga tidak ada lagi yang beralasan melakukan perzinaan karena motif ekonomi.
3. Pengaturan media, negara harus tegas melarang semua media yang menayangkan pornografi, pornoaksi, pemikiran-pemikiran batil yang dapat merangsang syahwat.
Aturan-aturan tersebut di atas tidak mungkin bisa terealisasikan, kecuali adanya institusi yang menerapkan Islam secara kafah, yakni khilafah Islamiyah.
Walhasil, hanya sistem Islam (khilafah) yang bisa menumpas zina dan bentuk kemaksiatan yang lainnya. Sayangnya saat ini khilafah belum tegak, justru potensi generasi sebagai khoiru umah, pejuang khilafah, dibajak oleh kafir penjajah dan antek-anteknya dengan mengaruskan moderasi beragama. Saatnya sistem demokrasi-sekuler kita campakkan dan diganti dengan sistem khilafah ala minhajjin nubuwwah.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment