MEMBONGKAR BAHAYA REKONTEKSTUALISASI FIKIH DALAM MODERASI ISLAM


Oleh: Anik Susilowati

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memberikan sambutan pada pembukaan Konferensi Pendidikan Islam, Annual International Conference on Islamic studies (AICIS) pada Senin (25/10/2021) di The Sunan Hotel Solo. Tema konferensi adalah “Islam in A Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy”.
Dalam sambutannya dia mengatakan perlunya peran penting akademisi dalam merekontekstualiasi konsep fikih, hal ini dilakukan untuk menyesuaikan keadaan zaman yang terus berubah. Konferensi ini diadakan hingga 28 Oktober 2021 dengan tuan rumah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta yang diikuti akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dan sejumlah ilmuwan dari Arab Saudi, Iran, Amerika Serikat, Inggris, Turki, Korea Selatan, dan Malaysia.

Menag juga menjelaskan alasan-alasan para ahli harus merekontekstualiasi ilmu fikih atau ortodoksi Islam. Antara lain ialah agar praktik pengamalan Islam tidak bertentangan dengan pesan keislaman itu sendiri. Menag juga mengatakan kontekstualisasi fikih sudah dimulai sejak awal peradaban Islam hingga bermunculan sejumlah mazhab. Di masa kini, kontekstualisasi fikih juga perlu dilakukan karena terjadi perubahan tatanan kehidupan yang sangat pesat. (https://www.detik.com/edu/perguruan-
tinggi/d-5782051/buka-aicis-2021-menag-ungkap-pentingnya-rekontekstualiasi-fikih)
Rekontekstulisasi fiqih Islam adalah menundukkan fiqih Islam agar sesuai dengan fakta yang ada. Fakta menjadi standar atau norma yang absolut yang harus diikuti. Fiqih Islam menjadi pemikiran yang relatif dan wajib ditundukkan pada fakta.
Contoh rekontekstualisasi fiqih Islam yang ada di Indonesia seperti: 1) Memberikan ucapan selamat natal dan perayaan natal bersama; 2) Hukum menutup aurat (Tafsir Misbah: tidak wajib, hanya kesopanan karena sudah aman); 3) Pemimpin keluarga dan kewajiban mencari nafkah (Pemimpin keluarga dan kewajiban mencari nafkah bisa perempuan, karena illatnya mencari nafkah. Kondisi masyarakat: dulu yang bekerja laki-laki, sekarang laki-laki dan perempuan. Menurut Prof. Dr. Zaitunah Subhan dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebencian. Secara sosiologis, siapapun yang mampu berjalan, berusaha dan berupaya untuk mengayomi dan menjadi penopang keluarga maka dialah yang menjadi pemimpin, dialah yang disebut Ar-Rijal dalam ayat 34 surah An-Nisa, tanpa memandang apakah dia perempuan secara biologis ataupun laki-laki); 4) Tafsir Kontekstual/Hermeneutika: homoseksual boleh karena hanya orientasi seks -tetap sholeh- adalah pendapat dari salah satu penafsir kontemporer yaitu Musdah Mulia;  dan 5) yang terbaru adalah dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyebut rekontekstualisasi fiqih Islam untuk menghilangkan Khilafah, karena Khilafah dianggap akan menjadi bencana bagi umat Islam kalau diperjuangkan untuk eksis lagi.

Bahaya Rekontekstualisasi Fikih
Dari rekontekstualisasi terhadap fiqih Islam di atas, umat Islam akan menghadapi berbagai bahaya apabila terus berlanjut. Bahaya-bahaya tersebut antara lain:
Pertama, Lepasnya keterikatan umat pada syariat: Karena meski yang mereka serang adalah ortodoksi syariat Islam di era klasik, hakikatnya mereka sedang mengebiri ajaran Islam menjadi sebatas nilai-nilai moral. Mereka beranggapan bahwa agama sejatinya merupakan kumpulan norma semata-mata, sementara norma merupakan respons terhadap fakta. Oleh karenanya, menurut mereka, umat harus fokus pada tujuan norma agama atau maqashid asy-syari’ah, bukan pada fikihnya.

Kedua, Mengokohkan hegemoni sekulerisme kapitalisme: Dari semua rencana rekontekstualisasi fiqih Islam, sebenarnya ada agenda dari kafir barat terhadap umat Islam. Mereka hendak mengokohkan hegemoni mereka dalam hal ini sistem sekulerisme kapitalisme, dengan menjauhkan umat Islam dari Islam itu sendiri. Karena mereka punya kepentingan ekonomi dan politik atas umat Islam. Dan ketika umat Islam telah memilih sebagai Islam modern atau Islam moderat, maka pada saat itu semua aturan, semua hukum dan semua kebijakan mereka akan dengan sangat mudah diterapkan oleh umat Islam. 
Hingga ketika di era sekarang muncul gerakan yang mengancam sistem kapitalisme neoliberal, ada kepentingan bagi sistem yang eksis dan para penjaganya untuk menghalangi kembalinya kebangkitan Islam. Salah satu caranya, dengan melontarkan gagasan-gagasan yang mengkonter keinginan umat hidup kembali di bawah naungan Islam. Lantas mereka mempropagandakan bahwa syariat Islam tak relevan dengan zaman, sehingga mesti diotak-atik sesuai kehendak akal pikiran.
Ketiga, Bunuh diri politik: umat tetap dalam penderitaan karena tidak ada solusi hakiki (penerapan Islam kafah oleh negara): Menerima gagasan rekontekstualisasi ini sama dengan bunuh diri politik di hadapan musuh yang menghendaki keburukan tetap lekat dengan kehidupan umat Islam. Karena tanpa syariat Islam umat akan terjauhkan dari solusi hakiki problem hidup yang mereka butuhkan. Mereka justru akan terus dicengkeram oleh sistem hidup kapitalisme sekuler yang mengukuhkan penjajahan dan semestinya segera dicampakkan.

Rekontekstualisasi Fiqh yang membahayakan Islam dan umatnya hari ini adalah bagian dari upaya memoderasikan Islam. Moderasi Islam ini sudah berulang-kali menampakkan kejahatannya yang berupaya mengubah pemahaman umat Islam terhadap aqidah dan syariat Islam yang sebenarnya. Dengan mentafsir ulang nash-nash yang ada sesuai dengan konteks yang ada. Akibatnya bukan umat yang wajib terikat hukum syariat dengan mengubah realita yang ada agar sesuai syariat Islam, tetapi agar umat terikat dengan keadaan yang ada dan syariat Islam menyesuaikannya. Upaya mengubah syariat Islam jelas merupakan upaya sesat-menyesatkan. 

Dibalik moderasi Islam, Baratlah yang mempunyai kepentingan menjauhkan umat Islam dari Islamnya. Barat sadar bahwa Islam bukan sekedar agama ruhiyah, tetapi Islam adalah sebuah ideology. Pada saat Islam adalah sebuah ideologi, itu adalah batu sandungan bagi mereka untuk menyebarkan ide kapitalisme sekulerisme. Oleh karenanya mereka berusaha agar umat Islam menjadikan Islam hanya sebagai agama ruhiyah. Usaha itu salah satunya dengan menyebarkan Islam Liberal  dan yang terbaru adalah Islam Moderat atau moderasi Islam.

Jadi jelas, bahwa isu radikalisme, moderasi, dan rekontekstualisasi lahir dari rahim yang sama yaitu sekularisme kapitalisme, dan memiliki tujuan yang satu yakni melanggengkan penjajahan barat serta menjegal kebangkitan Islam ideologis.

Kembalilah pada Metode Ijtihad yang Syar’i
Islam adalah diin yang datang dari Allah SWT, Zat Yang Maha Pencipta, Maha Tahu, Maha Adil, dan Maha Sempurna. Islam adalah sebuah ideologi yang mampu menjawab seluruh problematik umat dari masa ke masa.

Hal ini terkait karakter Islam yang memiliki fleksibilitas hukum luar biasa. Terutama karena sumber hukumnya adalah nash-nash yang bersifat global (mujmal) dan general (‘aam) yang memungkinkan bagi para mujtahid melakukan penggalian untuk menghukumi setiap persoalan yang muncul.
Namun, fleksibilitas ini tentu bukan berarti syariat tunduk pada realitas, lalu bisa melar dan diubah-ubah hingga hilang eksistensinya. Proses ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid mengharuskan syarat ketat dan ada adab-adab ilmiah yang tak boleh dilanggar.

Sungguh, kehidupan umat di masa lalu layak menjadi ibrah. Saat mereka berpegang teguh pada syariat Islam, umat Islam hidup penuh kemuliaan. Mereka mampu menjawab semua tantangan zaman dan mampu tampil sebagai pemimpin peradaban cemerlang.

Cukuplah ayat Allah ini kita renungkan: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS Al Maidah: 49). Wallahu a’laamu bi as-showwab.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post