Liberalisasi Pergaulan, Hidup dan Mati Bebas




Oleh Liza khairina

Banyak peristiwa hangat yang terjadi dalam sepekan ini. Semuanya nyaris menyindir kita dan harus kita ambil sebagai pelajaran. Ibrah bagi kita, keluarga, masyarakat, khususnya pemangku kebijakan negara. Dimulai dari klaim Cina atas Pulau Natuna yang terus berulang terjadi. Erupsi Gunung Semeru, sementara tidak ada sinyal sebelumnya. Juga kasus bunuh diri seorang mahasiswi. Depresi yang dideritanya boleh jadi akibat satu di antaranya adanya rekam jejak dua kali aborsi, dan dunia maya dibuat heboh karenanya. Semua ini harus menyentuh perasaan kita, menjadi pemikiran kita. Menanggung bersama urusan umat ini. Jangan sampai terbersit kalimat, ini bukan urusan kita, kemudian bersikap tidak peduli pada setiap peristiwa. 

Berbagai kejadian di atas, telah menjelaskan pada kita bahwa ada yang salah dalam pengurusan negeri ini. Jangan selalu berpikir, apalagi menimpakan setiap kejadian pada kehendak Allah Swt. semata. Pada takdir kehidupan yang harus diterima dan dijalani. Dibutuhkan sikap jujur yang penuh kesadaran, tidak enggan mengakui kelalaian. Senantiasa melakukan muhasabah. Koreksi diri oleh seluruh penduduk negeri. Lebih-lebih mereka yang duduk di kursi kekuasaan negeri ini. Karena pasti rumusnya, tidaklah kehidupan dan manusia itu berjalan kecuali bergerak karena pemberlakuan aturan. Hari ini, aturan itu mengotori naluri kemanusiaan kita, yaitu sekularisasi agama dari kehidupan.


Sampel peristiwa yang menghentakkan hati para orang tua dan masyarakat adalah bunuh dirinya seorang mahasiswi di samping  makam ayahnya. Dalam keterangan laman KumparanNEWS, ,(6/12/2021) NW (inisial korban) nekat mengakhiri hidupnya karena depresi. Muncul dugaan, anggota polisi yang juga kekasih korban menjadi pemicunya. Di media sosial terungkap informasi yang lebih banyak. Adanya tekanan psikologis yang diterima korban, mulai dari kekasihnya, orang tua kekasihnya hingga aborsi. Membuat korban putus asa dan dihantui rasa bersalah. Lalu mengakhiri sendiri hidupnya.

Lagi-lagi menambah banyaknya bukti. Bahwa negeri dengan sistem sekular liberalnya telah gagal memelihara nyawa dan masa depan kemuliaan perempuan. Seorang perempuan yang dibesarkan dengan pemikiran bebas, terpengaruh perilaku bebas, berhubungan bebas, bahkan menentukan hidup dan matinya pun secara bebas. Ini menunjukkan kepada kita, sekularisme telah berhasil menipu dan melahirkan generasi instan. Mengambil paradigma modern ala Barat yang bertentangan dengan fitrah manusia. Berperilaku tanpa standar yang benar. Membiarkan diri terjebak dalam konsep HAM dan kebebasan tanpa batas.

Miris sekali hidup di negeri mayoritas Muslim tapi nir Islam. Umat Islam dibuat terasing dengan ajarannya sendiri. Pada saat yang sama, pemikiran liberal benar-benar telah mencengkram dengan konsep-konsep feminismenya yang merusak. Wacana pacaran sehat dengan kondom, campur baur laki-laki perempuan dengan saling menjaga hati, hubungan suka sama suka tanpa unsur paksaan (seksual consent) dan lain-lain, berangsur menghilangkan marwah dan identitas Muslimnya. Maka menjadi wajar jika berdampak pada tindak kekerasan yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sementara kontrol dan tanggung jawab negara dilakukan dengan setengah hati.

Jauh berbeda dengan Islam. Sistem kehidupannya ditegakkan sebagai pemelihara kehormatan personal dan masyarakat seluruhnya. Islam telah membatasi kehidupan sosial dengan konsep ghaddul bashar (menjaga pandangan), larangan ikhtilat (campur baur lain jenis) dan berkhalwat (bersepi-sepi berdua dengan lawan jenis). Hubungan antara lawan jenis diselamatkan dengan pernikahan, dan kontrol masyarakat yang dibangun atas pandangan tausiyah (saling mengingatkan dalam kebaikan dan saling mengingatkan dalam kesabaran)

Dari seluruh konsep sosial itu, tentu negaralah pemilik andil besarnya. Pengurusan umat tidak boleh sedikitpun membuka celah adanya konten-konten yang memungkinkan timbulnya syahwat. Menutup pintu yang menyebabkan reaksi naluri biologis cepat tumbuh dan berkembang di tengah-tengah lingkungan lembab liberalisme. 

Sejarah peradaban Islam sepanjang 13 abad telah membuktikan pemeliharaan kekuasaan terhadap lima kebutuhan asasi manusia (konsep Dharuriyatul Khoms). Ajaran Islam yang diadopsi negara lebih dari cukup untuk memelihara jiwa, harta, agama, keturunan dan akal masyarakatnya.


Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post