Liberalisasi Dibalik Layangan Putus


Oleh: Srihartati Hasir 
(The Voice of Muslimah Papua Barat)

Belakangan ini, series layangan putus sangat ramai diperbincangkan dijagat maya Indonesia karena kisahnya yang menguras emosi. Layangan putus ditulis lewat media sosial milik penulis Mommy ASF yang kemudian dialihkan menjadi novel yang sempat trending di sosial media Facebook pada 2019 lalu. Kini, setelah laris, novel itu pun diangkat menjadi serial web. Begitu mengejutkan Series 'Layangan Putus' sukses menarik banyak penggemar dalam kurun waktu beberapa hari saja. Alur cerita 'Layangan Putus' karya Mommy ASF ini merupakan kisah nyata yang menggambarkan kehidupan rumah tangga akibat adanya orang ketiga.
Series Layangan Putus ini mempunya judul yang menarik. Memilih sebuah istilah yang hampir tak ada hubungannya dengan dunia pernikahan, ternyata Mommy ASF mengartikan sebuah layangan putus sebagai sesuatu yang tak tentu arah. Serial ini dibanjiri pujian karena dianggap mirip drakor sebab alur ceritanya yang dinilai sangat apik dan adegan peran yang sangat professional para aktrisnya. Sayangnya, itu bukanlah sebuah kemajuan yang layak kita banggakan namun menjadi bahan renungan bahwa identitas kultural kita kian terkikis. Perilaku bebas makin mendominasi apalagi Serial Layangan Putus diketahui mendapatkan rating dewasa karena adanya adegan panas di episode – episode awal serial ini.
Ini bukan kali pertama dunia produksi film atau sinetron tanah air mendapat kecaman karena tidak ramah dengan usia pemirsa di bawah umur. Konten pornoaksi yang sangat vulgar dari beberapa serial sinetron sebelumnya bahkan mendapat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sinetron siapa takut jatuh cinta, makhluk manis dalam bis, dari jendela SMP, Samudra Cinta, Buku Harian Seorang Isteri, dianggap telah menampilkan adegan amoral untuk usia di bawah 17 tahun yang sangat tak layak dan mengarah pada pergaulan khusus suami isteri. (http://kincir.com, 10/06/2021)
Sangat jelas bahwa tontonan dari hari ke hari semakin berani menampilkan tontonan yang tak senonoh, dan ini sangat membahayakan bagi masyarakat khususnya anak – anak. Jadi, maraknya kasus perzinaan dan perkosaan yang dilakukan remaja salah satunya disebabkan banyaknya konten yang merangsang munculnya naluri seks mereka. Parahnya, konten – konten merusak seperti ini justru dianggap membawa keuntungan bagi para pengusaha. Keberadaannya masuk dalam bidang industri seni. Atas nama tuntutan pasar, mereka terus memproduksi film, sinetron, dan iklan yang mengumbar aurat dan gerakan – gerakan erotis. Bagi mereka penganut kapitalisme, apa pun akan dilakukan selama ada peluang yang menghasilkan uang. Bukan hanya datang dari para kapitalis pemilik modal, ancaman kerusakan remaja juga semakin nyata ketika negara terlibat di dalamnya. Alih – alih menjadi pelindung masa depan remaja, negara justru berada di pihak pengusaha. Kebijakan – kebijakan yang diambil bukannya menghentikan penyebaran pornografi dan pornoaksi, malah cenderung memeliharanya karena dianggap bisa menambah pendapatan negara. Adanya lembaga sensor pun lebih pada basa – basi tanpa arti. Tayangan merusak akhlak dan moral remaja tetap saja berseliweran dan bisa diakses siapa pun. Seharusnya negara menghentikan program – program berbahaya tersebut dan menindak tegas para pelanggarnya.
Faktanya negara sekedar menyeru orang tua dan keluarga bertindak selektif memilihkan tayangan anak – anak mereka dan menganjurkan untuk mendampinginya. Merebaknya pola asuh yang sarat nilai kebebasan serta jauhnya kehidupan generasi dengan aturan agama tidak terlepas dari kampanye liberalisasi yang terus digencarkan Barat kepada negeri – negeri Islam. Akibat sekularisme, generasi makin tergerus dengan arus budaya hedonis dan permisif. Terlebih jika para orang tua menjadikan pandangan sekuler sebagai acuan dalam mendidik anak. Maka, hasilnya bisa seperti si artis yang menganggap tindakannya membiarkan anak dan dirinya menonton film porno sebagai sikap orang tua yang terbuka. Bersama – sama menikmati tontonan yang tidak semestinya ditonton, baik orang tua maupun anak – anak.
Maka dari itu, penting bagi orang tua memahami dengan tepat dan benar bagaimana mendidik anak agar ia menjadi hamba yang senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tugas ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan sistem yang baik. Ada tiga pihak yang bertanggung jawab mendidik generasi. Pertama, keluarga yang menjadi tempat pertama pembentukan generasi melalui ayah dan ibu. Kedua, masyarakat tempat di mana generasi itu akan tumbuh dan hidup bersama masyarakat lainnya. Ketiga, Negara yang bertugas menciptakan sistem syariat Islam secara kaffah. Karena Islam bukan hanya agama ritual, tapi ia sistem kehidupan yang mampu menangkal generasi dari pemikiran berbahaya dan menyesatkan.
Beginilah langkah Khilafah menjaga generasi:
Pertama, menerapkan sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan merupakan cara melahirkan generasi berkepribadian Islam (ber-syakhsiyah Islam); memiliki bekal ilmu yang diperlukan dalam kehidupan, baik ilmu Islam (tsaqafah Islam) maupun ilmu terapan seperti sains dan teknologi. Negara menerapkan sistem pendidikan melalui kurikulum pendidikan Islam dan UU yang mendukung penerapan kurikulum tersebut. Sistem pendidikan Negara Islam terdiri dari dua macam, yaitu sistem pendidikan formal dan nonformal. Sistem pendidikan formal dilaksanakan berdasarkan peraturan negara, baik diselenggarakan oleh negara ataupun swasta. Sistem pendidikan ini dilakukan secara berjenjang dari mulai tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.
Adapun sistem pendidikan nonformal dilaksanakan di luar pengaturan negara dalam hal pelaksanaannya, seperti pendidikan di rumah, masjid, pondok, dan berbagai forum seperti seminar, training, diskusi, kajian. Meski pendidikan nonformal dilaksanakan di luar pengaturan negara, Negara Islam tetap bertanggung jawab mengontrol dan mengawasi berjalannya pendidikan tersebut, yaitu bahan ajar yang diberikan tidak boleh bertentangan dengan akidah Islam. Negara akan menindak tegas setiap lembaga atau sekolah yang mengajarkan ide – ide yang bertentangan dengan Islam. Seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, hedonisme, dan seluruh produk pemikiran asing lainnya yang menyalahi Islam. Pemikiran asing yang menyalahi Islam hanya boleh diajarkan di jenjang pendidikan tinggi, sebatas untuk diketahui kekeliruan dan penentangannya terhadap Islam, bukan untuk diyakini.
Kedua, menerapkan sistem pemerintahan dan politik ekonomi berdasarkan syariat Islam. Secara tidak langsung, kebijakan politik ekonomi terkait erat dengan pembentukan generasi berkualitas. Sebagai contoh, kebijakan politik dengan menyaring dan memblokir konten – konten porno atau muatan yang mengandung gaya hidup bebas dilakukan melalui departemen penerangan. Lembaga ini bertugas melakukan pengawasan terhadap kerja media baik media massa maupun digital. Tujuannya, menjaga generasi dari pengaruh negatif media yang merusak. Contoh lainnya, penerapan sistem ekonomi Islam memungkinkan bagi masyarakat mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Negara akan memberlakukan distribusi bantuan kepada rakyat miskin, baik melalui pembagian harta zakat ataupun nonzakat. Negara juga akan menerapkan pendidikan gratis untuk seluruh rakyat, karena layanan pendidikan adalah kewajiban negara dalam memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyatnya. Penerapan sistem pergaulan akan mencegah generasi bergaul tanpa batas atau bebas aturan. Larangan berkhalwat, wajibnya memisahkan kehidupan laki–laki dan perempuan, dan ikhtilat hanya dalam perkara–perkara yang disyariatkan saja. Seperti silaturahmi kerabat, berjual beli, kesehatan, pendidikan, ibadah haji, dan sebagainya. Dengan pengaturan ini, pergaulan mereka akan terjaga dan kondusif. Tidak seperti hari ini yang serba bebas dan liar.
Ketiga, mewujudkan lingkungan yang islami. Negara akan melarang kebiasaan yang bertentang dengan Islam. Setiap kegiatan masyarakat haruslah selarasa dengan tujuan pembentukan generasi berkepribadian Islam. Selain pengawasan negara, terbiasanya amar makruf nahi mungkar yang dilakukan masyarakat akan menjaga generasi dari kemaksiatan.
Keempat, menegakkan sistem sanksi yang tegas. Jika pencegahan sudah dilakukan secara maksimal, tetap saja ada kemungkinan bagi manusia melakukan maksiat atau pelanggaran. Maka, lapisan terakhir yang bisa dilakukan adalah penerapan sistem sanksi yang tegas. Sebab, hukum Islam memiliki dua fungsi, yaitu sebagai penebus dosa dan memberikan efek jera. Dengan begitu, mereka yang melanggar tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Dengan keempat sistem ini, Negara Islam akan menjalankan tanggung jawabnya sebagai pertama dan utama yang bertugas menjamin serta menjaga generasi dari paparan virus pemikiran yang merusak. Tanpa keberadaan Khilafah, generasi akan terus menjadi sasaran liberalisasi dan sekularisasi yang memang sudah menjadi agenda global untuk menghancurkan generasi abad ini. Saat ini, keluarga menjadi satu – satunya institusi yang diharapkan mampu melahirkan generasi berkepribadian Islam. Namun, benteng terakhir ini pun di ujung tanduk mengingat gempuran ide feminisme dan kesetaraan gender yang menyesatkan kaum ibu. Maka, urgensi keberadaan Khilafah tidak bisa ditunda lagi. Umat ini harus diselamatkan. Satu – satunya yang menjadi harapan adalah hadirnya negara yang benar – benar meriayah sebagaimana sistem pemerintahan yang pernah dicontohkan Rasulullah saw., para sahabat, dan khalifah sesudahnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post