(Anggota Komunitas Sahabat Hijrah Banggai Laut, Sulteng)
Kasus korupsi makin menggurita di negeri ini. Tidak hanya terjadi di kalangan pemerintah pusat, namun sudah menjalar ke pemerintahan daerah. Sebagaimana yang terjadi di tiga desa Kab. Banggai Laut Sulawesi Tengah.
Inspektur Inspektorat Banggai, Laut Ludin Mukhtar mengatakan, ada beberapa temuan dugaan penyelewengan ADD dan DD yang bakal dilimpahkan ke Kejaksaan yakni Desa Gonggong, Tolokibit dan Tinakin. “Untuk Tolokibit katanya mau mengembalikan,” ujar Ludin Mukhtar (KabarBenggawi.com, 22/11/2021)
Kasus tersebut direspon serius oleh Bupati Banggai Laut, Sofyan Kaepa. Ketidaksukaan terhadap tindakan penyelewengan anggaran daerah khususnya pada masa pemerintahan beliau telah terlihat. Tak tanggung-tanggung Bupati langsung meminta kepada Kejaksaan untuk menangkap kepala desa yang melakukan penyelewengan anggaran desa baik ADD maupun DD.
“Saya minta kejaksaan untuk tangkap kades yang berulah,” ujar Bupati.
Keseriusan Bupati dalam memberantas pelaku korupsi patut diberi apresiasi. Namun, korupsi nampaknya bukan suatu hal yang baru di negeri ini. Korupsi sudah menjadi kasus berulang, dan tidak sedikit berakhir di Kejaksaan. Tentunya, menimbulkan pertanyaan. Mengapa korupsi menjadi kasus yang berulang? Padahal hukum ada tetapi terkesan gagal menyelesaikan secara tuntas problematika korupsi.
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, sekiranya kita perlu menganalisis latar belakang munculnya tindak korupsi.
Penyebab korupsi diantaranya ialah lemahnya akidah individu. Kelemahan akidah, menyebabkan hilangnya sifat taat dan merasa cukup. Kepemimpinan tanpa ketaatan kepada Allah Swt, akan membawa kepada kehancuran. Segala perbuatan tidak distandarkan pada syariat tetapi pada hawa nafsu sesaat, mudah terjadi penyalahgunaan jabatan. Kepemimpinan rasa takwa, merasa tidak diawasi, akan bertindak sesuka hati. Kepemimpinan tanpa ketaatan juga akan menyebabkan hilangnya sifat merasa cukup. Sehingga harta yang seharusnya menjadi hak rakyat tetap saja di embat demi kepentingan individu dan kelompok.
Selain itu, mahalnya biaya politik juga menyebabkan tindak korupsi kemungkinan besar terjadi. Dana besar yang diperuntukkan demi meraih jabatan akan menghantarkan pada rasa ingin meraih keuntungan besar setelah menduduki jabatan. Hal ini tentu akan menghilangkan politik ri'ayah. Pejabat baik dari pusat ataupun daerah tidak akan memperhatikan kebutuhan rakyat baik primer, sekunder, apalagi tersier. Pejabat hanya memikirkan keuntungan sebesar-besarnya, tanpa memedulikan output yang dirasakan masyarakat.
Selain itu, gaji yang diberikan dirasa tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akhirnya, tindakan pelewengan mudah terjadi. Demikian pula, hukum tidak memberikan sanksi tegas dan efek jera bagi pelaku. Sehingganya tidak menimbulkan rasa takut bagi siapa saja yang melihat. Tak heran, tindak korupsi mudah dipraktikan dan dicontohi oleh sebagian orang.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan Bupati Banggai Laut tidak jauh beda dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam memberantas tindak korupsi. Visualisasinya kurang lebih sama yakni penyelesaian dari hilir (cabang) bukan dari hulu (dasar). Buktinya hanya berfokuskan pada pengobatan ketimbang pencegahan. Seringkali solusi yang diberikan adalah membawa pelaku ke bagian hukum. Namun, tidak mencari akar dari munculnya permasalahan.
Alhasil, korupsi terus berulang dan menjadi masalah yang krusial tanpa adanya solusi tuntas. Bagaimana dapat memunculkan solusi tuntas, jika negara baik pemerintah pusat ataupun daerah masih mengkiblatkan diri pada pemerintahan kapitalisme yang mengendepankan keuntungan dan manfaat, serta jauh dari solusi Islam. Padahal Islam agama yang satu-satunya memiliki solusi atas segala problematika kehidupan.
Gambaran Islam Dalam Menangani Korupsi
Berkaca pada Islam dalam menangani korupsi, kita akan menemukan tindakan mendahulukan pencegahan dibandingkan pengobatan. Islam akan terlebih dahulu melihat dan menganilisis potensi apa saja yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak korupsi.
Islam akan memperhatikan dari sudut akidah individu khususnya para pemimpin. Karena merekalah yang mengayomi segala kebutuhan rakyat dengan jujur dan amanah. Islam pula akan memberikan gaji yang layak bagi para pejabat untuk memenuhi kebutuhan hidup, agar terhindar dari tindak korupsi yang sebagian juga diakibatkan karena belum terpenuhinya kebutuhan hidup dengan layak.
Di dalam Islam, meraih jabatan kepemimpinan tidak akan membutuhkan dana yang besar. Sebab, melakukannya dengan sukarela atas dasar dorongan ketakwaan dan jauh dari rasa ingin meraih keuntungan. Pemimpin akan berdiri sebagai pelindung rakyat, memperhatikan bahaya yang sedang mengintai. Bukan malah menjadi pelaku yang merugikan dan meresahkan rakyat. Mengarahkan rakyatnya agar mengerjakan kebaikan dan menjauhi keburukan serta semangat menebarkan kebaikan antar sesama.
Tatkala terjadinya korupsi, maka Islam akan memberikan pengobatan berupa hukuman keras dan berefek jera. Hukuman ini sebagai bentuk pencegahan terjadinya korupsi berulang sekaligus penggugur dosa bagi pelaku. Hukuman keras bisa berupa publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati. Dengan ini akan muncul rasa takut untuk melakukan tindak korupsi.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain selain kembali kepada Islam. Islam adalah agama sekaligus ideologi yang mengatur mekanisme kehidupan. Pengaturannya yang berasal dari Allah Swt. bukan dari manusia itu sendiri, sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Wallahua'lam bishshawab
Post a Comment