Kembali, Ulama Dikriminalisasi


Oleh : Siti Fatimah
Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah


Diberitakan republika.co.id (21/11/2021), Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Nasir Djamil mengatakan, Densus 88 Antiteror Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus menjawab keraguan publik terkait Islamofobia setelah penangkapan tiga terduga anggota terorisme Ahmad Zain an-Najah (AZA), Anung al-Hamad (AA), dan Farid Ahmad Okbah (FAO). Pasalnya masyarakat melihat, ada kecendrungan bahwa penangkapan dilakukan pada mereka yang merupakan ulama.

"Dibutuhkan kemampuan dan kehandalan dalam menyampaikan pesan kepada publik sehingga bisa mengatasi keragu-raguan. Jangan sampai, ini kok seperti ada yang mengatakan ini jangan-jangan Islamofobia," ujar Nasir dalam sebuah diskusi daring, Minggu (21/11).

Ia menjelaskan, umat Islam di Indonesia terbelah menjadi dua kubu setelah penangkapan tiga terduga anggota terorisme. Apalagi mengingat salah satunya merupakan anggota Komisi Fatwa Ulama Indonesia (MUI).

Pertama adalah orang-orang yang kontras dengan penangkapan ulama dengan dalih terorisme. Kedua adalah mereka yang kemudian mengkait-kaitkan ceramah tiga orang tersebut adalah bagian dari mengajak untuk melakukan aksi terorisme.

"Makanya narasi yang dibangun oleh BNPT itu harus jelas, sehingga kemudian masyarakat Indonesia, terutama umat Islam bisa memahami dengan baik," ujar Nasir.

Terorisme, kata Nasir, merupakan tanggung jawab semua pihak, tak hanya BNPT dan Densus 88. Untuk itu, masyarakat harus diberikan penjelasan yang bisa dipahami bahwa penangkapan orang berstatus ulama tersebut merupakan ranah tindak pidana terorisme, bukan Islamofobia.

"Saya pikir, pertanyaan-pertanyaan publik, terutama umat Islam itu harusnya disikapi secara rasional oleh BNPT, oleh Densus 88," ujar mantan Wakil Ketua Komisi III DPR itu.

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Humas Mabes Polri, Komisaris Besar (Kombes) Ahmad Ramadhan menegaskan, penindakan Densus 88 terkait dugaan terorisme tak mengarahkan proses penyidikan ke institusi atau partai politik (parpol) tertentu.

Penangkapan yang dilakukan Densus 88 terhadap FAO jelas tak ada kaitannya dengan aktivitasnya sebagai pemimpin, maupun pengusung parpol di Indonesia. Begitu juga terkait penangkapan AZA yang diketahui sebagai Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ramadhan mengatakan, penangkapan ketiganya murni lantaran aktivitas individu yang diduga terlibat dalam jejaring terorisme Jaringan Islamiyyah (JI).

"Kami sampaikan, Densus 88 dan penyidik Densus 88 tidak fokus mengarah pada partai politik (PDRI), tidak fokus pada masalah organisasi atau institusi tertentu (MUI). Tetapi, Densus 88 hanya fokus pada keterlibatan para tersangka dalam melakukan tindak pidana," ujar Kombes Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (19/11). Tindak pidana yang dimaksud, kata Ramadhan, tentu saja terkait dengan dugaan terorisme.

Sementara, Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Lukman Hakim mengapresiasi profesionalitas Densus 88 Antiteror Polri dalam menangkap tiga terduga anggota terorisme tersebut. Ia juga memastikan, penangkapan tersangka bukan merupakan kriminalisasi ulama.

"Menurut cara pandang kami, tidak ada itu penangkapan ulama, kriminalisasi terhadap ustadz. Kalau misal ada kriminalisasi terhadap ustadz, korban terbesarnya itu ulama," ujar Luqman dalam sebuah diskusi daring, Ahad (21/11).

Di samping itu, perlu ada definisi yang jelas terhadap status seseorang yang dicap sebagai ulama dan ustadz. Sebab, ia tak ingin istilah tersebut justru menjadi alat untuk menggiring persepsi masyarakat demi kepentingan politik tertentu.

"Itu kita harus hati-hati, karena ada sensitivitas terhadap ulama dan ustadz ini," ujar Luqman.

GP Ansor, kata Luqman, menantang apakah AZA, AA, dan FAO memenuhi kriteria dan kualifikasi sebagai ulama atau ustadz. Bukan orang yang hanya sekedar tahu beberapa ayat Alquran, yang kemudian melabeli dirinya sebagai ulama.

"Kami dari Ansor melihat, memang sudah ada upaya sistematis dari jaringan terorisme ini, baik JI, JAD, dan lain-lain untuk menyusup ke lembaga-lembaga formal masyarakat."

Bukan kali ini pemerintah menangkapi para ulama. Sebelumnya Abu Bakar Ba'asyir juga tertangkap dengan tuduhan terlibat jaringan terorisme. Ada juga penangkapan HRS, Habib Bahar, Gusnur dan lainnya hanya karena bersebrangan pendapat dengan penguasa, buktinya dari mereka yang tertangkap tidak ada satupun ulama yang merapat pada penguasa. Mereka justru dengan lantang menyuarakan kebenaran. 

Sungguh menyedihkan, ulama yang mengajari umat tentang nilai-nilai agama malah mendapatkan tindakan kriminalisasi. Padahal jika bicara terorisme, seharusnya pemerintah menangkap kelompok kriminal bersenjata atau KKB di Papua yang jelas telah menghilangkan nyawa atas aksi terorisnya. Jelas semua skenario ini menunjukkan bahwa terorisme itu narasi khusus yang hanya ditujukan pada kaum muslim.

Dinas Intelijen Amerika dan Dinas Intelijen Inggris dalam sebuah seminar yang diadakan untuk membahas makna "terorisme" pada 1979 telah menyepakati bahwa "terorisme" adalah penggunaan kekerasan untuk melawan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politis, (http://www.muslimahbmNews.com). Pada perkembangannya, Amerika pun lalu melakukan generalisasi sifat terorisme terhadap negara-negara yang merintangi kepentingan-kepentingan Amerika, seperti Korea, Cina, Irak dan Libya, juga terhadap banyak gerakan Islam seperti Tanzhimul Jihad, Hamas, Jama'ah Islamiyah (Mesir), serta FIS (Aljazair), dengan memanfaatkan peristiwa-peristiwa pemboman yang terjadi di Palestina untuk melawan Yahudi, dan aksi-aksi yang terjadi di Aljazair tak lama setelah pembatalan hasil pemilu untuk anggota legislatif oleh kalangan militer, (http://www.MuslimahNews.com).

Karena Islam telah dinominasikan oleh Amerika untuk menjadi musuhnya setelah robohnya komunisme, maka akhirnya negeri-negeri Islam jadi sasaran Amerika dalam penerapan UU Terorisme. Tujuannya adalah untuk mengukuhkan cengkeraman Amerika di negeri-negeri Islam itu, serta melestarikannya agar tetap ada di bawah hegemoni Amerika. Terlebih lagi saat ini terdapat kelompok Islam Ideologis Internasional Hizbut Tahrir yang mengajak umat merintis jalan menuju kebangkitan untuk mengembalikan Khilafah. Amerika dan negara-negara kafir lainnya sangat mengerti bahwa Khilafah satu-satunya negara yang mampu meluluhlantakan ideologi kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika. Oleh karenanya, baik isu terorisme maupun radikalisme hanyalah alat untuk menghadang laju dakwah politik Islam dan ajaran Islam kaffah yang sejatinya telah Allah Swt. turunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. 

"Dan tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiyaa' : 107)

Oleh karena itu sudah seharusnya umat muslim menyadari bahwa perjuangan melawan isu terorisme wajib dilakukan dengan melakukan agenda dakwah dalam rangka memahamkan pemikiran umat untuk mengkaji Islam kaffah, Islam sebagai aturan kehidupan. Memperjuangkan kembalinya Junnah (perisai umat) yakni Khilafah. Sebab hanya Khilafah, sistem yang mampu memanusiakan manusia, terlebih para ulama yang hakikatnya pewaris para nabi sekaligus pelita umat yang kedudukannya mulia dalam Islam.

Wallahu a'lam bisshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post