Penulis Opini Bela Islam Akademi Menulis Kreatif
Dikutip dari penyair radikal@DatuakPanduko, "Pola pengalihan isu rezim kebaca!" Setiap ada kasus korupsi, nongol kasus teroris; Setiap kegagalan rezim, nongol berita teroris; Setiap kebijakan zalim rezim, nongol berita teroris. Maka kesimpulannya, teroris adalah penguasa digunakan sebagai alat pengalihan isu.
Penangkapan beberapa ulama oleh tim Densus 88 yakni Ustaz Farid Okbah, Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI), terkenal pakar Syiah yang lantang menyuarakan bahwa Syiah bukanlah Islam. Ustaz Zain An Najah, anggota Komisi Fatwa MUI Pusat. Ustaz Anung Al-Hamad, pakar aliran sesat Indonesia. Ketiganya terduga teroris, beredar di media massa dan viral. Menimbulkan kegaduhan di kalangan umat Islam khususnya para aktivis Islam. Penangkapan yang tidak disertai surat penangkapan adalah bentuk kesewenang-wenangan rezim.
Dalam keterangan pers, M. Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR RI, mengingatkan dan mendesak Densus 88 untuk mengedepankan hukum dan keadilan, transparan dan tidak sewenang-wenang dalam hal penangkapan. Menurut beliau, mereka dalam ceramahnya tidak menghujat pemerintah dan tidak berorientasi tafkiri (mengkafir-kafirkan) orang atau kelompok lain. (mediadakwah.id, 16/11/2021)
M. Nasir yang pernah menjabat menjadi anggota Pansus RUU Terorisme, menyebutkan pasal 28 ayat (1) UU 5/2018, memang memberikan hak kepada penyidik untuk melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme.
Itulah pasal yang dipakai alasan untuk menangkap para ulama tersebut di atas, tanpa ada surat penangkapan pun dianggap sah-sah saja. Lebih dari itu penangkapannya dilakukan oleh tim Densus dilengkapi senjata yang dinilai berlebihan dan tidak adil.
Perlakuan Hukum Tidak Adil.
Publik dibuat bingung. Pada April 2021, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua, dinyatakan pemerintah sebagai organisasi teroris. Secara terang-terangan membunuh dan meneror aparat TNI, Polri, tenaga kesehatan, dan rakyat. Merusak, membakar gedung-gedung pemerintah, pasar, sekolah, puskemas, dan lainnya. Selain itu, KKB merupakan gerakan separatis mengangkat senjata untuk memisahkan diri dari NKRI, bermaksud mendirikan negara.
Bahkan KKB Papua yang pernah menantang Densus 88 dan pasukan khusus TNI yang bertugas untuk menanggulangi teroris terkesan tidak melakukan pemberantasan, padahal KKB teroris. Sementara, para ulama, mubaligh, dan tokoh muslim, yang tidak punya senjata justru diciduk dan dicurigai terlibat jaringan terorisme. Di mana keadilan hukumnya?
Itulah hukum buatan manusia bisa diselewengkan dan dimanfaatkan oleh penguasa sebagai alat untuk menggebuk kalangan yang berseberangan dengan rezim. Di samping itu, isu teroris yang dimunculkan rezim juga sebagai alat untuk mengalihkan isu. Contohnya saat penangkapan tiga ulama, sedang terjadi isu besar bisnis PCR oleh oknum pejabat. Bisa juga untuk mengalihkan isu menutupi kegagalan rezim. Atau Undang-Undang Permendikbud No 30 Tahun 2021, yang menuai pro kontra. Dalam hal ini, MUI mengambil sikap menolak kebijakan tersebut yang dinilai mendorong terjadinya tindak asusila di lingkungan perguruan tinggi.
Sejatinya isu teroris yang menimpa salah satu anggota MUI untuk membungkam ulama-ulama kritis. Sebab, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang akhir-akhir ini berani menyuarakan kebenaran secara lantang, mengharamkan sekularisme, pluralisme, liberalisme (sepilis). Fatwa terakhir mengimbau penguasa dan rakyat untuk tidak memberikan 'stigma buruk pada khilafah karena merupakan ajaran Islam'.
Tentu saja fatwa MUI dianggap duri dalam daging keberadaannya harus dienyahkan. Karena bertolak belakang dengan program pemerintah yang menolak khilafah. Melalui pernyataan Menag Yaqut Cholil Qoumas, dalam rekontekstualisasi fikih: "Khilafah jadi bencana umat Islam," adalah pernyataan keji dan fitnah. Juga program moderasi agama, yakni Islam Nusantara yang merusak akidah umat Islam. Semua itu, adalah skenario busuk kafir penjajah. Sebuah upaya untuk menghadang tegaknya khilafah.
Ada Hubungannya dengan Skenario Global
Banyak pengamat politik menilai pemerintah telah berhasil membangun narasi "Bahaya radikalisme, radikal dan ekstremisme adalah awal terorisme." Terus digaungkan, hal tersebut bisa dibuktikan adanya kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mendukung narasi yang diciptakan. Di antaranya menerbitkan peraturan terkait ASN dan pegawai BUMN yang dituduh terlibat kelompok radikal, akan dikeluarkan dari pekerjaannya. Bahkan, ada oknum yang bertugas mengawasi orang yang dituduh radikal baik di rumah dan di tempat pekerjaan. Itu sama artinya pemerintah mengompori kebencian sesama anak bangsa dan bisa terjadi persekusi di akar rumput. (dikutip dari tulisan Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Irawan., S.H.,M.H.)
Jika kita kaitkan dengan narasi yang berkembang pasca penangkapan ulama, ada pihak yang setuju, "Bubarkan MUI; Tangkap semua ulama radikal; Radikalisme di tubuh MUI." Jelas sekali ada benang merah terkait dengan rencana global memerangi kelompok yang dituduh radikal, ekstremisme, dan teroris. Sebagaimana data yang dipublikasikan oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa yaitu Global Counter-Terrorism Strategy (A/RES/60/288 and 2030).
Ironis memang, negara mayoritas penduduknya muslim, namun Islam diperlakukan diskriminasi, dipersekusi, bahkan ulama dan tokoh agamanya ditangkapi serta dikriminalisasikan. Dengan memberikan stigma buruk terhadap ulama dan MUI dengan label radikal dan teroris, itu sama artinya pembunuhan karakter. Agar fatwa-fatwanya dijauhi supaya tidak didengarkan umat.
Semua itu disebabkan oleh adanya asas sekularisme yang diadopsi negeri ini. Sekularisme yakni paham yang memisahkan agama dari kehidupan merupakan fikroh (ide) kapitalisme yang dijajakan AS ke negeri-negeri muslim untuk memudahkan menguasai kekayaannya melalui metode penjajahan (ekonomi, politik, militer, dan budaya). Menjadikan para penguasa sebagai boneka untuk melestarikan jajahannya, diperalat untuk menolak ide khilafah dengan menangkapi ulama dan aktivisnya.
Peran Ulama dalam Sistem Islam
Dalam sistem Islam (khilafah) kedudukan ulama dimuliakan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. "Ulama adalah pewaris para nabi." (HR. at-Tirmidzi) dan ulama memiliki keutamaan ilmu dan adanya pujian dari Allah dan Rasul-Nya (lihat: QS. al-Mujadilah [58]: 11).
Para ulama adalah rujukan dan tempat bertanya bagi umat yang kebingungan (Lihat: QS an-Nahl [16]: 43) dengan demikian, ulama adalah pelita di tengah kegelapan.
Sejarah telah mencatat peran penting ulama dalam tiga aspek:
1. Amar makruf nahi mungkar dan muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa). Rasulullah saw. bersabda:
“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat keadilan (hak) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Turmudzi)
2. Menjadi rujukan bagi khalifah dalam masalah hukum syarak mana yang akan diadopsi.
3. Menjadi qadhi (hakim) untuk menyelesaikan persengketaan di tengah manusia.
Para ulama berkewajiban menjelaskan pada umat bahwa adanya imam atau khalifah dalam rangka menerapkan hukum Allah di semua lini kehidupan (Lihat: QS. al-Baqarah [2]: 208). Juga menolong sunahnya, membela yang dizalimi serta menempatkan hak-hak pada tempatnya. Inilah amanah ilmu yang seharusnya diamalkan para ulama. Selanjutnya berperan aktif di garda terdepan bersama umat berjuang menegakkan khilafah yang merupakan janji Allah dan bisyarah Rasulullah saw.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment