Oleh Citra Hardiyanti, S. E
(Aktivis Muslimah)
"Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (TQS. Ali Imran: 54)
Sungguh, kasih sayang Allah tergambar jelas dari ayat di atas. Allah SWT menjanjikan akan membalas segala tipu daya, konspirasi dan permusuhan dari musuh-musuh Islam.
Mendakwahkan risalah Ilahi tak lepas dari beragam ancaman, tekanan, permusuhan dan tipu daya musuh. Namun QS. Ali Imran: 54 meyakinkan dada kaum muslim akan janji pertolongan-Nya. Hingga gambaran nyata janji Allah tersebut membawa pada kisah nyata antara Abu Jahal dan Abdullah bin Mas'ud.
Jaman jahiliah menjadi saksi kemurkaan Abu Jahal memukul wajah dan tubuh Abdullah bin Mas'ud. Hal ini dikarenakan Abdullah bin Mas'ud berani melafadzkan ayat Al Qur'an di hadapan penduduk Makkah. Abu Jahal tidak terima jika penggembala rendahan itu menyampaikan kebenaran di hadapan dirinya yang bergelar penguasa. Wajah bengkak penuh darah dan tubuh penuh luka menjadi pemandangan yang biasa dari Abdullah bin Mas'ud. Tak ada perlawanan sama sekali terhadap Abu Jahal dan sekutunya. Namun, Abu Jahal tidak pernah menyangka bahwa kelak Abdullah bin Mas'udlah yang memotong urat lehernya di medan Badar.
Pada saat yang bersamaan Abu Sufyan dan sebagian besar penduduk Makkah menuduh kaum muslimin sebagai pemecah belah bangsa Quraisy. Takdir melukis bahwa kelak kaum muslimin yang menaklukkan Makkah dan menyatukan seluruh umat di seluruh dunia.
Sesungguhnya, kekuasaan dan kedudukan yang dipegang oleh musuh Islam berada di bawah kendali Allah SWT, dan pada waktunya, atas ijin Allah, Allah pasti membalikkan keadaan. Kemenangan bagi kaum muslimin adalah keniscayaan. Walaupun, kekuasaan kini dipegang oleh orang-orang dzalim yang dengan mudah memberangus ulama dan organisasi yang kritis dalam menyuarakan kebenaran.
Pertunjukan kedzaliman nampak jelas di depan mata. Tiada hujan tiada angin, anggota densus 88 anti teror-polri menangkap 3 ustadz di daerah Bekasi. Mereka adalah Ustadz Farid Okbah (ketua umum PDRI), Dr. Ahmad Zain An Najah (anggota komisi fatwa MUI pusat) dan Dr. Anung Hamad. Penangkapan didasarkan pada dugaan keterlibatan dengan Jamah Islamiyah yang diduga sebagai sarang teroris. Kejadian ini memicu cyber troops mulai memframing kejadian hingga ramai di media sosial tagar bubarkan MUI (Lembaga yang telah lama menaungi ulama ulama di Indonesia) yang semakin kritis dalam menyuarakan kebenaran.
Seakan lupa pada api, masyarakat Indonesia beralih pandang pada asap, sibuk menghilangkan asap tanpa memadamkan sumber api. Dengan alasan menangkap gembong teroris, penangkapan terduga teroris hari ini semakin berani, tanpa ada tindak teror yang nyata, seseorang bisa diberangus tanpa adanya perlawanan.
Dalam UU 5/2018 tentang Perubahan atas UU 15/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, definisi “teroris” adalah ‘siapa pun yang merencanakan, menggerakkan, dan mengorganisasikan terorisme’. Sedangkan “terorisme” adalah ‘perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan/kehancuran terhadap objek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan’.
Jika kita mengacu pada definisi yang ditetapkan oleh undang-undang maka kita membutuhkan transparansi penangkapan tiga ustadz muda, karena akar masalah munculnya tagar pembubran MUI di sebabkan oleh hal ini. Jika tidak ada penangkapan maka tidak akan muncul tagar. Kita harus menyikapi dengan kritis apa yang terjadi di hadapan kita.
Dilansir dari Pikiran Rakyat.com, Bung Rocky menilai bahwa sejak jaman orde baru telah ada isu pembubaran MUI, hal ini digunakan sebagai alat untuk mengendalikan kepentingan politik dan isu mainan. Munculnya isu tersebut sebagai efek dari kepanikan di dalam kekuasaan. Senada dengan hal itu, Nasrullah menegaskan agar perlu mewaspadai isu pembubaran MUI, yang dianggap sebagai isu radikal pemecah belah NKRI. Kelompok penyebar isu inilah yang sebenarnya memutus jalinan persatuan bangsa. Umat islam harus jeli memperhatikan hal tersebut dengan pemahaman yang mendalam dan mampu mengungkap kecenderungan di dalamnya.
MUI sebagai wadah musyawarah ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim di Indonesia, diharapkan dapat membimbing dan mengayomi umat muslim di seluruh Indonesia. Peran besar MUI sejauh ini memang mengeluarkan sertifikat halal yang dalam perkembanganya seiring menguatnya kekuasaan oligarki, kekuasaan MUI pun semakin dipersempit, hal ini dibuktikan dengan berdirinya lembaga-lembaga di luar MUI yang memberikan sertifikat halal untuk barang hasil produksi.
Dengan sempitnya wewenang MUI menjadi jalan untuk memuluskan paham moderasi beragama, terlebih fatwa terbaru yang dikeluarkan oleh MUI dapat menjadi batu sandungan berjalannya rencana tersebut. Di dalam forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang ke VII, MUI menghimbau agar pemerintah dan rakyat Indonesia tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah, sebab keduanya merupakan ajaran Islam, dan pada saat yang sama juga menegaskan bahwa ada bentuk pemerintahan selain khilafah. (mui.or.id)
Dengan munculnya kasus penangkapan anggota MUI, menjadi jalan untuk mewujudkan agenda bersih-bersih, terhadap ulama hanif yang mendukung diterapkannya islam dan tegaknya khilafah. Boleh jadi MUI tidak akan dibubarkan, namun orang-orang didalamnya akan digantikan dengan orang-orang yang pemikirannya sejalan dengan agenda rezim pada saat ini, yaitu semakin menjauhkan umat islam dari paham islam, dan dekat dengan arus liberalisasi beragama.
Fakta ini harusnya cukup membuka mata kita, bahwa islam tidak akan pernah mungkin sejalan dengan paradigma kapitalis-liberalis yang diemban negeri ini. Karena keduanya berbeda dari akar pokok, yang mana islam menyeru menghamba kepada Allah semata, sedangkan di sisi lain, kapitalisme menafikan peran Allah sebagai satu-satunya yang berhak membuat hukum. Karena jika hak pembuat hukum dikembalikan kepada Allah, maka tidak ada kesempatan kedua bagi mereka untuk memperkaya diri, dengan mengeruk habis kekayaan umat. Maka mereka akan mengupayakan segala cara agar orang-orang yang menyeru kembali kepada aturan Allah secara sempurna dibungkam kekritisannya, dan organisasi menaunginya akan mandul dari perjuangan untuk mencapainya.
MUI adalah lembaga yang menjadi payung besar tempat ulama dan cendekiawan bernaung dibawahnya. Bangsa ini seharusnya menyadari peran penting MUI dalam membina ummat memahamkan Islam secara sempurna, tidak mencukupkan pada lembaga fatwa saja, terlebih fatwa itu hanya sejalan dengan kepentingan rezim.
Nasrullah (pertolongan Allah) itu menembus zaman. Boleh jadi hari ini Allah memberikan kekuasaan kepada mereka membuat makar jahat kepada Islam dan kaum muslimin, seolah mereka telah menang dan berkuasa penuh. Mereka lupa sesungguhnya mereka hanya manusia yang lemah, serapi apapun rencana mereka dalam memadamkan cahaya agama Allah, se-apik apapun tipu daya yang mereka buat, maka akan sia-sia jika Allah telah mencabut kembali kekuasaan itu, atas izin Allah, Allah pasti membalikkan keadaan. Keadaan dimana mereka akan takjub dan tunduk patuh pada keagungan Islam, dalam sebuah institusi yang telah dijanjikan Allah dan kabar gembira dari Rasulullah, yakni khilafah rasyidah ala minhajjin nubuwwah yang insha Allah segera tegak kembali.
Post a Comment