(The Voice Of Muslimah Papua Barat)
Impian dari semua negara adalah ketika bangsanya memiliki kemajuan dalam berbagai bidang. Terutama dalam bidang teknologi, saat ini kita sudah tidak lagi berada dalam industri 4.0 melainkan 5.0. Berkaca pada China yang lebih dulu menggunakan robot sebagai pengganti tenaga manusia, kini Indonesia mulai mencoba melakukan digitalisasi birokrasi dimana mengganti tenaga PNS dengan robot juga.
Pada akhir November 2019, Jokowi bahkan melontarkan wacana radikal yakni, agar urusan tetek bengek birokrasi ke depannya dikerjakan oleh artificial intelligence (AI) alias robot. "Saya sudah perintahkan juga ke Menteri PAN (Pendayagunaan Aparatur Negara) agar birokrasi diganti dengan artificial intelligence, kalau diganti artificial intelligence birokrasi kita lebih cepat saya yakin itu," kata Jokowi pada November 2019. (http://republika.co.id, 01/12/2021). Sekitar dua pekan usai pernyataan pertamanya itu, Jokowi kembali menyampaikan, Indonesia butuh sistem birokrasi yang cepat, sederhana, dan tak bertele-tele. Dia pun yakin bahwa penggantian Eselon III dan IV dengan robot bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan.
Menurut Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama pada Badan Kepegawaian Negara (BKN), Satya Pratama, transformasi digital birokrasi sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir. Digitalisasi dilakukan pada sektor layanan publik maupun pada manajemen PNS.
"Sebenarnya upaya digitalisasi telah dilaksanakan sejak beberapa tahun terakhir. Seiring dengan situasi yang tidak pasti dan kompleks plus pandemi Covid-19, maka transformasi tersebut dipercepat," kata Satya kepada Republika, Senin (29/11/2021).
Robot yang menggantikan pekerja manusia menimbulkan banyak kekhawatiran. Jika tren terus tumbuh, ekonom Massachusetts Institute of Technology Daron Acemoglu mengatakan kepada Bloomberg, permintaan tenaga kerja akan tumbuh perlahan. Ketidaksetaraan akan meningkat, dan prospek banyak pekerja berpendidikan rendah tidak akan terlalu baik. Sudah pasti angka pengangguran akan bertambah. Per Agustus 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 9,1 juta orang (http://suaraislam.id, 01/12/2021).
Dilansir dari Indozone.id, bahwa ada efek yang luar biasa selain angka pengangguran yang meningkat, juga akan menutup harapan bahwa menjadi PNS akan sulit. Hal ini diyakini berdampak pada sistem perekrutan PNS. Seleksi PNS akan diperketat serta formasi yang dibutuhkan akan berkurang. Selain itu, jika robot semakin canggih maka, peran manusia sebagai PNS tidak lagi dibutuhkan.
Tidak salah memang, jika ingin menjadi negara yang maju dengan teknologinya. Namun, kemajuan bangsa semestinya tidak hanya diukur dengan sekedar pencapaian fisik dan kemajuan teknologi yang digunakan. Semestinya menggunakan ukuran dasar sebagaimana yang direkomendasikan Islam, berupa tercapainya tujuan bernegara yaitu mensejahterakan setiap individu, terciptanya ketenangan, stabilitas dan meninggikan peradaban. Namun. jika kita mengkaji lebih dalam tentang sistem yang diterapkan saat ini, maka tentu kita akan menyakini bahwa dalam sistem kapitalis ini tidak ada yang namanya menyejahterakan setiap individu, terciptanya ketenangan, stabilitas dan ketinggian peradaban. Dan ukuran tercapainya tujuan bernegara merupakan hal yang jauh dari harapan.
*Islam Solusi Pengangguran*
Kebijakan antisipasi pandemi dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ternyata belum efektif menekan pengangguran. Ditambah lagi belum pulihnya sektor industri domestik, adanya digitalisasi yang membuat pekerja yang terlibat di bidang jasa berkurang, serta UU Cipta Kerja yang terbit mengindikasikan menambah gelombang PHK yang akhirnya menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Ini menun¬juk¬kan akan semakin bertambah jumlah orang miskin. Ditambah lagi kebijakan pemerintah yang kurang efektif me¬nu¬run¬kan angka kemiskinan serta beban utang yang membuat negara semakin merugi.
Berbagai macam problem yang diakibatkan oleh penerapan sistem ekonomi kapitalis seperti potensi pengangguran, susahnya mencari pekerjaan, terjadinya resesi ekonomi, pro kontra lahirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang cacat dalam prosedur dan etika hukum, ditambah lagi pekerjaan manusia digantikan oleh robot, hanya bisa diselesaikan dan menghasilkan kesejahteraan dengan cara menerapkan sistem ekonomi Islam. Dari sisi paradigmanya, kemudian filosofisnya dan ketiga dari sisi prak¬tis¬nya.
Sisi paradigma, sistem ekonomi Islam berbeda baik dengan ekonomi kapitalis-liberalisme maupun dengan sistem sosialis yang lebih mengedepankan pada murni pemerataan dan persamaan faktor-faktor produksi secara mutlak. Itu semua berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Target utama dari ekonomi kapi¬ta¬lis¬me adalah pertumbuhan, yakni dengan cara meningkatkan produktivitas pada sektor riil dan non riil. Dalam sistem ini pertumbuhan yang terjadi adalah pertumbuhan semu, yang terjadi nanti adalah krisis. Krisis ini bersifat siklus atau siklik per 20 tahun sekali. Sedangkan sistem ekonomi Islam, tidak hanya mengejar pertumbuhan. Pertumbuhan itu sesuatu yang alami. Kalau memang manusia ini bertambah, kebutuhan bertambah, kemudian kreativitas manusia itu bertambah, secara otomatis dengan sendirinya ekonomi itu akan tumbuh, yakni dengan pertumbuhan dan pe¬merataan sekaligus.
Dari sudut pandang filosofis, sistem ekonomi Islam lebih mengedepankan memanusiakan manusia. Baik posisinya sebagai pekerja, pemilik modal atau perantara di antara keduanya, maka posisi-posisi itu ditempatkan pada posisi yang adil yaitu memanusiakan manusia. Tidak ada eksploitasi satu dengan yang lain. Oleh karena itu, penekanannya di dalam syirkah. Tidak eksploitatif tetapi syirkah. ketika secara paradigma dan secara filosofis ekonomi Islam bisa diterapkan yang terjadi adalah per¬tum¬buhan yang ideal. Semua orang diharapkan bisa masuk pasar atau bisa bersaing di pasar. Tetapi, jika ada orang yang tidak bisa masuk pasar karena keterbatasan-keterbatasan tertentu, mungkin fisik atau sudah renta maka ekonomi Islam mempunyai solusi yaitu mekanisme non pasar untuk menyejahterakan mas¬ya¬rakatnya. Oleh karena itu, di dalam Islam itu ada syariah tentang wakaf, zakat, waris, hibah, sedekah dan sebagainya. Itu untuk mengimbangi mereka yang tidak bisa masuk pasar.
Dari sudut pandang praktisnya, jika sistem ekonomi Islam diterapkan maka tidak diperkenankan adanya riba. Bisa jadi asuransi juga tidak ada. Harus dikritisi lagi bahwa pasar modal ini jadi persoalan yang sebenarnya terhimpunnya para pemilik modal yang menjadi besar dan menguasai peraturan. Secara praktis, ada beberapa hal yang harus direvisi apabila nanti sistem ekonomi Islam itu diterapkan antara lain seperti lembaga-lembaga keuangan yang ada di dalam sistem ekonomi Islam itu murni sebagai jasa yang menunjang efektivitas pembayaran, menunjang keamanan dan kenyamanan di dalam pembayaran serta ada keadilan dan akurasi transaksi. Karena ketika lembaga-lembaga keuangan menjadi nadi utama dari pemilik modal, pada saat itulah mereka bisa bermain untuk menekan penguasa. Dan ketika menekan penguasa yang dikalahkan adalah pekerja karena di dalam teori ekonomi itu untuk menghasilkan suatu produktivitas, dibutuhkan faktor produksi baik berupa alam, teknologi, modal dan tenaga kerja.
Ketika faktor produksi alam ini sudah paten, kemudian teknologi terus ber¬kem¬bang dan modal yang dimiliki oleh orang-orang kapitalis yang bisa menekan para penguasa maka harus diciptakan agar modal ini bisa lebih efisien dikeluarkan dan faktor produksi lain ditekan. Faktor produksi yang ditekan itu adalah alam dan tenaga kerja. Oleh karena itu, peraturan-peraturan yang dikembangkan biasanya akan mengalahkan dua faktor produksi yaitu alam dan tenaga kerja. Biasanya, peraturan-peraturan yang digulirkan yang harus diwaspadai yakni kerusakan alam dan tidak memanusiakan manusia dari sektor tenaga kerja.
Dalam sistem Islam, Khalifah ber¬ke¬wa¬jiban memberikan pekerjaan kepada mereka yang membutuhkan sebagai realisasi Politik Ekonomi Islam. Rasulullah saw. bersabda,
“Imam/Khalifah adalah pemelihara urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR Bukhari Muslim).
Mekanisme yang dilakukan Khalifah dalam mengatasi pengangguran dan men¬cip¬ta¬kan lapangan kerja secara garis besar dilakukan dengan dua mekanisme, yaitu mekanisme individu dan sosial ekonomi. Dalam mekanisme individu, Khalifah secara langsung memberikan pemahaman kepada individu, terutama melalui sistem pen¬di¬dikan, tentang wajibnya bekerja dan kedudukan orang-orang yang bekerja di hadapan Allah Swt, serta memberikan keterampilan dan modal bagi mereka yang membutuhkan. Ketika individu tidak bekerja, baik karena malas, cacat, atau tidak memiliki keahlian dan modal, maka Khalifah wajib memaksa individu bekerja serta me¬n¬ye¬di¬a-kan sarana dan prasarananya termasuk pendidikannya. Sebagaimana yang pernah dilakukan Khalifah Umar ra. ketika mendengar jawaban orang-orang yang berdiam di masjid saat orang-orang sibuk bekerja bahwa mereka sedang bertawakal. “Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Lalu beliau mengusir mereka dari masjid dan memberi mereka setakar biji-bijian.
Selanjutnya mekanisme sosial dan ekonomi. Dalam bidang ekonomi kebijakan Khalifah adalah meningkatkan dan men¬da¬ta¬ng¬kan investasi halal untuk dikembangkan di sektor riil baik di bidang pertanian, kelautan, tambang, ataupun perdagangan. Negara tidak akan memberi ruang berkembangnya sektor nonriil seperti penerapan kapitalisme. Sebab, sektor nonriill selain haram juga menyebabkan beredarnya kekayaan di seputar orang kaya saja.
Dalam iklim investasi dan usaha, Khalifah akan menciptakan iklim yang merangsang untuk membuka usaha melalui birokrasi sederhana, penghapusan pajak, dan melindungi industri dari persaingan yang tidak sehat. Pengangguran mudah diatasi dan lapangan kerja tercipta secara adil. Semua hal ini akan terwujud manakala sistem Islam diterapkan dalam institusi negara Khilafah Islamiyah.
Post a Comment