Oleh: Nurul Rabiatul Adawiyah
Konferensi tingkat tinggi atau KTT yang sedang di perbincangkan beberapa minggu lalu atau biasa disebut COP, yang merupakan singkatan dari Conferense of the parties. Sederhananya, COP adalah konferensi terkait iklim terbesar dan terpenting dari PBB yang dimana dihadiri oleh para petinggi negara-negara di dunia.
Konferensi ini pertama kali dilaksanakan di Berlin pada tahun 1994 dan sejak saat itu diadakan rutin setiap tahunnya, dan tahun 2021 sebenarnya menjadi COP global-27. Akan tetapi, dikarenakan pandemi-19 pelaksanaan COP tertunda setahun. Oleh karenanya, tahun ini digelar COP ke 26 itulah mengapa disebut sebagai COP26.
Tahun ini COP26 digelar di Glasgow, Skotlandia. Konferensi ini mendesak para negara untuk menunjukan bukti konkret pengurangan karbon di negara masing-masing.
Pada tahun 2015, sebanyak 191 petinggi negara menandatangani perjanjian paris yang berisi tentang komitmen negara-negara untuk menekankan kenaikan suhu bumi di rata-rata 2°C atau bahkan 1,5°C.
Tapi faktanya saat ini untuk mengembalikan suhu 1,5°C sudah sangat sulit bahkan sejumlah ilmuwan menyebutkan saat ini suhu bumi sudah melebihi dari 1,5°C dalam beberapa tahun dan mencapai suhu 2,7°C sampai 3°C.
Perubahan iklim dianggap sudah menjadi bom waktu terjadinya kiamat ekologis. Banjir terjadi dimana-mana, suhu udara meningkat, kebakaran hutan, hampir setiap hari selalu ada masalah mengenai iklim yang umat manusia alami. Sehingga, COP26 dianggap sangat urgent untuk menarik komitmen semua pihak dan negara dalam menurunkan emisi karbon termasuk deforestasi.
Banyak negara yang hadir diacara COP26 termasuk juga presiden RI Jokowidodo, tentunya kehadiran mereka memiliki kepentingan masing-masing, baik itu tentang penundaan tenggat pencapaian emisi zero, menghalangi ekspansi industry negara lain, menawarkan teknologi hijau, ataupun menolak penghapusan komitmen-komitmen sebelumnya.
Akan tetapi diacara COP26 tahun ini mereka tidak mengundang Cina, India dan AS dalam acara COP26 dalam mengurangi karbon dari batu bara. Padahal, tahun 2020 silam, Cina tercatat mengonsumsi 54,3 persen batu bara di dunia. Adapun India berada di urutan kedua dengan 11,6%. Sementara Amerika Serikat yang juga menolak ratifikasi, menyerap sebesar 6,1% kapasitas batu bara dunia.
Selain 3 negara tersebut, ada Uni Eropa, Rusia, Jepang dan Brazil yang juga bertanggung jawab atas pemanasan global sebagai dampak dari industrialisasi dan globalisasi.
Sebelumnya di tahun 2009, 35 negara-negara maju berjanji menyediakan US$100 miliar pertahun untuk negara-negara berkembang. Negara-negara maju tersebut antara lain: Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Australia, Selandia Baru, Kanada, Spanyol, Jepang, Italia, dan lain-lain.
Dana tersebut seharusnya telah disampaikan pada 2020. Akan tetapi, hingga 2021 pun mereka baru bisa menyisihkan US$79 miliar, dan sebagian besar berupa utang yang nanti harus dikembalikan, bukan hibah.
Para peneliti tahun lalu menemukan bahwa jejak 1% orang terkaya di dunia adalah dua kali lebih besar dari gabungan 50% populasi global termiskin. Total jejak karbon dari 1% orang-orang super kaya akan tumbuh, sementara 50% orang-orang termiskin tetap kecil, ungkap sebuah penelitian, walaupun ada komitmen yang dibuat menjelang KTT COP26, (BBC News, 7/11/21).
Dikutip juga dari hasil penelitian Oxfam, Institut Lingkungan Stockholm dan Institut Kebijakan Lingkungan Eropa, emisi orang-orang super kaya 30 kali lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk menghentikan planet dari pemanasan di atas 1,5°C. Hal ini disebabkan orang-orang super kaya memiliki banyak rumah, jet pribadi, dan super yacht yang mengeluarkan emisi jauh lebih banyak daripada yang lain. Baru-baru ini melacak perjalanan udara para selebriti melalui akun media sosialnya juga menemukan sejumlah emisi lebih dari 1000 ton setiap tahun. Tetapi, kelompok 1% secara global itu bukan hanya miliarder, atau bahkan jutawan saja.
Dalam kasus ini, termasuk siapa saja orang yang berpenghasilan lebih dari $172.000 (sekitar Rp2,5 miliar) per tahun. Studi ini juga mengamati 10% orang-orang sangat kaya di dunia atau siapa pun yang berpenghasilan lebih dari $55.000 (sekitar Rp790 juta) dan menemukan kalau emisi yang dikeluarkan mereka masih tinggi.
Faktanya juga bahwa negara industri yang menggagas KTT ini adalah penghasil terbesar emis, membiarkan kaum kaya melontarkan jutaan ton emisi karbon untuk memuaskan nafsu materialistik mereka
Mereka mengeluarkan karbon sembilan kali lebih banyak. Laporan Oxfam menemukan bahwa malah 40% kelompok menengah yang melakukan upaya paling banyak untuk mengekang emisi.
Disoroti bahwasanya pemerintah sangat perlu berbuat lebih banyak agar menyerukan larangan dan pemberlakuan pajak tinggi atas barang mewah padat karbon, rumah mewah, mobil SUV atau wisata luar angkasa. Oxfam menutup laporan dengan mengatakan orang-orang kaya atau super kaya sangat bertanggung jawab atas krisis iklim.
Namun, faktanya orang-orang miskin lah yang membayar dampak harga tertinggi atas krisis ini. Negara-negara termiskin yang paling rentan terhadap kenaikan permukaan laut, suhu udara, dan kekeringan ekstrem.
Sungguh miris, ternyata orang-orang kaya atau super kaya ini menjadikan kekayaan mereka sebagai golden ticket untuk memenuhi nafsu materialistik mereka. Mereka dengan gampang berkampanye soal menjaga alam tapi tidak diiringi dengan tindakan keseharian mereka yang mengurangi gaya hidup materialistik.
Pada acara COP26 ini Jokowi turut hadir, dalam pertemuan itu Presiden Jokowi mengurai tentang transisi energi yang dilakukan Indonesia dan keberhasilan menurunkan angka kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Presiden Jokowi juga mengurai target rehabilitasi 600 hektare mangrove atau hutan bakau pada 2024 mendatang, (RMOL.id, 04/11/21)
Klaim-klaim Jokowi seluruhnya adalah omong kosong. Faktanya, beberapa bulan lalu terjadi pembakaran lahan atau karhutla di provinsi Jambi tersebar di dua kabupaten yaitu, kabupaten Muarojambi seluas 59,7 hektar dan kabupaten Batangsari 10,17 hektar dengan luas Karhutla di Jambi tercatat 172,9 hektar. Ini baru di provinsi Jambi belum termasuk wilayah lainnya.
Akar penyebab krisis lingkungan adalah akibat diterapkan ideologi kapitalis yang materialistik dan mendominasi politik, ekonomi, dan sosial. Sistem yang terobsesi pada hal ini telah menciptakan banyak kerusakan.
Planet bumi ini tidak akan aman selama sistem kapitalis mendominasinya, dan tidak ada obat yang dapat ditemukan untuk penyakit dunia dibawah arahan pemerintahan sekuler. Sebab, itu tentu di perlukan pendekatan radikal baru dalam menanggani krisis dan melindungi planet ini dan umat manusia dari kehancuran dan bahaya.
Dahulu Rasulullah SAW selalu mengingatkan para sahabat agar menjaga lingkungan. Pun pada saat akan melakukan perang, Rasulullah memerintahkan agar tidak menebangi pohon dan merusak lingkungan. Hal ini pun disambut baik oleh para sahabat, karena mereka menyadari hakikat dari firman Allah,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)"(QS.Ar-rum: 41)
Dan firman Allah yang lain,
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya:
"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan".(QS. Al-A'raf : 56)
Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah, maksud ayat tersebut agar kita tidak membunuh manusia, menghancurkan rumah-rumah, membunuh hewan-hewan dan menebang pepohonan, dan mengeringkan sungai-sungai. Dan termasuk berbuat kerusakan di muka bumi juga, kafir terhadap Allah, terjerumus ke dalam kemaksiatan, dan tidak menjalankan aturan sesuai syariat setelah ia ditentukan dan ditetapkan.
Dari fakta-fakta yang sudah mencuat di publik, bisa diasumsikan hal-hal yang lahir dari kapitalisme tidak akan mampu mengurai masalah lingkungan. Ini disebabkan karena kapitalisme selalu mengutamakan keuntungan materi yang bersifat pribadi tanpa memikirkan keberlangsungan bersama. Konferensi-konferensi yang dilakukan pun bisa saja hanyalah basa-basi gengsi belaka, karena sistem kapitalisme ini mewadahi berbagai kepentingan korporasi tertentu.
Berbeda sekali dengan Islam yang menyelesaikan masalah secara sistematik dan satu-satunya kepentingan yang dicari semata beribadah kepada Allah. Islam memiliki konsep kepemilikan, yakni individu, umum dan negara. Konsep tersebut menjadikan pemerintah tidak bisa sembarangan menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum dan negara kepada suatu pihak atau individu tertentu, seperti pengelolaan lahan hutan, laut, dan sebagainya. Hal tersebut menjadi tindakan preventif agar tidak terjadi eksploitasi lingkungan yang akhirnya berdampak pada kerusakan alam.
Selain itu, penerapan ekonomi dan politik sesuai syariat Islam akan dapat merinci prioritas berdasarkan kepentingan umat. Tiap individu diberikan edukasi terhadap pentingnya menjaga pemberian Allah di muka bumi ini, sebagaimana para sahabat di masa lalu yang mendengarkan perkataan Rasulullah untuk menjaga lingkungan dan meresapi firman Allah SWT.
Wallahualam bishawab.
Post a Comment