Oleh: Ida Istikhomatul Khoiriyah
Alumni Universitas Pancasila
Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Ciptaker banyak yang menentang karena isinya tidak jelas, masih banyak hal yang
tidak bisa diterima atau masih banyak cacatnya. Maka, Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan
sidang mengenai UU Ciptaker dan memberikan
putusan akhirnya yaitu memberikan waktu 2 tahun untuk pemerintah dan DPR
memperbaiki pembuatan UU Ciptaker. Namun, putusan MK terkait UU Ciptakerja banyak menuai kontroversi.
Pakar Hukum Tata Negara dari STIH
Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dua
tahun tak lepas dari pertimbangan politik. Bivitri menilai hal itu bukan
sebuah kemenangan bagi para pemohon meskipun uji formil dikabulkan. "Bila
melihat rekam jejak MK, kita juga bisa melihat bagaimana MK selalu melakukan
pertimbangan politik, tidak hanya hukum. Karena itu lah, jalan keluarnya adalah
conditionally unconstitutional,"
kata Bivitri. (CNN 27/11/2021).
Dengan cara memberikan conditionally unconstitutional dinilai
sikap MK tidak tegas, ambigu dan membuat kejanggalan. Seharusnya kalau MK
menilai UU Ciptaker
itu cacat formil, maka hal yang harus diambil sikap tegas yaitu MK dapat
membatalkan seluruhnya bukan malah memberikan waktu untuk merevisi UU tersebut.
Bisa dibayangkan UU Ciptaker prosedur
dianggap inkonstitusional, tetapi tetap dianggap konstitusional. Artinya UU
Ciptaker ini tidak batal alias aturannya tetap berlaku. Hanya saja, MK
memberikan persyaratan agar mendapat perbaikan dalam tempo selama 2 tahun ke
depan. Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka UU Ciptaker akan dinyatakan
benar-benar inkonstitusional secara permanen. Dan juga MK meminta agar
menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan
berdampak luas juga melarang menerbitkan peraturan pelaksaan (PP) baru sebagai
turunan UU Ciptaker ini.
Indonesia meniru UU Ciptaker atau Omnibus
Law dari beberapa negara yang sudah menerapkannya seperti Amerika Serikat,
Kanada, Vietnam dan Filipina. Negara-negara tersebut yang sudah menerapakan
peraturan itu bisa dikatakan berhasil. Namun di Indonesia meniru peraturan tersebut
akibatnya mudah dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan segelintir para
pemodal atau investor untuk mencari keuntungan dan banyak merugikan masyarakat.
MK menjadi tempat berharap atas keadilan masyarakat terkait UU yang dibuat oleh pemerintah maupun
DPR. Namun keputusan MK atas sidang UU Ciptaker menunjukkan pro kepada pihak
kapitalis yang berkepentingan saja dan juga pihak-pihak yang
diuntungkan tidak menilai keadilan untuk seluruh masyarakat. Sebagian kalangan menilai MK tampak masih tunduk pada kekuatan
eksekutif.
Semua UU Ciptaker ini lahir dari asas kapitalisme dan sekularisme yang menuhankan akal dan bertumpu
pada pemegang kekuasaan demokrasi yaitu para pemilik uang. Berbeda dalam sistem
Islam,
penguasa hanya berposisi sebagai pelaksana hukum, bukan pembuat hukum.
Hukum dalam Islam berasaskan akidah Islam, keimanan
kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Mengatur, Mahaadil, Mahatahu, dan
Mahasempurna sehingga semua hukum-hukum Islam bersifat fiks dan jauh dari kepentingan pihak
mana pun, termasuk para penguasa, apalagi pengusaha.
Sangat berbeda dalam ketegasan bersikap untuk membela kebenaran dan
memenangkan kemaslahatan publik seperti Mahkamah Mazhalim yang ada dalam sistem Islam. Mahkamah Mazhalim ialah qadhi yang diangkat
untuk menyelesaikan setiap tindakan kezaliman yang dilakukan oleh negara yang
menimpa setiap orang yang hidup di bawah kekuasaan negara.
Masyarakat,
penguasa, pejabat ataupun pegawai yang melanggar hukum syariat akan diputuskan
perselisihan tersebut oleh Mahkamah Mazhalim. Mahkamah Mazhalim juga berwenang
mencopot penguasa yang membebani rakyatnya. Misalkan dalam penetapan harga,
jika tidak adil maka disebut juga sebagai tindakan kezaliman, pun terkait
kebijakan dalam penarikan pajak, dan lain-lain yang dikenakan secara
semena-mena, sebab mengambil harta seorang Muslim tanpa hak juga termasuk
tindak kezaliman.[]
Post a Comment