Berada di Pertengahan, Benarkah Solusi?


Oleh Ummu Zhafran
Pegiat literasi

Kata moderasi kini  semakin terdepan.   Sejak dicanangkan menjadi program pengarusutamaan dalam beragama, terlihat pemerintah sangat serius dan konsisten mewujudkannya. Sejak periode lalu lembaga Kementerian Agama sebagai yang menggawangi proyek ini getol melakukan kampanye hingga menyentuh semua lapisan. Mulai dari dunia pendidikan tinggi sampai pendidikan anak usia dini. 

Seluruhnya bermuara pada satu tujuan yaitu mewujudkan sikap moderat dalam beragama. Segenap warga negara di tanah air diharapkan bisa berada di tengah alias tidak berlebihan dalam agama.

Mengapa harus demikian? Mengutip laman kominfo, konon terdapat kecenderungan sebagian orang terjebak pada pengamalan agama yang terlalu fanatik. Dengan mengatasnamakan agama, jadilah sebagian orang menebarkan caci maki, amarah, fitnah, berita bohong, memecahbelah, bahkan menghilangkan eksistensi kelompok berbeda. Untuk itu, mereka yang mengamalkan pemahaman agama yang berlebihan itu diharapkan mengambil jalan moderat yang dapat memanusiakan manusia. (kominfo.go.id, 2019)
Kelihatannya bagus. Karena dikemas dengan menarik. Namun bila kita sedikit cermat, ada kejanggalan  tersirat dari pesan di atas. Seruan untuk moderat seolah ingin mengirim sinyal bahwa  Islam yang ideal adalah yang berjalan di tengah (wasathan), ramah, santun, anti fanatisme dan menjunjung tinggi toleransi.  
Sebaliknya, muslim  taat pada syariat terlebih yang ingin kafah menjalankan aturan Penciptanya, diberi stigma berlebihan, radikal, menebar kebencian bahkan benih terorisme. Duh, logika macam apa ini? Bukankah Islam itu satu kesatuan, tak ada istilah pinggir, tengah ataupun ujung? Keseluruhannya diturunkan  Sang Khaliq, pencipta alam semesta.

Lebih lanjut, demi menguatkan istilah moderat agar mudah diterima umat, surah Al Baqarah ayat 143 tak jarang diangkat sebagai dalilnya,

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), ummatan wasathan (umat pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Untuk itu, mari kita jenguk dalam kitab tafsirnya Imam At-thabary. Makna wasath diartikan   ‘udulan (umat yang adil) dan khiyar (pilihan). Makna yang sama juga diungkap oleh Imam Ibnu Katsir, yaitu umat pilihan dan  terbaik. Sementara Al Baghawi dalam tafsirnya, menukil dari Al-Kalbi sesungguhnya  berkata,  “Maksud dari  ‘Umat pertengahan’ adalah; pengikut agama yang adil antara berlebih-lebihan dalam beribadah dan teledor dalam menjalankan syariat agama, yang kedua sifat ini amat dicela dalam agama.”

Maka merujuk para ulama tafsir di atas,  wasathan berarti adil dan terbaik. Selalu berjalan lurus fokus pada tujuan meraih Ridho Allah swt.   Karena bila tidak,  tentu   mengarah pada jalan yang buruk.   Yaitu berlebihan dalam beragama atau bahkan mengabaikan perintah agama.  

Mari  bandingkan dengan makna moderat yang digunakan perumus aslinya dari Barat.  Rand Corporation,  sebuah lembaga think-thank dari Amerika Serikat menulis dalam salah satu artikelnya berjudul Building Moderate Muslims Network,  

 “Muslim moderat adalah mereka yang (setuju) dan menyebarkan cara pandang nilai-nilai inti demokrasi. Termasuk mendukung demokrasi, dan HAM  yang diakui secara internasional (termasuk persamaan gender dan kebebasan beribadah), respek terhadap perbedaan, setuju terhadap sumber hukum yang non-sektarian dan menentang terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan yang terlarang lainnya.” (Building Moderate Muslim Networks)

Gamblang dan tak terbantahkan,  dari apa yang tersurat. Sikap moderat identik dengan kompromi.  Siap  menerima perbedaan dari segala yang datang di luar Islam hatta yang bertentangan sekalipun. Mereka yang mengusung ide ini berdalih hal tersebut perlu dilakukan demi menghindari bentrok antar umat beragama hingga yang tidak beragama.  Menyaksikan gejala demikian, salahkah bila umat mencemaskan ada upaya mereduksi bahkan mengalienasi ajaran Islam di balik agenda moderasi?  

Jika benar demikian, tentu sangat ironis. Di negeri dengan pemeluk Islam terbesar dunia justru ajaran Islam dijerat dengan ide moderat.   Keinginan umat untuk kembali menapak sunah Rasulullah Saw. dan para sahabat dianggap angin yang hanya lewat.  Padahal sami’na wa atho’na (Kami dengar dan taat) terhadap segala yang datang dari Allah dan Rasulullah Saw. sejak berabad lalu hingga akhir zaman sudah seharusnya jadi prinsip umat. Sama sekali tak layak diganggu gugat.  

Allah Swt. berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan jangan kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al Baqarah:208)

Dalam tafsirnya Imam Ibnu Katsir menegaskan inti sari dari ayat ini,
“Yakni masuklah kalian ke dalam syariat Nabi Muhammad Saw. dan janganlah kalian meninggalkan sesuatu pun yang ada padanya.” 
Artinya tersisa hanya dua pilihan membentang di hadapan umat.  Mengikuti syariat Allah atau  melangkah bersama setan. Meniti jalan ke surga atau ke neraka.Tak ada pilihan untuk berada di pertengahan. 

Sampai di sini jelas, alih-alih  menanamkan nilai-nilai agama sesuai tuntunan Pencipta, moderasi malah berisiko mengaburkan bahkan mengubur pemahaman Islam.  Akibatnya tak sedikit muslim yang merasa asing dan takut terhadap syariat Islam itu sendiri. Padahal sepanjang masa kekuasaan Islam, terwujud kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan  hingga level yang tak terbandingkan sepanjang peradaban manusia.

Saatnya  menyadari bahwa Islam itu solusi. Tegaknya mendatangkan harmoni. Syaratnya,  kafah diterapkan sebagai cermin dari keimanan. Maka moderasi selamanya  tak jadi kebutuhan.  Wallaahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post