No title


Benarkah Solusi Iklim COP 26 Mampu Mengatasi Perubahan Iklim?

Oleh : Aisha Besima (Aktivis Muslimah Banua)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26 di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11). Dalam pidatonya Jokowi menyampaikan Indonesia akan terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim yang menjadi ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global (Republika, Rabu 3/11/2021). 

Mengamati Presiden Jokowi yang menyampaikan pidatonya di acara KTT COP 26 yang menurut WALHI hanyalah menyampaikan capaian Indonesia, mendorong negara maju untuk pendanaan dan jualan hutan. Direktur WALHI Kalsel, Kisworo DC Sabtu (6/11/2021) menyayangkan pernyataan Jokowi pada COP 26 tersebut. Pasca itu cuitan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu Siti Nurbaya Bakar di Twitter juga menuai kontroversi. 

Walhi Kalsel pun bereaksi atas KTT COP 26 ini dengan membentangkan spanduk #savemeratus juga melayangkan lima penyataan sikapnya. Dalam momentum COP 26 kemarin, Walhi Kalsel menyatakan sikap dan mendesak Pemerintah Republik Indonesia sebagai berikut, pertama, menolak praktik perdagangan karbon berbasis mekanisme pasar. 

Kedua, menjadikan pembahasan Loss and Damage akibat krisis iklim sebagai agenda yang mendesak. Ketiga, mempercepat phasing out PLTU batubara sebelum 2030 dan menghentikan solusi iklim palsu. Keempat, menyelamatkan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dari dampak krisis iklim. Kelima, melakukan pendekatan negosiasi berbasis hak bagi masyarakat adat, kelompok muda, perempuan dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Walhi menyadari bahwa perubahan iklim terjadi secara sistematis dan bukan tanpa sebab. Skema perdagangan karbon dan offset emisi merupakan skema keliru karena tidak efektif mengurangi emisi secara drastis dan cepat, tidak menjadikan rakyat sebagai subyek, akan memperluas konflik, perampasan tanah dan memperuncing ketidakadilan. 

Perdagangan karbon dan offset emisi tidak lebih dari sekedar perampasan ruang hidup rakyat dengan kedok hijau serta menjadi skema greenwashing bagi korporasi perusak lingkungan. Celakanya skema inilah yang juga didorong oleh Indonesia, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di COP 26.

Perubahan iklim sejatinya karena kerusakan lingkungan akibat ulah tangan manusia juga. Seperti deforestasi hutan, penambangan batubara, alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit dan lain sebagainya. Ada paradigma mendasar dan memerlukan kajian sistemis dalam tata kelola lingkungan kita. 

Dalam sistem hari yang dalam paradigma kapitalisme. Mengutamakan kepentingan korporasi adalah faktor yang menyulitkan niat untuk mewujudkan kelestarian lingkungan. Hasrat untuk meraih keuntungan telah menghilangkan kesadaran korporasi untuk memperhatikan lingkungan. Karena paradigma dalam Kapitalisme tidak ada pembagian mana kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. 

Alhasil, bablas semuanya hingga hutan digunduli, berganti kebun kelapa sawit, sumber daya alam dikeruk dieksploitasi besar-besaran tanpa ada batasnya. Pembangunan di teluk-tekuk dengan reklamasi dan berbagai eksploitasi sumber daya alam serta energi dimasifkan tanpa adanya kepedulian terhadap lingkungan. Jadi, selama negara masih memberikan peluang individu untuk menguasai aset-aset umum, selama itu pula para korporasi merusak lingkungan.

Kerakusan Kapitalisme telah membuat kerugian dunia seluruhnya. Namun, yang dituntut untuk mengembalikan lagi kondisi iklim menjadi baik justru rakyat yang tak pernah mendapatkan apa-apa. Maka, jikalau pemerintah dengan serius menginginkan iklim yang bagus dan lingkungan yang ramah. 

Tentu seharusnya pemerintah dalam merumuskan regulasi yang ramah lingkungan, tidak semata-mata berhitung untung rugi dan aspek bisnis dan pembangunan. Selayaknya pemerintah melibatkan ahli lingkungan dalam melakukan proses pembangunan dan mereduksi praktik uji AMDAL abal-abal yang pro kapitalis. Tetapi kenyataannya, pemerintah justru sebaliknya, membuka kran investasi dengan lebar, dengan beberapa UU omnibus law, UU ciptaker dan UU minerba. Jelas sekali dampak dari ketiga UU yang dikeluarkan oleh pemerintah, berefek pada kerusakan lingkungan dan bahaya-bahaya lainnya.

Inilah sebabnya, mengapa masalah mengenai lingkungan ini membuat penanganan yang sistematis. Dimana, pengelolaan masalah lingkungan ini, seharusnya memakai paradigma yang sohih, yang sesuai sunatullah penciptaan lingkungan sebagai habitat seluruh makhluk. Maka, batang tentu pengelolaan lingkungan merujuk kepada sistem Islam. Dalam Islam, hal ini sangat diperhatika. Allah swt. berfirman, “ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS Al-A’raf:56). 

Islam memiliki regulasi, bahwa pengelolaan lingkungan hidup, Islam memiliki konsep kepemilikan yang jelas, Pertama kepemilikan individu, kedua kepemilikan umum dan ketiga kepemilikan negara. Maka tidak boleh yang menjadi kepemilikan umum dikelola oleh individu, dan yang berhak mengelola kepemilikan umum dan negara hanyalah negara.

Maka tentu saja, tidak akan ada eksploitasi besar-besaran seperti sekarang sistem kapitalisme yang dimana seorang individu menguasai kekayaan sumber daya alam. Karena jelasnya kepemilikan dan siapa saja yang boleh mengelolanya. Inilah tindakan preventif agar tidak terjadi eksploitasi lingkungan yang berdampak pada kerusakan.

Dengan demikian, lingkungan dalam kepemimpinan sistem Islam akan terjaga kelestariannya, keasriannya, serta fungsinya sebagaimana mestinya. Karena penanganan lingkungan harus bersifat sistemis. Jalan satu-satunya menyelamatkan dunia dari perubahan iklim ini adalah meninggalkan kapitalisme dan mengambil Islam sebagai gantinya. Wallahu a'alam bishowab.[].

Post a Comment

Previous Post Next Post