Rekontekstualisasi Fikih Berbahaya Bagi Islam dan Umatnya



Oleh Ummu Salman
(Pegiat Literasi)

Pada senin, 25 Oktober 2021 lalu, telah terlaksana sebuah acara yaitu Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 yang digelar di Surakarta, Jawa Tengah. Tema yang diangkat dalam acara  tersebut adalah “Islam In A Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy”. 

Disebutkan Ada 14 konteks pentingnya pembahasan dari tema yang disebutkan, diantaranya adalah norma-norma agama bisa bersifat universal dan tidak berubah, misalnya, keharusan seseorang berusaha mencapai kesempurnaan moral dan spiritual atau bisa juga bersifat "fleksibel", jika dihadapkan pada masalah spesifik yang muncul dalam situasi waktu dan tempat yang selalu berubah.

Juga disebutkan bahwa setiap usaha untuk mendirikan negara Islam-al-imamah al-udzma universal (Imamah Agung), juga dikenal sebagai al-khilafah (khilafah) hanya akan menimbulkan bencana bagi umat Islam. Karena akan ada banyak pihak yang berebut untuk menguasai umat Islam di seluruh dunia. (ngopibareng.id, 25/10/2021) 

Setelah sebelumnya digalakkan program moderasi beragama yang bertujuan untuk membuat kaum Muslim  lebih terbuka menerima ide-ide dan nilai-nilai Barat yang sekular. Sebagai kelanjutan dari moderasi agama, maka sekarang ada upaya yang lebih lagi yaitu rekontekstualisasi fikih. Dari 14 konteks yang disebutkan, umat Islam kembali digiring agar menerima cara pandang Barat dalam memandang suatu permasalahan. 

Ini terlihat dari poin yang menyatakan bahwa jika dihadapkan pada masalah spesifik yang muncul dalam situasi dan  tempat yang berubah maka bisa fleksibel. Artinya karena situasi yang berubah maka umat Islam tidak harus tetap berpegang teguh pada aturan Islam yang ada tetapi Islam harus menyesuaikan dengan situasi dan tempat yang berubah tersebut. 

Sesungguhnya rekontekstualisasi fikih ini adalah trend lama. Ada upaya untuk mengganti pemikiran Islam dengan pemikiran sekularisme ala Barat yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Itu artinya agama pun harus dipisahkan dari politik dan negara. Dengan cara pandang seperti ini, maka tidak aneh jika kemudian mereka pun menolak sistem khilafah. 

Bagaimanapun Barat tidak akan lupa dengan sejarah tentang khilafah. Barat terus berupaya untuk mencegah munculnya kembali khilafah. Berbagai stigma negatif dan citra yang buruk mereka ciptakan tak lain agar umat Islam sendiri merasa anti, benci dan takut pada khilafah. 

Barat berharap agar umat Islam enggan mengambil sistem khilafah sebagai sebuah sistem yang mengatur kehidupan mereka. Karena jika sampai ini terjadi, maka dominasi mereka atas dunia Islam akan berakhir. 

Dalam Islam sendiri, ada metode yang khas dalam menyelasaikan persoalan baru yang muncul dalam kehidupan manusia sebagai akibat dari perkembangan zaman. Metode tersebut adalah ijtihad. Sebuah metode untuk menggali hukum melalui Al-Qur'an dan sunah.

 Dalam melakukan proses ijtihad, para mujtahid akan mengkaji sebuah fakta baru yang akan ditentukan hukumnya. Kemudian akan dicari nash Al-Qur'an maupun hadis yang berkesesuaian dengan fakta baru tersebut, lalu kemudian ditentukan hukumnya. Jadi ijtihad bukanlah mengubah hukum yang ada lalu disesuaikan dengan fakta yang terjadi. 

Jelas ijtihad berbeda dengan rekontekstualisasi. Oleh karena itu upaya rekontekstualisasi fikih adalah upaya yang berbahaya bagi Islam dan umatnya. Karena itu artinya umat Islam akan terlepas dari mengikatkan diri pada syariah yang merupakan aturan Allah. Syariah Islam ibarat kompas, yang menunjukkan arah yang tetap. Sebaliknya Barat seperti termometer yang berubah-ubah mengikuti suhu tubuh manusia, mengikuti kehendak manusia sebagaimana rekontekstualisasi. Rekontekstualisasi adalah upaya untuk mengotak atik pemikiran Islam agar sesuai dengan hawa nafsu manusia. Maka rekontekstualisasi tidak sesuai dengan prinsip dalam Islam. 

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post