Kisruh Tes PCR, Demi Kesehatan atau Akomodasi Kepentingan Para Kapital?

By : Merli Ummu Khila
Pemerhati kebijakan Publik

Siapa sangka dibalik kesengsaraan akibat pandemi yang berkepanjangan,ada segelintir pihak yang memanfaatkan kesempatan meraup keuntungan dari bisnis pelayanan dan alat Kesehatan. Tes PCR yang di awal pandemi dipatok dengan harga yang selangit, begitu juga obat dan alat kesehatan lainnya. Harga sengaja dipermainkan oleh kartel dengan menimbun dan membuat barang menjadi langka dan harga mereka melonjak tidak terkendali.

Beberapa pekan yang lalu, jagat maya di hebohkan dengan kebijakan pemerintah yang mensyaratkan tes PCR bagi calon penumpang transportasi udara, dan mewacanakan akan diberlakukan pada seluruh moda transportasi. Berdasarkan Instruksi Mendagri (Inmendagri) No. 57/2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 3, level 2 dan level 1 Covid-19 di Jawa dan Bali, Awalnya pemerintah mewajibkan tes PCR untuk penerbangan domestic dengan tarif awal 490 sampai 500 ribu. 

Masyarakat menilai bahwa kebijakan tes PCR sarat akan kepentingan karena PCR tidak efektif secara biaya,waktu dan tempat. Justru seharusnya bagi calon penumpang yang sudah fully vaccinated sudah lebih dari cukup sebagai syarat berpergian. Meskipun akhirnya pemerintah merevisi kebijakan dengan menurunkan biaya tes PCR hingga 275 ribu dari biaya awal pandemic sebesar 2,5 juta kemudian tidak lagi mensyaratkan tes PCR bagi calon penumpang yang sudah dua kali vaksin.

Berulang kalinya kebijakan ini berubah menyiratkan tanya, bagaimana mungkin sebuah kebijakan dibuat tanpa ada pertimbangan yang matang. Artinya kebijakan pemerintah tidak lagi mempertimbangkan keadaan ekonomi rakyat. Namun setelah menadapatkan desakan akhirnya direvisi berkali-kali. Sebuah kebijakan seperti uji coba semacam test the water, jika tidak ada protes berarti maju, jika diprotes tinggal di revisi. Lalu dimana prioritas kepentingan rakyat di mata pemerintah?

Mungkinkan Demi Kesehatan?

Menurut epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman, moda tranportasi udara memiliki resiko yang relatif kecil dibanding transportasi darat dan laut. Risiko penularan hanya satu kasus dari  27 juta orang karena di dalam pesawat dilengkapi HEPA (High Efficiency Particulate Absorbing) yaitu filter khusus yang mampu membunuh jamur, bakteri, dan virus di udara. Jadi sebuah kebijakan yang janggal terlebih lagi tes PCR diberlalukan pada penerbangan domestik, yang negara lain tidak memberlakukannya.

Jika saja syarat tes PCR demi mencegah penularan, harusnya kebijakan ini disyaratkan pada moda transportasi darat seperti bus yang mempunyai risiko penularan tertinggi. Hal ini dikarenakan bis antar kota antar provinsi yang tidak ada jendela yang bisa dibuka untuk sirkulasi. Namun tentu saja akan sulit diterapkan karena secara biaya akan lebih besar biaya tes ketimbang harga tiket kecuali tes PCR digratiskan. 

Lalu bagaimana masyarakat bisa menerima alasan tes PCR ini demi Kesehatan? Buat apa memasifkan vaksinasi jika harus dibebankan lagi dengan tes PCR sebagai syarat berpergian.

PCR, Bisnis Yang Sistemik Dan Masif

Salah satu perwakilan koalisi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, mensinyalir  kebijakan tes PCR hanya untuk memuluskan kepentingan para kapital yang memiliki bisnis alat kesehatan. Tidak bisa dipungkiri bahwa bisnis alat kesehatan di masa pandemi ini menjadi bisnis yang menggiurkan. Bayangkan saja, di awal pandemi sudah berapa juta jiwa yang melakukan tes PCR dengan harga yang masih selangit.

Di awal pandemi, bagi pasien yang hendak melakukan tes PCR harus merogoh kocek sebesar 2,5 juta rupiah. Jika saat ini penurunan harga hingga 4 kali hingga turun ke nominal 275 ribu saja. Sungguh sebuah keuntungan yang sangat besar. ICW mencatat setidaknya ada lebih dari Rp 23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut dengan profit sekitar Rp 10 triliun lebih.

Masih menurut Wana, kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga tes PCR untuk kepentingan mobilitas dan demi memulihkan ekonomi. Mensyaratkan tes PCR pada trasportasi dengan dalih penumpang 100% semakin memberikan kesempatan para kapital memeras calon penumpang. Hal ini mengonfirmasi bahwa pemerintah telah gagal menjamin kesehatan rakyat, bahkan membebani rakyat dengan segala persyaratan. 

Terlebih lagi, baru-baru ini public dihebohkan oleh berita keterlibatan pejabat public yang terlibat mafia bisnis tes PCR seperti dikutip oleh KOMPAS.TV, 2/11/2021 , dalam liputan investigasi majalah Tempo, disinyalir ada praktik mafia bisnis tes PCR yang menadi perhatian public setelah gonjang- ganjing tes PCR yang kontroversial.

Rakyat Selalu Menjadi Korban Kerusakan Sistem

Dari semua yang terjadi di negeri ini,semestinya kita sebagai rakyat sadar bahwa setiap kebijakan yang diambil pemerintahan yang jarang sekali pro terhadap kepentingan rakyat. Penting bagi kita untuk menentukan sikap karena mendiamkan berarti semakin memperpanjang penderitaan akibat sistem rusak ini.

Kebijakan yang selalu berpihak pada pengusaha merupakan keniscayaan pemerintahan dalam demokrasi. Karena lahirnya penguasa merupakan hasil politik jual beli kepentingan pada masa pemilihan. Pengusaha dan penguasa selalu bermutual demi sebuah kekuasaan. Rakyat hanya dijadikan alat sebagai simbol kedaulatan yang faktanya sangat bertolakbelakang.

Tidak mungkin ada harapan atau perbaikan selama corak bernegara masih kapitalisme demokrasi. Asas sistem kapitaslime adalah sekulerisme yaitu menafikan peran agama dalam kehidupan. Kehidupan bernegara yang seharusnya mengatur dan mengurusi urusan rakyat, pada faktanya justru mengurusi urusan para korporat. Kalaupun ada pejabat yang melakukan perbaikan, namun tidak akan berhasil karena system buatan manusia memang terbukti tidak bisa menyelesaikan problematika yang multi dimensi.

Lalu masihkah kita menggantungkan harapan pada sistem yang menyengsarakan? 

Wallahu a'lam bishshawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post