Oleh: Albayyinah Putri, S.T.
Alumnus Politeknik Negeri Jakarta dan
Universitas Jayabaya
Kekerasan seksual bukan lagi hal asing
di telinga masyarakat saat ini. Kasus kekerasan seksual terus bertambah di
setiap tahunnya, baik terhadap anak kecil, perempuan ataupun laki-laki. Dikutip
dari republika.co.id, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist
Merdeka Sirait, merasa miris melihat kasus kekerasan terhadap anak tetap tinggi
di masa pandemi, saat mereka
justru terus dekat dengan keluarga. Berdasarkan catatannya, ada 2.726 kasus
kekerasan terhadap anak sejak Maret 2020 hingga Juli 2021 ini dan lebih dari
setengahnya merupakan kasus kejahatan seksual.
Namun kasus ini masih belum bisa
diatasi dengan sempurna. Beberapa waktu yang lalu, heboh pelaku kekerasan
seksual terhadap anak di bawah umur yang bebas dari penjara. Mirisnya, karena
pelaku tersebut adalah seorang public
figur, kebebasannya malah disambut
dengan gegap gempita, disertai karangan bunga, dan diliput oleh banyak media.
Bahkan selepas bebasnya dia, banyak stasiun televisi mengundangnya, entah apa maksudnya.
Hal ini jelas membuat netizen geram, seolah media, pelaku dan
sebagian kelompok yang ikut merayakan kebebasannya memaklumi kasus ini yang
sebenarnya bagian
dari kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Mereka tidak berpikir bagaimana kondisi psikis korban
yang melihat pelaku tertawa dan berperilaku seolah-olah seorang pahlawan yang
berhasil meraih medali emas dan menyumbangkannya untuk negara. Kalangan public figur yang kontra terhadap hal
ini pun mulai angkat suara, namun begitu juga dengan mereka yang menganggap
bahwa SJ selaku pelaku berhak mendapatkan tempat kembali di tengah-tengah
masyarakat, karena dia sudah menebus kesalahannya di dalam penjara.
Sungguh aneh dan miris sekali peraturan
yang digunakan saat ini. Ketidakcocokan, ketidakadilan, perbedaan pendapat dan
perdebatan akan terus ada dengan sistem saat ini. Bahkan mereka bersembunyi di
balik HAM dan kebebasan berpendapat. Tentu saja ‘kebebasan’ di sini sama sekali tidak menyelesaikan
masalah, tapi terus saja menambah masalah baru. Kasus tersebut bisa membuka
mata kita, bahwa ada yang salah dari sistem saat ini.
Dimulai dari penggunaan media yang
tidak lagi digunakan untuk memberitakan atau meliput hal-hal yang bermanfaat
bagi masyarakat, media
saat ini banyak memanfaatkan berita viral
saja dan mengutamakan rating atau viewers
terlebih dahulu, sehingga membuat pelaku kekerasan seksual masih bisa
melenggang bebas dan tertawa di stasiun televisi.
Selain itu sebagian mereka yang pro
menganggap, pelaku juga manusia biasa yang hak-haknya dilindungi oleh negara.
Dia masih punya kesempatan untuk mencari ‘nafkah’ dan memulai lembaran baru karena
kesalahan yang dia lakukan memang sudah ditebus. Tapi apakah mereka memikirkan
bagaimana perasaan korban? Entahlah.
Sungguh hal ini memperlihatkan bagaimana ketidakseriusannya pemimpin saat ini
dalam menyelesaikan masalah kekerasan seksual baik terhadap anak maupun
terhadap perempuan.
Persoalan kekerasan seksual tidak akan
bisa selesai selama sistem yang menguasainya adalah sistem batil. Materi dan hawa
nafsu menjadi tolak ukur dalam melakukan aktivitas. Sekularisme dengan
pemahaman-pemahaman turunannya seperti liberalisme dan feminisme tidak akan
mengantarkan kehidupan manusia kepada keberkahan. Manusia dibuat menjadi lupa
dengan identitasnnya sebagai seorang hamba, semakin jauh dari Sang Pencipta dan
tidak mempedulikan aturan-aturan dari Sang
Pencipta.
Saat ini para feminis masih terus
semangat menyuarakan pengesahan RUU-PKS yang dianggap sebagai penyelesaian
masalah dalam setiap kasus kekerasan seksual. RUU-PKS hanya salah satu dari
aturan yang mencerminkan sekularisme, menjauhkan manusia dari aturan agamanya.
Kekerasan seksual memang diatur di dalamnya, namun tidak dengan kejahatan
seksual lainnya seperti penyimpangan seksual yang seharusnya juga menjadi
permasalahan umat.
Inilah bukti bahwa RUU-PKS sebuah ilusi yang
dijadikan sebagai solusi, pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah.
Seharusnya, manusia dikembalikan kepada fitrahnya. Tidak seperti sistem saat
ini, aturan dan tuntutan masyarakat sangan kontradiktif. Mereka ingin kasus
kekerasan seksual diberantas, tapi kontrol pergaulan, kontrol media, pornografi
yang menjadi faktor-faktor kasus kekerasan seksual semakin marak tidak
diperhatikan.
Namun, Islam memiliki aturan yang sempurna
dalam menyelesaikan problematika umat, salah satunya kasus kejahatan seksual.
Kejahatan seksual dalam Islam bukan hanya kekerasan seksual yang didefinisikan pada sistem saat
ini saja, tapi termasuk kegiatan seksual yang menyimpang atau menyalahi
syari’at termasuk bagian dari kejahatan seksual. Salah satu faktor utama
terjadinya kejahatan seksual adalah faktor dari luar yang mempengaruhi naluri
seksual setiap manusia (gharizah an-nau’),
dari hal inilah Islam mengatur perihal interaksi antara laki-laki dan
perempuan. Konten-konten yang berbau sensual, pornoggrafi, atau mengumbar aurat
akan menjadi perhatian bagi pemerintahan Islam.
Selain itu Islam juga memiliki kontrol
sosial di tengah-tengah masyarakat, kesadaran akan ber-amar ma’ruf nahi munkar sudah tertanap pada setiap individu karena
ketaatannya kepada syari’at dan bagian dari konsekuensi keimanan. Sehingga
fenomena saling mengingatkan antar individu adalah hal yang biasa dilakukan.
Pelaku kejahatan seksual juga akan
mendapatkan sanksi yang tidak main-main. Beratnya sanksi ini akan membuat
individu lainnya berpikir
dua kali jika mau melakukan kejahatan seksual. Sanksi dalam Islam memiliki 2
tujuan, yaitu jawabir (penghapus
dosa) dan zawajir (memberikan efek
jera) bagi pelaku.
Aturan Islam ini jelas pernah
terlaksana dan berhasil diterapkan sejak zaman Rasulullah sampai runtuhnya
kekhilafahan terakhir yaitu Turki Utsmani. Bukan suatu hal yang mustahil jika
saat ini aturan Islam kembali ditegakan, karena aturan Islam mengantarkan
kembali manusia kepada fitrahnya sesuai bagaimana konsep penciptaan-Nya. Dengan aturan seperti inilah semua
lapisan masyarakat termasuk perempuan dan anak di dalamnya akan mendapatkan
perlindungan. Wallahu’alam.[]
Post a Comment