Oleh Lina Lugina
Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah
Dilansir dari finance.detik.com (20/10/2021), PT Garuda Indonesia Tbk ramai diperbincangkan. Ketika tengah dilakukan upaya penyelamatan melalui restrukturisasi, tiba-tiba muncul kabar emiten berkode GIAA itu akan pailit. Pailit sendiri merupakan risiko yang terselip dari salah satu opsi penyelamatan Garuda Indonesia dari utang yang menggunung. Jauh sebelumnya ada empat opsi yang disiapkan untuk menyelamatkan maskapai milik negara itu. Risiko pailit itu membayangi untuk opsi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Restrukturisasi yang dilakukan melalui PKPU sudah jatuh tempo sekitar Rp 70 triliun dari total utang Rp 140 triliun.
Direktur utama Garuda Indonesia Irfan Setia Putra mengakui dalam skema PKPU ada risiko pailit atau bangkrut, sebab dalam aturan PKPU jika dalam 270 hari tidak ada kesepakatan dan penyelesaian dari debitur dan kreditur maka perusahaan otomatis pailit. Maka untuk menghindari risiko pailit tersebut Garuda Indonesia sudah menyiapkan dua jurus, namun keduanya harus benar-benar dipersiapkan karena akan ada hal-hal yang bisa mengacaukan strategi tersebut.
Adapun opsi pertama dari penyelamatan Garuda Indonesia adalah pemerintah terus menyokong pengokohan Garuda Indonesia dengan memberikan suntikan ekuitas atau pinjaman. Opsi ketiga Garuda Indonesia melakukan restrukturisasi namun yang direstrukturisasinya adalah perusahaan bukan utang artinya akan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Sedangkan opsi keempat Garuda Indonesia dilikuidasi dan posisinya akan digantikan oleh swasta.
Krisis Garuda Indonesia akibat utang yang menggunung menunjukan salah kelola dalam industri vital negara. Keempat opsi tadi nyatanya tidak menjadi solusi selama belum ada perubahan paradigma pengelolaan. Sedari awal BUMN di negeri ini dikelola dengan prinsip kapitalisme neoliberal, di mana aset strategis BUMN diperjualbelikan dengan mudah. Siapa pemilik modal terbesar maka dialah pemilik sesungguhnya, sementara negara hanya bertindak sebagai regulator yang akan memuliakan jalan korporasi dalam menguasai aset strategis negara. Alhasil BUMN bukan milik negara lagi melainkan milik segelintir orang yang dapat sesuka hati dalam mengelolanya. Saat BUMN untung mereka yang menikmatinya, sementara ketika merugi dan berutang rakyatlah yang diminta menyelamatkan BUMN. Sungguh miris. Padahal rakyat tidak pernah menikmati pelayanan terbaik dari BUMN yang dimiliki negara.
Inilah sistem kapitalis yang menjalankan konsep Hirriyah Milkiyah atau kebebasan kepemilikan. Konsep ini telah membebaskan manusia dalam memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun. Tidak terkecuali kepemilikan aset transportasi negara.
Berbeda dengan Islam, transportasi udara tentu saja menjadi kebutuhan publik. Kepemilikannya pun tidak dapat diberikan kepada pihak pribadi. Karena hal tersebut sangat bertolak belakang dengan konsep kepemilikan dalam Islam. Justru Islam memandang bahwa negara merupakan pihak yang bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya menjamin akses setiap orang, bukan segelintir orang atau golongan tertentu. Sehingga negara wajib menyediakan fasilitas transportasi udara yang murah, aman, nyaman dan manusiawi. Negara mengelola aset negara demi kemaslahatan umat. Karena pengelolaan aset negara harus sesuai dengan aturan hukum syara. Hukum sempurna yang tercantum dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, yang aturannya hanya dapat diterapkan di bawah naungan negara Islam.
Wallahu'alam bishawab.
Post a Comment