Gawat, Rakyat RI Terancam Sengsara Tujuh Turunan


Merli Ummu Khila 
Pemerhati Kebijakan Publik 


"Mentalitas emoh utang, ogah bayar pajak itu tidak boleh ada. Jadi kalau nggak mau utang, konsekuensinya bayar pajak. Tapi kalau nggak mau dua-duanya ya bubar republik ini,"
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, Cnbcindonesia.com Kamis 04/11/2021. 

Sebuah statment pejabat publik yang seolah menegaskan bahwa solusi utang adalah pajak dan solusi defisit anggaran adalah utang. Utang terus ditumpuk tidak peduli sudah melampaui ambang batas normal. Bahaya pun mengintai, siap memporakporandakan sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi dengan sekali serangan. Serangan itu adalah gagal bayar utang dan resiko negeri tergadai. 

Chatib Basri, ekonom senior mengatakan bahwa posisi Indonesia dalam bahaya karena utang luar negeri. Bayangkan saja, beban bunga utang yang akan terus meningkat dan tidak menutup kemungkinan negara akan gagal bayar, bahkan sekedar bunga utang saja. Tahun ini saja bunga yang harus dibayar sebesar Rp 405 triliun. Dan nilai ini tidak flat tetapi akan terus meningkat tinggi sejalan dengan penambahan utang dan pergerakan nilai tukar rupiah. 

Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari paradigma ekonomi kapitalis dimana para pemilik modal mengendalikan properti sesuai dengan kepentingan mereka dan negara hanya berperan sebagai regulator. Corak kepemimpinan kapitalis demokrasi juga menjadi celah para kapital bermutual dengan penguasa mengeruk keuntungan tanpa batasan kepemilikan.  

Batasan kepemilikan inilah yang paling berperan memiskinkan pemerintah dan seluruh penduduknya kecuali penguasa dan pengusaha yang mengendalikan perekonomian. Setiap orang baik asing maupun swasta lokal bebas menguasai dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan yang memiliki nilai yang lebih dari cukup untuk memenuhi anggaran belanja negara. Negara justru menjadikan pendapatan utama berupa remah-remah dari kekayaan tersebut yang bernama pajak. Pendapatan yang tidak mungkin mampu menalangi semua pengeluaran negara yang berujung defisit anaggaran.

Jadi, mengapa pemerintah begitu hobi berhutang dan kelimpungan membayar?
jawabannya adalah kurang uang belanja. Sederhananya seperti orang 
yang didesak oleh kebutuhan tapi tidak ada biaya pada akhirnya mencari jalan keluar yang paling memungkinkan dan utang dijadikan solusi. Meskipun kita tahu bahwa defisit anggaran tidak hanya karena faktor tidak adanya uang akan tetapi cara bernegara kita sudah salah sejak awal pembentukan pemerintahan. Demokrasi yang berbiaya tinggi meniscayakan adanya politik transaksional antara calon penguasa dan pengusaha.

Utang Ciptakan Kemiskinan Sistemik

Lalu apa kaitannya dengan kemiskinan rakyat? Toh yang punya utang negara, yang wajib bayar juga negara. Mungkin itu yang ada dibenak rakyat sehingga tidak faham bahwa kesulitan hidup yang di alaminya berkaitan erat dengan keuangan negara. Defisit anggaran yang mekin melebar tentu sejalan dengan upaya pemerintah mencari tambahan pemasukan. Dan sayangnya pemasukan itu berasal dari pungutan pajak.  Sebagaimana kita tahu bahwa pemerintah semakin ugal-ugalan membebani pajak ini itu pada rakyat.

Mungkin sebagian masyarakat memahami bahwa beban pajak hanya berdampak pada sasaran pajak misal produsen makanan atau pelaku usaha. Padahal efek domino atau reaksi berantai yang merupakan efek kumulatif dari pungutan pajak ini menyentuh hingga rakyat bawah yaitu terjadi kenaikan harga dari suatu barang atau jasa. Rakyat dari ekonomi kelas menengah kebawah yang penghasilan pas-pasan atau bahkan tidak berpenghasilan akan sulit meningkatkan ekonomi keluarga. Penghasilan yang tidak bertambah tapi pengeluaran yang membengkak karena kenaikan harga menjadikan ekonomi keluarga pun menjadi defisit anggaran.

Keadaan ini akan terus berlansung dan semakin  buruk selama pemerintah belum menemukan solusi melunasi utang. Karena solusi yang saat ini dilakukan hanya berkutat pada penambahan utang dan penarikan pajak. Parahnya pemerintah baru saja  menerbitkan utang jangka panjang atau obligasi global dengan nilai yang sangat tinggi yaitu US$4,3 miliar atau kisaran Rp68,8 triliun . Dan yang paling mengkhawatirkan adalah obligasi ini merupakan surat utang denominasi dolar AS terbesar sepanjang sejarah. Artinya pemerintah sudah mewariskan untuk pemerintah selanjutnya karena rentang waktu obligasi yang panjang. Situasi inilah yang membuat keadaan rakyat terancam sengsara hingga ke anak cucu. Bisa dibayangkan besarnya utang dan bunga yang harus ditanggung saat obligasi jatuh tempo.

Solusinya Benahi Sumber Pemasukan

Permasalahan utang ini beritu kompleks beserta risiko turunannya. Seperti berjalan di terowongan gelap tidak berujung. Kehidupan terus berjalan dan pengeluaran adalah sebuah keniscayaan. Apa solusi jika faktanya saat ini pemerintah memang tidak akan sanggup melunasi utang, dan semua konsekuwensi harus ditanggung oleh rakyat.

Solusi yang paling tepat adalah membenahi pemasukan adlah dari SDAL (Sumber Daya Alam dan Lingkungan). Bukankah amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 berbunyi : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lalu dimana implementasi dari UUD ini ? faktanya saat ini bumi, air dan kekayaan alam sudah dikuasai Asing dan Aseng. Dan pemerintah hanya berpuas dengan menerima pajaknya saja. 

Sebut saja Blok Wabu di Intan Jaya, Papua yang sudah diserahkan oleh PT Freeport sebelum 2018 lalu, tambang yang memiliki kadar emas 2,16 gram perton ini memiliki potensi emas hingga 8.1 juta ounces. Ferdy Hasiman, Peneliti Alpha Research Database menyebutkan bahwa potensi yang dimiliki setara dengan 300 triliun dengan asumsi  harga emas US$ 1.750 per-tory once. Namun sayangnya potensi ini belum juga dikelola negara, bahkan ada kemungkinan akan jatuh lagi ke tangan swasta.

Walhasil, selama pemerintah masih menjadikan sistem pemerintahan kapitalis demokrasi yang tidak pernah berpihak rakyat maka kesengasaraan akan dialami hingga tujuh turunan. Lalu apa lagi yang harus dipertahankan dari sistem sekarang?

Wallahu a'lam bishshawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post