Beban Rakyat Bertambah di Tengah Wabah





Oleh Hida Muliyana, SKM
 (Pemerhati Kesehatan Masyarakat)

Pemerintah memberikan sinyal akan mengizinkan maskapai mengangkut penumpang dengan kapasitas penuh atau 100 persen. Hal itu seiring pemberlakuan syarat tes polymerase chain reaction (PCR) bagi penumpang pesawat. Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021, pemerintah mewajibkan penumpang perjalanan udara membawa hasil tes PCR (H-2) negatif sebagai syarat penerbangan pada masa PPKM. (Tribunnews, 21/10/2021)

Kabar ini sontak membuat beban rakyat semakin bertambah. Biaya transportasi udara hingga hari ini juga masih tergolong mahal. Ditambah dengan aturan baru bahwa penumpang harus menunjukkan surat hasil PCR. Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa harga pemeriksaan PCR itu tidaklah murah, hanya sebagian orang yang mampu membayarnya secara pribadi. 

Adapun alasan pemerintah memberlakukan ini adalah dalam rangka kehati-hatian ketika kapasitas penerbangan sudah dibolehkan 100 persen oleh pemerintah. Maka menurut pemerintah untuk meningkatkan screning covid, penumpang wajib membawa hasil tes PCR negatif. Sebagai syarat penerbangan selama masa PPKM.

Menyaratkan PCR agar moda transportasi udara bisa berkapasitas penuh adalah kebijakan yang menyusahkan masyarakat. Baik secara biaya ataupun secara teknis. Selain itu ada hal yang membuat rakyat merasa tidak adil. Ketika hendak melakukan penerbangan  transportasi udara diwajibkan untuk menunjukkan hasil tes PCR. Sementara moda transportasi yang lain tidak diwajibkan, seperti transportasi darat dan laut. 

Ini terkesan ada pihak terkait yang ingin mengambil keuntungan. Sikap ini amat bertolak belakang dengan sikap peduli terhadap kesehatan masyarakat. Jika pemerintah serius ingin menjaga kesehatan masyarakat, mestinya syarat ini juga berlaku di moda transportasi lain. 

Inilah ciri khas dari rezim yang menjalankan sistem kapitalis, dimana pertimbangan peraturan hanyalah sebatas pertimbangan keuntungan bukan karena kemaslahatan masyarakat. Jika kebijakan yang diterapkan itu menguntungkan pihak tertentu khususnya para pejabat dan segelintir pengusaha, maka kebijakan itu akan diambil. 

Bahayanya sistem ini adalah selalu mengenyampingkan kepentingan rakyat dan mengedepankan kepentingan pihak tertentu. Tak terkecuali masalah kesehatan masyarakat. Sistem ini melahirkan sikap acuh,  bahkan nyawa rakyat pun bagaikan tak berharga.

Berbeda halnya dengan pemerintahan dalam Islam. Islam menjadikan kesehatan adalah adalah bagian dari kebutuhan masyarakat yang ditanggung urusannya oleh negara itu sendiri. Artinya negara memiliki kewajiban untuk menjamin kesehatan masyarakatnya secara cuma-cuma. Bukan malah rakyat yang harus memenuhi kebutuhan kesehatan itu secara pribadi, apalagi harus membayar fasilitas kesehatan secara mandiri. Islam juga memandang nyawa rakyat sangat berharga dan dijaga keselamatannya oleh negara.

Di masa pandemi saat ini Islam juga memiliki konsep tersendiri dalam mencegah dan menanggulangi wabah yang terlanjur tersebar di negara. Negara juga akan mengikuti saran para ahli kesehatan untuk mendukung upaya pemerintah. Semua fasilitas yang mendukung dalam upaya pencegahan dan pengobatan seperti alat tes PCR, masker, vaksin, termasuk upaya 3T dijamin oleh negara langsung tanpa membebani rakyat. Rasulullah saw pernah bersabda : “Iman (Khalifah) adalah pengurus, ia bertanggungjawab atas urusan rakyatnya.” (HR Muslim). 

Kesehatan dalam pandangan Islam merupakan kebutuhan pokok masyarakat, bukan jasa untuk dikomersialkan. Tidak dibenarkan bahkan haram hukumnya pemerintah memiliki program yang bertujuan mengkomersialkan pelayanan kesehatan masyarakat. Atau menghadirkan institusi kapitalisme seperti lembaga asuransi BPJS.

Islam mewajibkan negara bertanggung jawab langsung terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat secara gratis dan berkualitas. Rasullah saw. bersabda: “Imam (Khalifah) menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) pengembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.”

Haram bagi negara yang hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator. Islam hanya mengenal prinsip pembiayaan kesehatan berbasis baitul maal yang bersifat mutlak, yang diatur sesuai syariat Islam. Apabila kas baitul maal tidak mencukupi maka negara akan melakukan konsep pajak temporer. Yakni memungut dari orang-orang kaya sesuai anggaran mutlak. Demikianlah kehidupan dalam pemerintahan Islam.
 Wallahu a’lam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post