Arus Kontekstualisasi Fikih Mengobok Ajaran Islam


Oleh : Hasna Fauziyyah Khairunnisa

Baru-baru ini Kementrian Agama menggelar Annual Internasional Conference on Islamic Studies ( AICIS) ke-20 dengan tema “Islam in a Changing Global Context: Rethingking Fiqh Reactualization and Public Policy”, atau reaktualisasi fikih dan kaitannya dengan berbagai kebijakan publik. Acara ini dilaksanakan pada hari minggu, 24 Oktober 2021 di The Sunan Hotel, kota Solo, Jawa Tengah yang di hadiri para peneliti, dosen, hingga pakar lintas keilmuan. Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas mengungkapkan pentingnya untuk merekontekstualisasi konsep fiqih agar agama bisa menyesuaikan keadaan zaman yang terus berubah. Ia menambahkan, “ditengah perubahan yang demikian pesat, dunia membutuhkan sebuah ortodoksi atau Fikih Islam Alternatif, yang akan dirangkul dan diikuti oleh sebagian besar umat Islam di dunia.” Selain itu, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Suyitno mengatakan AICIS tahun ini digelar dengan beberapa inovasi yang responsif terhadap perkembangan era supremasi digital. Acara ini difokuskan pada 14 konteks yang berkaitan dengan beragam isu seperti pandemi, moderasi beragama, kerukunan, harmoni, tata kelola pendidikan, serta isu spesifik lain seperti isu wisata halal dan lain sebagainya.

AICIS dengan berbagai kontroversinya tentu akan membahayakan kaum muslimin. Karena jika di telusuri ternyata pernyataan Kemenag tentang rekontekstualisasi fikih ini sudah menjadi tren sejak lama, yaitu ada kecenderungan menundukan pemikiran Islam kepada pemikiran Barat. Para pengusung ide ini telah sering kali melakukan penafsirann Al – Qur’an sesuai dengan keinginan mereka. Mereka akhirnya menjadikan pemikiran pemikiran Barat sebagai pijakan. Contohnya pada pembagian harta waris. Ketika masa Menag Munawir Sjadzali, beliau mau merubah bagian waris menjadi 1 : 1 dengan alasan karena perempuan sudah bekerja. Jika di telusuri ternyata 1 : 1 itu adalah hukum perdata Belanda pasal 852.  Inilah bentuk peraturan dan hukum produk Barat yang berlandaskan pada sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Pemikiran sekulerisme inilah yang menjadi jalan bagi Barat untuk tetap menjajah Indonesia meski bukan lagi dalam bentuk penjajahan fisik. Baik penjajahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Semua ini dibalut dengan ideologi negara yang sudah disepakati bersama. Hingga saat ini sekulerisme ini terus menerus dikampanyekan oleh para pengagumnya.

Jika ini terus di biarkan maka ummat akan menafsirkan Al – qur’an dan As-sunnah sesuai dengan kepentingan manusia. Jika ada aturan Islam yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka, maka mereka tidak segan untuk mengotak- ngatik, mengobok hingga mendiskriminasi ajaran Islam.

Allah berfirman :  “Dan janganlah kamu campur adukan antara kebenaran dengan kebatilan dan ( janganlah ) kamu sembunyi dari kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.”
( Q.S. Al Baqarah : 42 )

Maka inilah urgensitas kita sebagai umat muslim dalam menghadapi kekacauan pemahaman di tengah-tengah ummat. Dengan kejadian ini seharusnya semakin menguatkan keimanan kita keoada Allah SWT dan semakin meningkatkan perjuangan untuk menerapkan Islam secara kaffah tanpa belenggu sekularisme maupun moderasi Islam ala Barat melalui tegaknya kembali Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah yang ke dua, dengan begitu maka umat Islam akan memahami betapa sempurnanya aturan Islam berserta fikih-fikihnya ketika di tegakan dalam sebuah negara. Hanya dengan Khilafahlah negeri-negeri Muslim akan kembali bersatu dan terbebas dari berbagai nestapa akibat penjajahan.

Wallahu a’lam bi ash-shawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post