Konflik berlatar belakang agama sering terjadi, dan biasanya disulut oleh sikap paham keagamaan yang salah tafsir hingga selalu merasa benar sendiri. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Timur H. Masrawan saat membuka acara Dialog Kerukunan Intern Umat Beragama Kalimantan Timur di Hotel Mercure Samarinda, Jalan Mulawarman Nomor 171, Rabu (22/09) ( https://kaltim.kemenag.go.id )
Karakteristik masyarakat di Kalimantan Timur sangat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan ras. Karakteristik kemajemukan ini dinilai berpotensi untuk memicu konflik, sehingga perlu dilakukan upaya strategis untuk meredam ataupun menghindari konflik.
Kementerian Agama sendiri dalam hal ini sudah 4 tahun terakhir telah menawarkan solusi untuk menata kehidupan keagamaan yang damai melalui pengambilan sikap moderasi beragama. Yaitu sebuah sikap pemahaman keagamaan yang berada di tengah atau moderat. Sikap dan pandangan yang tidak berlebihan, tidak ekstrem dan tidak radikal, dan bersinergi antara keadilan dan kebaikan. Sikap ini mampu ditempatkan dalam rangka penguatan rasa kebangsaan dan cinta tanah air _(hubbul wathon)._
Hal ini dilakukan dengan harapan untuk menciptakan kehidupan intern umat Islam dan antar agama yang damai dan tentram serta menghindari paham keliru yang bisa merusak agama Islam.
*Upaya Penikaman pada Ajaran Islam*
Sejak lama, Barat berupaya untuk melakukan demonisasi ajaran Islam. Tak cukup melakukan demonisasi, mereka juga menstigmakan kaum muslimin yang berpegang teguh pada syariat sebagai kaum intoleran.
Islam rahmatan lil ’alamin kemudian mereka tafsirkan dengan makna menerima kebenaran segala keragaman agama, budaya, dan politik. Hasil liberalisasi Islam ini pada akhirnya memunculkan paham pluralisme, dengan ide moderasi beragama.
Menurut kaum pluralis (yaitu penganut pluralisme), konflik dan kekerasan akan hilang jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar _(truth claim)._ Terlihat ada keinginan untuk melenyapkan _truth claim_ yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstremisme, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan antarumat beragama.
Persoalan kebenaran agama-agama, dianggap sebagai persoalan yang kritis dalam hubungan antarumat beragama. Keyakinan bahwa agamanya saja yang benar sedang agama yang lain salah, dipandang sebagai salah satu pemicu radikalisme. Sehingga paham pluralisme adalah cara tepat untuk mengatasi hal tersebut, dengan menganggap semua agama benar dan sama.
Atas nama menjaga persatuan bangsa dan merawat kebudayaan, pluralisme melenggang bersenyawa dengan konsep moderasi beragama. Agar ide ini terkesan urgen, diwacanakanlah pentingnya menjaga persaudaraan, yang meliputi merawat persaudaraan umat seagama, memelihara persaudaraan sebangsa dan setanah air, serta mengembangkan persaudaraan kemanusiaan.
Semangat pluralisme ini adalah jembatan untuk menyatukan perbedaan dari aspek teologi. Seolah agama adalah sumber konflik dari segala konflik yang terjadi.
Tentu saja pandangan ini tak berpijak pada fakta yang sahih. Mengingat berbagai konflik yang terjadi di dunia lebih banyak terjadi karena hegemoni kapitalisme global atau perebutan kekuasaan, juga karena kepentingan politik negara-negara besar
Jika dicermati, pemikiran seperti ini hendak mengarahkan muslim agar tidak perlu menerapkan semua syariat Islam, cukup sebagiannya saja. Padahal, Allah memerintahkan setiap muslim untuk menerapkan semua syariat-Nya secara kaffah (Lihat QS Al-Baqarah [2]: 208).
Paham pluralisme melalui ide moderasi beragama telah menjadikan ajaran-ajaran Islam tak wajib diterapkan, seperti dalam berekonomi, pendidikan, pemerintahan, politik dan lainnya. Paham ini menjadikan muslim rela diatur dengan aturan dan sistem buatan manusia, seperti kapitalisme, liberalisme, demokrasi dan lainnya. Akibatnya muslim pun tidak mau diatur dengan syariat Allah dalam seluruh aspek kehidupannya. Sungguh memprihatinkan.
Menurut pluralisme, penerapan ajaran Islam harus “dalam koridor prinsip fleksibilitas hukum Islam”. Prinsip seperti ini telah menimbulkan cara pandang salah dalam menyikapi hukum Islam. Karena menganggap “hukum Islam itu fleksibel”, akhirnya hukum Islam bisa diubah dan dikompromikan sesuai kehendak. Padahal, hukum Allah bersifat tetap. Aturan Islam tidak berubah karena waktu dan tempat.
*Hukum-Hukum Islam yang Diubah*
Atas nama moderasi beragama, banyak hukum Islam yang diubah dan diganti. Kitab-kitab turats peradaban Islam diremehkan, dianggap harus dibedah, direvisi, dan diganti sesuai perspektif sekuler liberal. Upaya revisi pemahaman Islam tersebut diklaim demi menciptakan Islam yang tidak radikal, toleran, penuh kasih sayang, menghormati keragaman, tidak anti-Barat, dan terbuka dengan perubahan dan kemodernan.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan misalnya, banyak diutak-atik dan diubah. Demi keadilan dan kesetaraan gender, seorang istri bisa saja menjadi kepala keluarga dan tidak wajib taat dan melayani suaminya. Padahal, Islam menetapkan yang sebaliknya, bahwa laki-laki adalah pemimpin dan kepala rumah tangga, sementara istri salihah wajib taat dan melayani suaminya. (lihat QS An-Nisa [4]: 34).
Demikian juga atas nama HAM (hak asasi manusia), maka liwath (homoseksual) yang Allah sebut sebagai perbuatan yang melampaui batas (lihat QS Asy-Syuara [26]: 165—166) menjadi boleh bagi siapa pun yang menginginkan asalkan tidak mengganggu yang lainnya.
Masih banyak hukum Islam lainnya yang diubah, sehingga yang seharusnya wajib menjadi tak wajib, yang haram menjadi halal, dan seterusnya, karena menerapkan konsep moderat dalam cara beragama.
Inilah hakikat dari moderasi beragama, yang kemudian disebut dengan bermacam-macam nama dan istilah. Di antaranya adalah _Islam wasathiyah_ (Islam moderat), Islam kebangsaan, Islam nusantara, Islam substansi, dan lain lain. Apa pun sebutannya, hakikatnya sama, yaitu mengubah syariat atau hukum-hukum Islam. Maka, moderasi beragama hakikatnya adalah mengubah agama.
Moderasi beragama adalah racun produk Barat yang sengaja diekspor ke negeri negeri muslim termasuk Indonesia sebagai bagian dari strategi Amerika Serikat (sebagai representatif Barat) untuk memenangkan pertarungan ideologi antara Islam (politik) dan kapitalisme. Moderasi beragama dilancarkan untuk memisahkan umat dari pemahaman Islam kafah, ide Khilafah, dan para pengusungnya.
Jelas, moderasi beragama diaruskan untuk menghalangi penerapan hukum-hukum Allah secara sempurna. Tentu ini akan mengantarkan murka Allah dan menimpakan keburukan dunia dan akhirat. _Na’uudzubillahi min dzaalik._
_Wallahu a’lamu bi as-shawwab.[]_
Post a Comment