Pajak Pendidikan, Kebijakan Tidak Manusiawi


Oleh: Ummu Riefta (Aktivis Muslimah)


Dunia pendidikan seolah berada di ujung tanduk. Daftar panjang hancurnya dunia pendidikan bukan hanya dari segi mutu pendidikannya saja, namun juga dari segi finansialnya. Hak guru belum merata sampai ke tingkat bawah. Nasib guru honorer yang belum mendapatkan gaji yang layak tidak sebanding dengan ilmu yang diberikan. Apalagi dengan dampak kondisi Covid -19 yang belum terpulihkan. Penerapan kebijakan pembelajaran secara daring saat ini pun dinilai sangat carut-marut. Seharusnya kebutuhan akan pendidikan merupakan hak bagi seluruh rakyat Indonesia. Sungguh sangat miris dengan nasib dunia pendidikan di negeri yang besar dan kaya akan sumber daya alamnya tapi tak mampu menggaji guru dengan layak.


Pemerintah selaku pengelola negara ini memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945. Pendidikan adalah bukan semata-mata mereka yang memiliki uang saja yang bisa mendapatkan akses pendidikan, tetapi mereka yang miskin dan berada di kawasan 3T (tertinggal, terluar, terdepan) juga harus mendapatkan pendidikan yang layak. Keberadaan akses internet dan penunjang pembelajaran daring masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia jika dilihat dari catatan total keberadaaan 83.218 desa/kelurahan. Terdapat 12.548 desa atau kelurahan yang belum terjangkau jaringan 4G. Sehingga, hal ini menimbulkan sebuah permasalahan yang sangat serius. Seharusnya pemerintah mencarikan solusi atas problematika yang terjadi.


Pemerintah dinilai gagal dalam mengatasi carut-marut pendidikan di tengah pandemi Covid-19 selama hampir 2 tahun ini. Belum terselesaikan masalah pendidikan akibat dampak Covid-19, pemerintah justru membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tengah dibahas Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI (Kontan.xo.id, 9/9/21).


Menurut Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, yang dilansir dalam Kontan.co.id. Hasil sementara, seluruh jasa pendidikan merupakan obyek PPN yang terutang pajak atas konsumsi tersebut. Namun, untuk jasa pendidikan yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak seperti sekolah negeri tetap mendapatkan fasilitas pengecualian PPN. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sudah mencuat pada Juni 2021 lalu. Setelah marak penolakan dari masyarakat, rencana tersebut redup dari pemberitaan media. Namun hal tersebut tidak bermakna pembatalan. Pada September 2021, keinginan pemerintah untuk memberlakukan pemungutan pajak pendidikan kembali digulirkan. Bukan sekadar wacana, tetapi telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 tertuang dalam pembahasan revisi RUU KUP (cnbcindonesia.com, 13/09/2021).


Anggota Panja RUU KUP dari Fraksi PDIP Said Abdullah membeberkan sejauh ini, pembahasan dengan pemerintah, bahwa PPN akan dikenakan kepada sekolah yang tidak menjalankan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) atau tidak berorientasi nirlaba. Memang sekolah negeri tak dikenakan pajak, karena diperlukan orang banyak. Namun jika semua sekolah swasta yang menjadi tujuan objek pajak akhirnya yang disasar bukan hanya sekolah swasta internasional saja, tentunya akan menimbulkan masalah baru. Bagaimana nasib sekolah swasta yang berada dibawah naungan yayasan seperti madrasah ataupun pesantren yang keberadaannya merupakan hasil dari peran aktif masyarakat yang menjadi donatur? Apakah akan terimbas pajak yang memberatkan? Apakah kebijakan ini akan berimbas ke sekolah-sekolah, yayasan dan pesantren kebanyakan berada di pedesaan kecil?


Sekolah-sekolah swasta, yayasan dan pesantren turut berjuang mengisi dunia pendidikan, walaupun dengan infrastruktur yang minimal. Mereka telah lama hadir demi ingin memberikan pendidikan yang terbaik agar tak tertinggal dari peradaban yang kian maju. Jika berlaku pajak atas sekolah-sekolah swasta, yayasan dan pesantren, maka akan semakin menambah beban bagi keberadaannya.


Dengan adanya komersial pendidikan ini akan memberikan dampak pula bagi pendidikan yang semakin mahal dan sulit diakses masyarakat bawah, alih–alih digadang-gadang untuk mewujudkan azas keadilan. Alasannya karena tidak semua sekolah sanggup dikenakan pajak pendidikan. Hanya lembaga pendidikan tertentu yakni yang bersifat komersial dan tidak menjalankan kurikulum minimal yang diisyaratkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Namun berbagai pihak justru menilai kebijakan ini akan memberikan dampak sebaliknya, bukan keadilan yang terwujud akibat pemungutan pajak pendidikan, namun sebaliknya kesenjangan antara ‘si kaya’ dan ‘si miskin’ semakin lebar.


Hal ini karena pendidikan dibandrol dengan harga tertentu yang sulit untuk dijangkau oleh masyarakat. Apalagi puluhan juta masyarakat Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Seperti laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan dalam laman resmi bps.go.id, pada Maret 2021 jumlah penduduk miskin sebesar 10,14% atau sebanyak 27,54 juta orang. Padahal standar garis kemiskinan yang ditentukan terbilang kecil yakni Rp472.525, 00/kapita/bulan. sekolah-sekolah, yayasan dan pesantren


Negara dinilai abai akan hak rakyat meskipun kebijakan ini akan dijalankan setelah pandemi. Sudah tergambar bahwa makin lengkap fakta negara yang gagap melayani hak rakyat dalam bidang pendidikan yang harusnya menjadi tanggung jawabnya, namun justru mencari celah untuk memungut pajak. Padahal saat ini ekonomi masyarakat semakin sulit, semua serba terjepit, keadaan masa pandemi seolah menghentikan roda perekonomian masyarakat, apalagi kebijakan PPKM selalu diperpanjang membuat ekonomi rakyat makin sekarat.


Pandangan Islam Terhadap Pendidikan

Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.
Rasulullah saw bersabda, “Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah).


Karena itu negara wajib mengambil peran demi terselenggaranya pendidikan yang berkualitas dan mudah dijangkau oleh semua warga negara. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk generasi yang memiliki kepribadian Islam yang luhur dan ahli dalam berbagai bidang.


Islam memandang bahwa negara adalah pengurus seluruh urusan umat (riayah su'unil ma’al ummah). Termasuk dalam masalah pendidikan negara wajib menyediakan pendidikan yang murah bahkan gratis. Sepanjang peradaban Islam saat negara yang menerapkan syariat Islam berdiri, hal itu merupakan sebuah keniscayaan. Sebab sistem ekonomi Islam memiliki aturan yang sangat terperinci terkait pos-pos pemasukan dan pengeluaran negara. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) misalnya, dalam syariat Islam ditetapkan bahwa air, api dan padang rumput adalah milik umum.


Rasulullah saw bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)


Adapun pajak (dharibah) dalam ketentuan syariat hanya boleh diambil dari kaum Muslim yang mampu (kaya) saja. Pajak juga bukan pendapatan negara yang bersifat tetap, tetapi bersifat insidential atau temporal jika kas negara atau Baitul Mal tidak mencukupi. Tidak seperti pajak dalam kapitalisme yang menjadi pendapatan tetap dan dipungut dari semua warga negara.


Penerapan syariat Islam melalui sistem ekonomi Islam meniscayakan terjaga dan tercukupinya anggaran negara. Dengan demikian negara dapat memenuhi pendidikan rakyat dengan fasilitas lengkap dan berkualitas tanpa membebani para pelajar dengan sejumlah bayaran apalagi sampai memungut pajak dari sekolah, tentu tidak! Seperti yang pernah terjadi pada masa kekhilafahan Abbasiyah, Khalifah al-Mustansir Billah mendirikan Madrasah al-Mustansiriyah di kota Baghdad. Setiap siswa di sekolah ini diberikan beasiswa berupa emas seharga satu dinar atau 4,25 gram emas. Negara menjamin kebutuhan hidup keseharian mereka. Berbagai fasilitas sekolah seperti perpustakaan, rumah sakit dan pemandian telah tersedia di sekolah tersebut. Hal yang sama juga terjadi di Damaskus, Khalifah Nuruddin Zanky mendirikan Madrasah an-Nuriah. Di dalamnya disediakan fasilitas asrama siswa, perumahan bagi staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, juga ruangan besar untuk kegiatan diskusi maupun ceramah.


Perhatian negara pada masa peradaban Islam yang begitu besar terhadap pendidikan dengan fasilitas lengkap dan berkualitas mampu menghasilkan generasi dan intelektual yang berkualitas pula. Sebut saja Jabir Ibn Hayyan seorang Bapak Kimia penemu teori sublimasi, destilasi, kristalisasi juga piawai dalam bidang kedokteran. Kemudian Ar-Razi seorang fisikawan, kimiawan, dan dokter juga penemu vaksinasi cacar. Dari kalangan Muslimah ada Sutayta al-Mahamli, pakar matematika yang juga menguasai beragam bidang ilmu seperti sastra Arab, ilmu hadis dan hukum.


Sistem kapitalisme memangkas pertumbuhan generasi intelektual, maka sebaliknya sistem Islam  memacu dan mengembangkan pertumbuhan tersebut. Maka sudah saatnya mengakhiri penerapan sistem rusak yang melahirkan kebijakan tidak manusiawi seperti pajak sekolah. Terapkan syariat Islam, karena sudah terbukti mampu melahirkan generasi unggul dengan ketakwaan dan intelektualitas yang tak diragukan lagi.
Wallahu a’lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post