Oleh: Iswatun Hasanah, S. Pd (Aktivis Muslimah)
Pembahasan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) sebagai solusi perlindungan hukum kasus kejahatan maupun kekerasan seksual mendapat sorotan publik, seperti yang diketahui ketua panitia kerja rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual DPR Willy Aditya mengatakan RUU PKS telah berubah menjadi RUU tindak pidana kekerasan seksual, kini status RUU TPKS sebagai draft awal.
Willy juga menambahkan jika terjadi beberapa perubahan redaksi dan materi dalam RUU TPKS agar pembahasan RUU ini terus mengalami kemajuan, terkait hal ini Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyoroti tarik-menarik aturan perkosaan di dalam RUU TPKS, menurutnya aturan tentang perkosaan yang sempit dan sosial di dalam KUHP dan sejumlah kelemahan dalam tatacara pelaksanaan formal hukum pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP telah mencederai hak korban kekerasan seksual khususnya perempuan korban perkosaan yang kerap mengalami kerugian dan trauma berulang dalam proses memperjuangkan keadilannya. (www.republika.co.id, 25/09/2021)
Sejumlah organisasi masyarakat juga ikut berkomentar salah satu diantaranya koalisi masyarakat sipil antikekerasan seksual yang mengamati total ada 85 pasal hilang dalam draf RUU TPKS beberapa pasal yang menjadi esensi dari upaya penghapusan kekerasan seksual tak masuk dalam RUU PKS.
Draft lama RUU PKS lebih komprehensif mengatur penanganan kekerasan seksual mulai dari pencegahan sampai pemulihan korban, termasuk tindak pidana dan bagaimana pelaku bisa kembali ke masyarakat tanpa mencederai hak-hak korban, sedangkan RUU-PKS lebih menyorot bagian penindakan hukum ketimbang upaya penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.
Hal itu terbukti dari beberapa pasal krusial yang hilang dalam RUU-PKS adalah sebuah keniscayaan jika rencana draf RUU yang membahas terkait kekerasan seksual, ternyata begitu alot untuk mencapai sebuah kesepakatan, sebab lingkup kehidupan masyarakat saat ini ditata dengan aturan yang berpotensi saling kontradiktif, semisal atas nama HAM setiap individu bebas mewujutkan keinginannya, akibatnya nafsu pribadi menjadi dasar memutuskan apa yang benar dan apa yang salah.
Individu bebas memutuskan bagaimana dia memuaskan naluri seksualnya dan bagaimana dia menikmatinya sehingga menjamin kebebasan pribadi termasuk Orientasi seksualnya nyata-nyata menjadi prioritas dalam masyarakat dibandingkan menjadi kebaikan keluarga dan masyarakat.
Pandangan kebebasan tentang kepuasan seksual ini berdampak pada masyarakat, dimana hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi longgar, amoralitas merebak, iklan, Film, Televisi, musik, majalah, buku bertema pornografi menjadi hal biasa, tentu saja hal-hal semacam ini berpotensi besar membangkitkan gairah seksual ketika hasrat seksual terus-menerus dibangkitkan dan hawa nafsu mendominasi ketimbang berpikir dan berperilaku benar, maka hal ini tidak dapat dihindari sehingga banyak laki-laki dan perempuan berusaha untuk mencapai hasrat seksualnya dengan cara yang mereka inginkan dan dengan sarana yang tersedia meski kemudian itu harus melecehkan anak-anak dan mengeksploitasi para remaja.
Ironinya ketika kasus pelecehan dan kekerasan seksual semakin banyak, tidak ada larangan mengeksploitasi perempuan dan anak-anak ini akibat dari sistem kapitalisme yang menempatkan keuntungan finansial di atas perlindungan martabat perempuan. Sehingga terciptalah lingkungan untuk eksploitasi anak-anak remaja dan perempuan dalam perdagangan manusia prostitusi dan alat penghibur, akibatnya memicu kejahatan seksual.
Oleh karena itu untuk menuntaskan kejahatan seksual ini harus ada penciptaan lingkungan baru yang lahir dari sistem dengan paradigma menjaga kehormatan perempuan dan perlindungan terhadap anak-anak.
Tentu saja sistem ini adalah sistem Islam yang secara praktis terwujud dalam institusi Daulah Khilafah Islam yang memiliki pandangan bahwa kebahagiaan hidup adalah mencari Ridha Allah Subhanahu Wa Ta'ala bukan mengejar kesenangan fisik dan kenikmatan seksual.
Semua perilaku manusia didasarkan pada ketaatan atas perintah dan larangan Allah subhanahu wa ta'ala sehingga tidak ada ide kebebasan seksual untuk memenuhi Keinginan mereka.
Islam pun membuat aturan tegas tentang bagaimana memandang lawan jenis dan hubungan seperti apa yang diinginkan dalam melihat perempuan. Islam tidak mengizinkan laki-laki untuk memandang mereka sesuka hati tetapi harus dipandang dan selalu diperlakukan dengan bermartabat.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda;" sebaik-baik Kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya dan aku adalah yang terbaik dari kalian terhadap keluargaku." (hadis riwayat At Tirmidzi).
Syariat Islam memiliki aturan pergaulan laki-laki dan perempuan yang rinci dan komprehensif mengarahkan hasrat seksual untuk pernikahan saja, mulai dari hukum berpakaian yang menutupi aurat dan membatasi daya tarik laki-laki, menundukkan pandangan ketika timbul syahwat, melarang perempuan memperlihatkan kecantikannya dalam kehidupan publik, membatasi pergaulan antara perempuan dan laki-laki yang bukan mahram.
Islam pun melarang seks bebas (perzinahan) dan eksploitasi seksual terhadap perempuan dan anak-anak, termasuk tidak membolehkan adanya pembangkit hasrat seks di dalam kehidupan publik sebagai tindakan preventif terjadinya kejahatan seksual. Negara akan berlaku tegas menutup aplikasi-aplikasi yang bisa menjadi wadah maraknya adegan-adegan pembangkit hasrat seks dan juga memberi sanksi hukum bagi pelakunya.
Jelas syariat Islam akan meminimalisir gairah seksual bukan menekannya atau membebaskannya jika ada pihak yang melanggar maka akan diterapkan sanksi yang tegas sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan, adanya ketentuan aturan yang demikian dan diadopsi oleh negara akan membawa kebaikan baik bagi individu maupun masyarakat.
Sistem islam akan menjamin keutuhan keluarga, hak-hak perempuan dan laki-laki dalam hubungan yang sah dan menjamin perlindungan anak-anak dan pada akhirnya perlindungan kejahatan seksual kepada anak-anak dan perempuan benar-benar terwujud. Wallahu a'lam bi showab.
Post a Comment