Linggar, gadis belia berambut keriting gantung itu masih duduk diantara tumpukan batu bakal jalan setapak di desanya. Warga mengumpulkannya dari sungai di jurang atas perintah pak Kades, kabarnya jalan akan diaspal agar memudahkan orang masuk desa Kecubung, desa terpencil di bukit Siyem, kecamatan Alasrejo.
Udara bukit Siyem yang mulai dingin berkabut tak membuat Linggar beranjak, penantiannya pada sosok wanita lembut dengan kebaya dan jarik parang dengan selendang sutra hijau dipundaknya sepertinya kembali tidak membuahkan hasil.
"Nggar,"
Linggar menoleh ke arah kanannya, terlihat Gendis tersenyum menyapa, Kakak sepupunya datang membawa gelas bumbung dari bambu hitam berisi teh Sereh dan bunga Telang.
Hanya Gendis lah satu-satunya orang yang memahami kerinduan Linggar pada ibunya yang telah lama tak kunjung mengunjunginya sejak dititipkan ke keluarga uwaknya, Ayah Gendis.
"Mbak, apakah ibuku membenciku?"
Air mata yang ia bendung sedari tadi tumpah seketika, ia telah menunggu begitu lama, tanpa tahu kapan ibunya akan datang.
"Tidak ada yang membencimu, ibumu masih mencari rezeki di kota, ia akan datang dengan banyak hadiah, baju sekolah dan buku-buku cerita, seperti yang kamu inginkan" Gendis mengelus punggung gadis kecil itu.
Anak yang seharusnya bahagia bersama kedua orang tuanya harus rela hidup bersama keluarga jauhnya, ayahnya telah pergi selamanya, saat panen kecubung lima tahun lalu, saat itu usia Linggar masih tiga tahun, tentu saja anak segitu tak menyadari benar apa yang sebenarnya terjadi.
Ibunya, sebenarnya telah dijamin penghidupannya oleh pak Wongso, Uwak Linggar. Tapi, karena rasa sungkan menguasai hatinya, iapun pergi mengikuti tetangganya bekerja sebagai buruh masak di sebuah rumah makan di kota, biasanya dua atau tiga bulan sekali ia akan pulang, tapi kali ini sudah lebih dari enam bulan, membuat kerinduan Linggar makin membiru.
"Ini sudah lama sekali mbak, apa ibu tidak ingin melihatku?, menengok kuburan bapak?" Linggar menjatuhkan dirinya dalam pekukan Gendis.
Gadis itu hanya mampu menahan agar lisan dan tubuhnya tak menghindari Linggar. Sungguh malang nasib sepupunya.
Sebenarnya sepekan yang lalu telah sampai sebuah kabar dari Ning Asma, tetangga yang mengajak ibu Gendis bekerja di kota.
"Dek Saidah saat ini sedang dirawat di rumah sakit" kata Ning Asma kala itu.
Sebuah penyakit telah menginfeksi lambungnya, rasa rindu pada anaknya dan kurangnya jam istirahat sepertinya hanya sebagian penyebab naiknya asam lambungnya, sebelum pergi ke kota bu Saidah sudah sering merasakan sering mual, bibirnya nampak kering. Namun, keadaaan tersebut bukan halangan untuk meninggalkan desa Kecubung, kebiasaan menghirup wewangian bunga termasuk bunga Kecubungtak bisa hilang begitu saja, entah beruntung atau malang nasibnya, di halaman rumah makan tempatnya bekerja ada beberapa pohon Kevubung yang tak pernah berhenti berbunga, bunga berbentuk teropet berwarna putih dan kuning itu menghias indah di pojokan taman.
"Ayo, kita pulang saja, jika Bibi Saidah tahu Linggar sedih, pasti bibi lebih sedih lagi" Ajak Gendis meninggalkan tempat itu.
Harum bunga kecubung disekitar bukit sangat menenangkan, membuat kaki enggan beranjak.
"Mbak, badanku, aku mengantuk," ucap Linggar lirih, bumbung ditangannya tiba-tiba terjatuh, badannya lemas tak berdaya.
"Nggar, Nggar kamu kenapa?" Gendis mulai panik, menggoyang-goyangkan tubuh Linggar, tapi sepertinya ia sangat terlelap.
Diletakkannya tubuh gadis itu, dan berlari ke rumah.
"Bapaaaak, Linggar pingsan, Pak!" teriak Gendis sambil berlari dari kejauhan.
Pak Wongso yang sedang memberi makan sapi di kandang, segera keluar dan mendekati putrinya.
"Ada apa, Nduk?" tanya pak Wongso khawatir.
"Linggar pingsan pak, di dekat kebun Kecubung.
"Duh, Gustiii..."
Mereka berdua menuju kebun yang tak jauh dari rumahnya. Tubuh Linggar masih tergeletak disana, Pak Wongso mengangkat tubuh mungil itu dan segera membawa pulang.
"Iki mau lapo ceritane?" Tergopoh Pak Wongso memasuki rumah dan meletakkannya di kasur, memberinya minyak kayu putih dan menyelimutinya.
" Sudah dari tadi Linggar ada disana, dia menunggu Ibunya pulang, pak. Kulo khawatir perutnya yang kosong, biar hangat saya bawakan teh sereh dan telang yang di buat Ibu" tutur Gendis.
"Gusti Pengeran, mugo-mugo gak kenapa-kenapa, lain kali kasih jahe saja, biar bunga Telangnya buat Ibu, kalo dicampur sereh nanti jadi menenangkan, adikmu sedang di kebun, Kecubung itu punya racun sirep atau menidurkan, jadi khasiat Kecubung akan bertambah jika diberi Telang" pak Wongso menjelaskan.
"Duh, Gusti, maafkan kulo, Pak"
Semua tumbuhan itu pasti ada manfaatnya bagi manusia, tapi kalau pemakaiannya tidak tepat bisa berbahaya.
Uhug uhug
Suara batuk kecil keluar dari bibir mungil Linggar. Tangannya mulai menghangat di genggaman Pak Wongso.
"Orah po po, Nduk."
Lelaki setengah baya itu mendudukkan gadis yang masih lemah itu, ditinggikan bantal di belakangnya,
"Meneh maneh, ojo suwe-suwe nang kebon, yo. Mundak kesirep, mosok arep dadi Putri tidur?" Senyum di bawah kumis yang mulai memutih itu mengembang, lega melihat keponakannya tersadar dari pingsannya.
Semangkuk bubur sudah ditangan Gendis, ia ingat kalau Linggar sangat suka makan bubur beras yang dicampur jagung manis. Bu Wongso yang membuat, sejak Gendis teriak minta tolong Bapaknya tadi.
Post a Comment