Oleh Aning Ummu Salma
(Muslimah Peduli Umat)
Kesejahteraan guru di negeri ini dari masa ke masa belum menunjukkan peningkatan yang berarti.
Menurut Data Pokok Pendidikan Nasional (Dapodik) Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, ada 1.070.662 guru yang masih berstatus honorer dengan pendapatan di bawah UMR (rata-rata Rp.300.000 sampai dengan Rp.500.000 per bulan.
Bahkan tidak jarang viral di media sosial bagaimana kisah pilu mereka, mulai dari keluhan tidak menerima gaji, hingga ada yang terpaksa tinggal di toilet sekolah.
Kesenjangan upah/gaji guru di negeri ini begitu tinggi, tergantung dari wilayah dan status kepegawaian (honorer-PNS) masing-masing. Padahal mereka mengeluarkan daya upaya, tenaga, waktu, dan pikiran yang sama untuk mengajar. Bahkan untuk wilayah terpencil, mereka justru harus mengerahkan daya upaya dan pengorbanan yang lebih karena tak didukung fasilitas memadai sebagaimana di kota besar.
Kemudian dari segi kewajiban, antara guru PNS dengan honorer pun sama, yaitu mentransfer ilmu kepada anak didik.
Namun faktanya, guru honorer bukan hanya menerima upah tak layak, tapi juga harus mengalami penundaan pembayaran 3 hingga 6 bulan lamanya.
Ditambah lagi, mereka masih harus berjuang mendapatkan status sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau PNS karena status honorer dihapus oleh pemerintah.
Banyaknya guru honorer yang belum menjalankan sertifikasi, angkanya tak sebanding dengan kuota pengangkatan (PNS) tiap tahunnya. Jika tak ada lompatan, banyak guru yang tak pernah merasakan sertifikasi hingga datang masa pensiun.
Sementara itu, saat Kemendikbud serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) tengah melakukan pendataan terhadap pegawai honorer yang akan mendapatkan subsidi gaji Rp600 ribu, Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan terkait bantuan pemerintah tersebut, guru honorer belum bisa menerima bantuan karena pihaknya masih terkendala data di BPJS Kesehatan.
Seolah warga kelas dua, nasib guru honorer masih saja terkatung-katung dengan kebijakan yang dibuat penguasa di sistem kapitalis ini.
Sudah bertahun-tahun jeritan mereka terdengar. Aksi demi aksi dilakukan untuk memperjuangkan nasib, namun kebijakan yang ada tak kunjung memberikan solusi bagi mereka.
Nasib buruk yang dialami guru honorer di negeri ini tak lain dan tak bukan adalah akibat diterapkannya sistem kapitalisme sekuler. Ya, kapitalisme lah sistem hidup yang membawa pendidikan di negeri ini masuk ke dalam jurang kehancuran.
Tetap hidup dalam kapitalisme hanya akan membuat para guru menderita dan terhina. Padahal guru adalah tulang punggung pendidikan nasional yang akan menentukan nasib bangsa ini di masa depan. Generasi yang akan datang sangat ditentukan peran guru dalam mendidik mereka.
Seandainya pemerintah memperhatikan peran strategis ini, tentu pemerintah tidak akan abai dalam menyejahterakan para pencetak generasi ini. Seharusnya pemerintah lebih peduli dan bersungguh-sungguh memecahkan masalah nasib para guru honorer yang tidak mendapatkan hasil sepadan dengan jasa yang sudah dicurahkan.
Tapi sekali lagi, hal ini jelas membuktikan gagalnya sistem pendidikan kapitalis sekuler dalam memberikan solusi dan jaminan kesejahteraan bagi para guru.
Berbeda dengan sistem kapitalisme sekuler, dalam sistem Islam, Negara Khilafah Islamiyah memberikan penghargaan tinggi termasuk memberikan gaji yang melampaui kebutuhan guru.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dari al-Wadl-iah bin Atha; bahwasanya ada tiga orang guru di madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63.75 gram emas; bila saat ini harga 1 gram emas Rp800rb saja, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp51.000.000).
Masya Allah, dalam sistem Khilafah Islamiyah para guru akan terjamin kesejahteraannya. Ini tentu menjadikan guru bisa memberi perhatian penuh dalam mendidik anak muridnya tanpa dipusingkan lagi untuk mencari tambahan pendapatan, seperti banyak dialami guru honorer hari ini.
Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam menjelaskan, seorang kepala negara (Khalifah) berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat.
Jika kita melihat sejarah kekhilafahan Islam, maka kita akan melihat perhatian para Khalifah terhadap pendidikan rakyatnya sangat besar, demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya.
Banyak hadis Rasul yang menjelaskan perkara ini, di antaranya: “Barang siapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (gaji/upah/imbalan), maka apa yang diambil selain dari itu adalah kecurangan.” (HR Abu Daud)
“Barang siapa yang diserahi tugas pekerjaan dalam keadaan tidak memiliki rumah, maka hendaklah ia mendapatkan rumah. Jika ia tidak memiliki istri, maka hendaklah ia menikah. Jika ia tidak memiliki pembantu, maka hendaklah ia mendapatkannya. Bila ia tidak memiliki hewan tunggangan, hendaklah ia memilikinya. Dan barang siapa yang mendapatkan selain itu, maka ia telah melakukan kecurangan.”
Dengan demikian jelaslah, kesejahteraan guru dalam naungan Khilafah Islam sangat dijamin. Selain mereka mendapatkan gaji yang sangat besar, mereka juga mendapatkan kemudahan mengakses sarana-prasarana untuk meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya.
Hal ini akan menjadikan guru bisa fokus menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban agung dan mulia.
Hanya dengan Khilafah Islamiyah problematika pendidikan, termasuk mewujudkan kesejahteraan guru, dapat terwujud dengan baik dan sempurna. Dalam naungan Khilafah Islamiyah, Insya Allah derita para guru secara umum akan berakhir.
Wallahu'alam bishawab.
Post a Comment