Oleh: Sri Kuntari
Ibu Rumah Tangga
Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, Papua telah dikembalikan PT Freeport Indonesia ke pemerintah secara resmi saat penandatanganan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 21 September 2018. Dengan demikian, blok dengan potensi sumber daya sebanyak 8,1 juta troy ounce itu sudah bukan lagi wilayah Freeport.
"Kami tidak punya kepentingan apa-apa lagi di Blok Wabu karena sudah kita serahkan lagi ke Kementerian ESDM dan sudah dinyatakan dalam IUPK kita, wilayah tambang PTFI 9.900 hektare," kata Tony saat berdiskusi dengan para pimpinan media massa, Selasa (21/9).
Tony mengungkapkan, Freeport melepaskan Blok Wabu bukan karena wilayah itu tidak menarik. Hanya saja, Freeport memilih untuk memfokuskan sumber dayanya pada Grasberg. Bahkan sebelum 2018, Freeport sudah menyatakan melepas Blok Wabu untuk diserahkan pada pemerintah. Karena itu, pihaknya masa depan Blok Wabu sepenuhnya di tangan pemerintah. Freeport tidak berminat menggarapnya.
Walaupun Blok Wabu sudah dieksplorasi dan diserahkan PT. Freeport Indonesia ke pemerintah, tapi hingga saat ini belum diketahui siapa yang akan mengelolanya. Dengan tidak transparannya pemerintah terhadap pengelolaan Blok Wabu, wajar jika ada pihak-pihak yang khawatir Blok Wabu diserahkan ke pihak swasta. Kalaupun dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khawatir ada tekanan dari pihak-pihak tertentu supaya ada keterlibatan swasta dalam pengelolaannya. Jadi kekhawatiran ini sangat beralasan karena pengelolaan sektor tambang di Indonesia selalu melibatkan pihak swasta baik dalam teknis pengelolaan maupun investasi.
Sistem kapitalisme demokrasi yang diterapkan di negeri ini meniscayakan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) berada di pihak swasta. Kapitalisasi tambang tidak lepas dari liberalisasi ekonomi di semua sisi. Semua pihak berhak memenangkan tender pengelolaan tambang meski kekayaan tersebut terkategori harta milik umum. SDA adalah sektor krusial dan memiliki nilai keuntungan materi yang tinggi. Persekongkolan antara pemilik modal dan penguasa sangat mungkin terjadi.
Inilah wajah buruk kapitalisme demokrasi yang menjadikan kekayaan milik masyarakat hanya dimanfaatkan oleh segelintir orang yang punya modal dan kuasa. Ironi sebuah negara yang kaya akan SDA, namun masyarakatnya masih banyak yang hidup dibawah garis kemiskinan, banyak anak-anak yang kurang gizi, banyak yang tidak bisa sekolah dan tidak bisa berobat ke rumah sakit dengan harga yang terjangkau dan berkualitas.
Sumber daya alam baik yang terkandung di perut bumi, air maupun di udara sejatinya adalah ciptaan Allah. Allah telah menjadikan segala yang ada di bumi beserta isinya sebagai penunjang hidup dan kesejahteraan manusia. Supaya SDA ini bisa dimanfaatkan secara benar maka Allah telah menurunkan seperangkat aturan. Islam sebagai agama yang sempurna mengatur pengelolaan SDA. Pengelolaan ekonomi sesuai dengan tuntunan syariat mampu menjadi solusi terhadap segala permasalahan perekonomian termasuk dalam pengelolaan SDA.
Islam tidak menggunakan paradigma pengelolaan sumber daya alam milik umum yang berbasis swasta atau corporate based management. Dalam pandangan Islam, bahan tambang baik berupa minyak bumi, gas, batu bara, emas, perak dan lainnya adalah milik umum. Islam mewajibkan pengelolaan bahan tambang pada negara atau state based manajement. Hasil pengelolaan tambang harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum.
Negara wajib mencegah penguasaan SDA milik umum pada seseorang atau sekelompok orang. Dalam masalah Blok Wabu dan masalah SDA lainnya, jika ada sekelompok orang atau pihak swasta yang menguasai kekayaan alam milik umum maka negara wajib mencegahnya. Undang-Undang (UU) yang menjadi payung hukum bagi pihak swasta dalam pengelolaan tambang wajib dibatalkan. Kemilau emas Blok Wabu dan SDA lainnya selayaknya dinikmati seluruh masyarakat di negeri ini. Maka, untuk mengembalikan kedaulatan masyarakat atas SDA yang mereka miliki harus ditempuh dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah. Wallahu a’lam bishawab.
Post a Comment