Oleh Sitti Hadijah
“Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” nampaknya bukan cuma sekedar pepatah. Masa pandemi setahun terakhir telah membuktikan pepatah ini. Berdasarkan analisis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hasil laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang diterima tercatat bahwa selama pandemi Covid-19, 70 persen penyelenggara negara memiliki harta yang kian berlimpah termasuk harta para pejabat di eksekutif dalam Kabinet Indonesia Maju di bawah naungan Presiden Joko Widodo (merdeka.com, 09/09/2021).
Menurut Pahala Nainggolan selaku Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, penambahan tersebut masih wajar dan bukanlah dosa selama statistik kenaikan kekayaan tersebut masih dalam batas wajar karena boleh jadi kenaikan tersebut karena ada apresiasi atas nilai aset yang dimiliki para pejabat tersebut (cnnindonesia, 07/09/2021).
Sementara itu berdasarkan data dari BPS, tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia masih lebih tinggi dari kondisi sebelum pandemi (9,22% pada September 2019) meskipun sedikit turun dari 10,19% pada September 2020 menjadi 10,14% pada Maret 2021 yang menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia belum sepenuhnya pulih sebagaimana kondisi sebelum pandemi (smeru.or.id, 06/09/2021).
Inilah sepenggal potret fenomena sosial yang muncul dalam sistem kapitalis. Sistem yang digadang menjamin keadilan bagi seluruh rakyat. Peningkatan kekayaan pejabat bukan hanya oknum karena fenomena sejenis terjadi pada banyak orang di berbagai level jabatan. Lantas jika sudah seperti ini, dimanakah keadilan yang di maksud? Seperti apa keadilan yang di maksud? Apakah keadilan hanya untuk golongan tertentu saja? Seperti inilah jika standar yang digunakan adalah standar versi manusia yang lemah dan penuh dengan keterbatasan. Tidak saja standar dalam kebenaran, namun juga dalam hal keadilan termasuk keadilan dalam bidang ekonomi.
Keadilan yang lahir dalam sistem kapitalis akan relatif sebagaimana pandangan tentang kebenaran yang juga relatif. Kesenjangan yang muncul antara si kaya dan si miskin makin memperlihatkan bagimana asas manfaat dijunjung tinggi dalam sistem kapitalisme, keadilan secara tidak langsung. Hanya akan diberikan pada pihak yang dapat memberikan manfaat paling besar. Inilah bukti bahwa sistem demokrasi membuka lebar pintu bagi pejabat dan segelintir elit memperkaya diri. Sedangkan bagi rakyat, akses untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasarnya nampak begitu sulit.
Dalam sistem Islam, setiap harta yang diperoleh oleh pejabat pemerintah dengan (memanfaatkan) jabatan, kekuasaan atau (status) kepegawaiannya baik harta itu (berasal dari) harta negara maupun harta individu , maka harta tersebut dianggap ghulul (curang). Perolehan yang diharamkan, dan harta yang bukan miliknya, karena diperoleh dengan cara yang tidak syar’iy. Mereka wajib mengembalikan harta itu kepada pemiliknya jika diketahui, dan jika tidak, maka harta itu disita dan diserahkan ke baitul maal.
Setiap pejabat pemerintah hanya diizinkan menguasai harta-harta pengganti/santunan dan gaji. Mekanisme seperti ini meniscayakan pemerataan kekayaan di tengah - tengah masyarakat. Karena tidak ada individu yang diberikan peluang untuk memanfaatkan jabatan, kekuasaan, maupun statusnya untuk memperkaya diri sendiri. Dari Muadz bin Jabal berkata: “Rasulullah saw mengutusku ke Yaman. Setelah aku berangkat, beliau mengutus orang lain menyusulku. Aku pun pulang kembali. Rasulullah saw. bertanya kepadaku, "Tahukah engkau, mengapa aku mengutus orang untuk menyusulmu? Janganlah engkau mengambil sesuatu (untuk kepentingan pribadi) tanpa izinku. Itu merupakan kecurangan, dan barang siapa berbuat curang, pada hari kiamat ia akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya. Untuk itulah engkau kupanggil, dan sekarang berangkatlah untuk melaksanakan tugasmu.” (HR. at-Tirmidzi).
Alangkah bijaknya jika segelintir pejabat yang mengalami peningkatan kekayaan ini meneladani kisah khalifah Umar ra. yang dengan sigap menyelamatkan rakyatnya di kala mereka mengalami kesulitan di masa paceklik yang pernah terjadi di masa kepemimpinannya. Ketika terjadi paceklik, beliau segera meresponnya dengan membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul maal hingga hingga gudang makanan dan kas baitul maal menjadi kosong.
Beliau juga memaksakan dirinya untuk tidak makan lemak, susu, maupun makanan enak lainnya yang dapat membuatnya kenyang. Hal ini merupakan bentuk kepedulian dan tindakan senasib sepenanggungan yang dilakukan oleh beliau sebagai seorang pemimpin yang turut ingin membersamai rakyatnya dalam kesulitan. Beliau tidak dengan egois memperkaya diri di saat rakyatnya menderita kelaparan.
Teladan oleh pemimpin seperti ini dapat ditemukan pada kisah-kisah lainnya di masa pemerintahan Islam. Hal ini bukan merupakan sebuah dongeng, melainkan peristiwa sejarah yang pernah benar-benar terjadi, yang berarti bahwa tindakan seperti ini bukan suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Semoga kita segera bisa dipertemukan dan kembali dipimpin oleh para pemimpin yang seperti ini.
Wallahu a'lam bishawwab
Post a Comment