Oleh: Emawar
Menunjukkan respon terhadap suatu hal saat ini sangat
gampang dilakukan. Media sosial menjadi wadah atas segala bentuk respon netizen
yang dianggap pantas mendapat respon positif pun bisa jadi untuk menunjukkan
kemarahan terhadap suatu hal. Trendingnya tagar #PercumaLaporPolisi adalah
bentuk respon kemarahan netizen. Tagar ini viral bukan tanpa buntut,
pemberhentian kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi
Selatan (Susel) menjadi buntut naiknya tagar #PercumaLaporPolisi di portal
twitter.
Aksi bejat seorang ayah mencabuli tiga anak kandungnya. Tak
henti sampai itu perbuatan keji itu diduga juga dilakukan bersama dua orang
temannya. Ibu kandung korban tak berpasrah diri atas apa yang menimpa ketiga
putrinya, beliau meminta sejumlah pihak agar bisa membantunya beserta ketiga
putrinya atas apa yang menimpanya. Hingga berujung pada pelaporan ke polisi. Namun,
di tengah penyidikan kasus diberhentikan karena menurut pihak kepolisian belum ditemukan
Novum atau bukti baru terkait dugaan pemerkosaan tersebut, "Tapi ini tidak
final. Apabila memang ditemukan bukti baru maka penyidikan bisa dilakukan
kembali," okenews.com (20/10/2021).
Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak
hukum bukanlah perkara baru bagi masyarakat. Penegak hukum sudah sering
menunjukkan sikap tidak profesional dalam mengusut berbagai kasus hingga tak
mengherankan mundurnya masyarakat dalam mengandalkan aparat merupakan dampak
dari kinerjanya tersebut. Hilangnya kepercayaan masyarakat bersamaan dengan hilangnya
rasa aman masyarakat dimana kejahatan terus mengintai namun jauh dari proteksi
keamanan negara yang seharusnya memberikan rasa aman kepada masyarakat. Terlebih,
hal ini paling banyak dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah mereka yang
masih hidup di desa dan perkampungan dibandingkan dengan masyarakat kota
umumnya.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam surveinya kali ini
mengenai kredibel masyarakat terhadap penegak hukum di Indonesia, menurut Dewi
Arum selaku peneliti LSI survei yang dilakukan LSI pada 1 sampai 4 April 2013
ini, dilakukan terhadap 1.200 responden di 33 provinsi. Hasilnya, 56 persen
masyarakat menyatakan kurang puas dengan penegakan hukum di Indonesia.
"Hanya 29,8 persen yang menyatakan puas terhadap
penegakan hukum di Indonesia. Yang paling terlihat adalah di desa yang berasal
dari ekonomi bawah, dan berpendidikan rendah, lebih tidak puas dibandingkan
mereka yang berada di kota dan berpendidikan tinggi. Di desa yang tidak puas
61,1 persen dan di kota 48,6 persen," ungkapnya. Dikutip dari
sindonews.com (20/10/2021).
Data ini mengungkap betapa masyarakat dengan ekonomi sedang
ke bawah lebih banyak tidak menaruh kepercayaan kepada Aparat Penegak Hukum
dalam kasus yang mereka hadapi. Hal ini menunjukkan pelayanan aparat terhadap
masyarakat ekonomi sedang-bawah tidak memuaskan mereka.
Salah satu kasus di atas membuktikan kepada kita minimnya
keberpihakan aparat terhadap masyarakat bawah baik dalam hal penegakan hukum
sekalipun telah termaktub dalam sila ke-5 "Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia". Bukan hanya kasus di atas namun kita saksikan bersama
bagaimana seorang nenek kelaparan mencuri sebongkah singkong di tanah seorang
konglomerat dijatuhi hukuman bak pemakan harta rakyat. Namun para tikus berdasi
menggerogoti uang rakyat dengan nilai yang fantastis dihukumi dengan hukuman
seringan tangannya yang menyogoki aparat hukum. Jika tak mampu membeli hukum
maka pasal akan menjerat kuat, sebaliknya jika tuan bercuan maka hokum pun tak
akan mampu menjerat.
Kemandulan hukum dalam sistem kapitalisme-demokrasi tidak
akan mampu melahirkan solusi apalagi keamanan bagi masyarakat, terlebih efek
jera yang menjadi tujuan penegakan hukum. Hukum akan selalu tunduk kepada
kepentingan dan abai terhadap kewajiban. Periayahan masyarakat dalam sistem
kapitalisme memang berlandaskan kepentingan dan keuntungan semata, maka sangat
sulit menemukan keadilan jika pilarnya saja tidak dilandaskan pada keadilan dan
fitrah. Apapun dalam sistem ini bisa diperjualbelikan termasuk hukum,
kelonggaran akan diberikan kepada pemilik modal dan tidak berlaku kepada rakyat
jelata.
Untuk mengingatkan, selama ini kita tak menemukan hukum yang
benar dalam pelaksanaannya. Layar telepon dan tv kita diwara-wiri dengan kasus
jual-beli hukum. Sebenarnya apa yang paling kita butuhkan adalah pengubahan
sistem sebagai dasar yang menghukumi serta mengatur kehidupan bermasyarakat.
Selama ini kita terkungkung dalam sistem yang bernama
demokrasi-kapitalisme sejak hampir 1 abad lamanya hingga melupakan sistem dan
hukum yang mampu menghukumi manusia berdasarkan fitrahnya. Islam merupakan
satu-satunya sistem yang mampu mengayomi masyarakat sesuai dengan fitrahnya
sebagai manusia dan makhluk sosial. Pengaturan setiap sendi kehidupan didasari
atas ketakwaan kepada Allah SWT. Di telinga kita sekarang akan terdengar asing
dan naif tersebab kungkungan yang begitu lama dalam sistem kapitalisme
menyebabkan kita krisis identitas sebagai seorang muslim dan melupakan sejarah
Islam yang menanungi muslim sebagai sebuah peradaban besar dan adidaya bagi
seluruh negara di dunia.
Islam sebagai sistem yang menaungi manusia dan penataannya
dalam wadah yang bernama Khilafah tercatat 13 abad berjaya dengan tidak lebih
dari 200 kasus. Salah satu sejarah heroik yang membuktikan bagaimana seorang
khalifah menegakkan hukum bagi masyarakatnya yang terzolimi yaitu seorang
wanita dari sebuah kota pesisir yang ditawan di kota Amuriyya. Dikisahkan bahwa,
jilbab wanita tersebut dikerjai hingga ketika berjalan otomatis tersingkap dan
auratnya terlihat. Maka, inilah salah satu faktor dari penaklukan kota Amurriyah yang dikuasai
oleh Romawi saat itu. Pada pembelaan Khalifah itu sekitar 3.000 tentara Romawi
tewas terbunuh dan sekitar 30.000 menjadi tawanan.
Demikianlah penegakkan hukum atas dasar ketaatan kepada
Al-Mudabbir. Sejatinya khilafah melindungi jilbab seorang wanita yang merupakan
salah satu syariat yang wajib dilaksanakan oleh wanita muslim maka ketika ada
yang menodainya khalifah akan menindak dengan sangat tegas layaknya kisah bukti
sejarah di atas.
Allahu'alam
Post a Comment