Oleh: Umul Bariyah (Aktivis Muslimah)
Beberapa minggu terakhir, sejumlah sekolah melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Mulai dari tingkat SD bahkan TK sampai SMU. Dilansir dari media online KOMPAS.com, Pemerintah mulai membolehkan pelaksanaan sekolah tatap muka di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, ada ratusan ribu sekolah di berbagai daerah di Indonesia yang sudah mulai menggelar pembelajaran tatap muka terbatas. "Per tanggal 22 Agustus 2021 sebanyak 31 persen dari total laporan yaitu 261.040 satuan pendidikan yang berada pada daerah dengan PPKM level 3, 2, dan 1 ini telah menyelenggarakan pembelajaran tatap muka secara terbatas dengan protokol kesehatan yang ketat," kata Wiku dalam konferensi pers daring, Kamis (26/8/2021).
Benarkah PTM ini efektif dilakukan di tengah gejolak pandemi yang masih belum kondusif ini? Pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko mengatakan bahwa PTM dapat dilakukan jika tingkat kasus positif virus corona di suatu daerah rendah atau kurang dari lima persen, sementara tingkat positif (positive rate) di Indonesia berada di angka 8 persen yang melebihi standart aman positive rate yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Bagaimana dunia pendidikan Indonesia bekerja di tengah pandemi ini?
Bagi sebagian orang tua, terutama ibu, berita PTM ini adalah berita gembira yang patut disyukuri. Bagaimana tidak, hampir dua tahun lamanya mereka membersamai putra putri mereka belajar secara daring di rumah. Berperan menjadi IRT sekaligus dituntut menjadi guru yang minim pengetahuan tentu menjadi beban berat bagi orang tua. Beban anak juga tidak kalah beratnya. Mereka yang terbiasa bersosialisasi dengan teman sebaya di sekolah, bermain dengan bebas di alam terbuka dipaksa harus belajar dari rumah.
Tentu saja banyak sekali drama selama pembelajaran daring ini. Mulai dari ketidaksiapan ibu menjadi guru di rumah disela-sela pekerjaan rumah tangga, anak yang jenuh dengan pelajaran yang begitu-begitu saja tanpa ada pengajaran langsung dari guru dan suasana belajar yang membosankan, sampai penyalahgunaan HP yang seharusnya buat belajar, malah di gunakan untuk download game dan situs-situs berbau pornografi. Belum lagi harus memikirkan bagaimana bisa membeli pulsa kuota internet untuk kelangsungan belajar daring di rumah di tengah kebutuhan pokok yang semakin menggila harganya.
Ada pemandangan haru kala PTM diberlakukan kembali. Tampak terlihat wajah penuh harapan dari para pedagang jajanan anak sekolah. Pedagang jajanan yang biasa mangkal di luar gedung sekolah bisa kembali tersenyum. Jualan yang tak menemukan pangsa pasar selama sekolah ditutup, kini dapat hidup kembali. Para penjual kecil tersebut seperti mempunyai gairah hidup, merasa mempunyai harapan, kala mereka bisa berjualan kembali di tengah aturan PPKM yang entah sampai kapan berakhir.
Ya, bagaikan makan buah simalakama. PTM masih menyisakan kekhawatiran bagi orang tua sekaligus memberi harapan dunia pendidikan bisa pulih kembali. Ketakutan akan virus Covid- 19 tidak dapat dibendung terutama bagi orang tua yang pernah terpapar. Hal ini seakan memperlihatkan dengan jelas daftar hitam pemerintah yang tak bisa menjalani perannya sebagai pelindung rakyat yaitu memberikan perlindungan dari penyebaran virus dan penanganan yang mumpuni. Tak heran jika publik meragukan kesungguhan pemerintah dalam menangani wabah. Seharusnya sebelum PTM diberlakukan, pemerintah terlebih dahulu memberikan vaksin kepada seluruh siswa dan guru. Setelah dirasa semua sudah punya sertifikasi vaksin, baru pemberlakuan PTM diberlakukan.
Kondisi telah menuntut pemerintah untuk meyiapkan PTM dan mengambil kebijakan yang tumpang tindih. Beginilah kebijakan yang lahir dari sistem demokrasi kapitalis, kebijakan tumpang tindih yang tak menyelesaikan permasalahan. Kebijakan PPKM terus digalakkan, bantuan kebutuhan pokok nihil hingga PTM yang dilaksanakan. Siapkah bumi pertiwi ini menghadapi pandemi dengan kebijakan yang setengah hati? Sistem kapitalis telah mengajari secara fasih untuk lebih mempertimbangkan ekonomi daripada mementingkan keselamatan jiwa rakyat, terutama guru dan siswa. Hal ini bertentangan dengan cara pandang sistem Islam.
Sejatinya menurut Islam, negara atau pemimpin (Khalifah) harus menjalankan prinsip bahwa negara berperan sebagai pengurus, pemelihara, dan Junnah, yaitu sebagai perisai/pelindung bagi kesejahteraan rakyatnya. Negara akan menjamin seluruh kebutuhan dasar manusia, termasuk fasilitas pendidikan untuk rakyat. Kurikulum pendidikan pun diterapkan berbasis akidah Islam yang membentuk manusia menjadi manusia yang berkepribadian Islam, handal menguasai pemikiran Islam, menguasai terapan Iptek, dan memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna. Sehingga terbentuklah masyarakat bertaqwa yang menjalankan hukum hukum syara sesuai dengan Alquran dan sunnah.
Negara juga benar-benar harus mengambil peran sebagai ibu, yakni sebagai penjaga kehormatan, nyawa, harta, dan jiwa umat manusia. Sekaligus mencetak generasi generasi tangguh untuk peradaban masa depan dunia. Negara juga memastikan anggaran untuk mencukupi semua kebutuhan dan kesejahteraan dunia pendidikan. Sehingga terciptalah penyelenggaraan pendidikan terbaik. Wallahu'alam bi shawab.
Post a Comment