SEMAKIN AMBURADUL, UMAT BUTUH SISTEM YANG MELAHIRKAN KEBAIKAN BUKAN KERUSAKAN


Oleh : Fahmaddin
Aktivis Dakwah

Tidak terasa sekitar dua tahun berlalu kita menghadapi ujian pandemi Covid-19 yang belum usai. Negeri kita, Indonesia baru merayakan ulang tahun kemerdekaan ke-76 pada 17 Agustus lalu. Sayangnya, wajah negeri ini semakin kalang kabut karena diwarnai berbagai fenomena. Perihnya lagi, permasalahan masih terus menyertai di samping rakyat harus menghadapi pedihnya pandemi, diantaranya : korupsi bansos oleh Mensos, pemasangan baliho tokoh politik yang jor-joran di tengah pandemi, fenomena putus sekolah, mural 404 notfound dengan figur mirip Jokowi yang dikasuskan, dan masih banyak lagi. Semua itu semakin membuat miris melihat deretan berita yang menghiasi hari-hari kita di tengah pandemi.
Dari semua fenomena yang terjadi, semakin menunjukkan bahwa negeri ini butuh perbaikan. Mengapa? Karena kita lihat sendiri faktanya bahwa adanya pemimpin atau pejabat yang memangku amanah dan seharusnya dicontoh rakyat, malah menurunkan harga dirinya dengan melakukan hal yang tercela, yakni korupsi misalnya. Kepercayaan rakyat malah sirna terhadap mereka. Siapa lagi yang rakyat percaya kalau bukan karena pemimpinnya? Sayang yang terjadi malah sedemikian rupa.
Melihat pemasangan baliho tokoh politik yang dipasang jor-joran membuat rakyat semakin putus harapan, alih-alih mengambil hati rakyat. Nyatanya rakyat semakin menduga-duga bahwa motif yang membuat mereka mewakilkan diri menjadi partai politik bukan murni karena ingin menyejahterakan rakyat, namun ada kepentingan lain. Seharusnya, seorang pemimpin pandai menilai keadaan sebelum bertindak sedemikian. Begitu pula dengan fenomena putus sekolah. Padahal, telah tercantum pada pembukaan UUD ’45 ‘…mencerdaskan kehidupan bangsa.’ adalah tanggung jawab negara dalam meriayah rakyatnya. Selain itu kasus mural 404 notfound dengan figur mirip Jokowi menjadi masalah yang terkesan dibesar-besarkan. Padahal mural tersebut hanya sebagai sarana pelampiasan seorang seniman. Figur yang digambar pun hanya sekadar ‘mirip’, tidak menunjuk orang tertentu.
Seharusnya masyarakat sendiri sudah sadar, bahwa di negeri kita terdapat hal yang tidak beres. Pada intinya, setiap permasalahan negara atau pemerintahan yang ada harus diselesaikan secara sistemik, bukan perbaikan secara parsial dari bidang atau sisi tertentu. Sistem ekonomi, politik, pendidikan, dan kesehatan memiliki pengaruh satu sama lain, sehingga pemecahan yang dibutuhkan juga harus secara sistemik. Tak heran apabila sistem saat ini malah merusak kesejahteraan rakyat, karena adanya sistem kapitalisme yang mendominasi dunia. Oleh karena itu, keberadaan korupsi dan sejenisnya merupakan dampak adanya sistem kapitalisme, yang mana menjadikan modal sebagai standarnya.
Oleh karena itu, untuk membuat keadilan yang seadil-adilnya, sistem atau pemikiran kapitalisme haruslah dibasmi. Karena malah melahirkan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Negara yang kaya jadi makin kaya, begitu pula sebaliknya dengan negara miskin. Sebetulnya, Islam sendiri sudah memiliki suatu sistem yang terbukti jaya selama belasan abad sebelum akhirnya sirna karena perbuatan orang-orang yang membenci Islam.
 
Pada sistem Islam tidak akan ada yang namanya kesenjangan. Pada sejarah kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz misalnya. Saking sejahteranya, beliau kesulitan mencari orang-orang yang kekurangan untuk dibantu oleh negara. Hal tersebut terjadi bukan hanya karena pemimpin yang memimpin Daulah Islam saat itu, tapi juga sistem yang mendukung. Jadi, seharusnya sistem saat ini perlu dievaluasi, di-upgrade, dan hijrah menuju sistem yang lebih baik, yakni Islam. Tak ada yang bisa diharapkan kalau Indonesia masih dicengkeram oleh kapitalis negara asing yang hanya menguntungkan segelintir orang. Maka dari itu, kita harus memperjuangkan kemerdekaan sejati dengan beralih ke sistem yang baik, yakni Islam. 
“…Selanjutnya  akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18430), Abu Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya (no. 439); Al-Bazzar dalam Sunan-nya (no. 2796))
Wallahu a’lam[]

Post a Comment

Previous Post Next Post