Sekolah Tatap Muka Minim Persiapan, Bahaya



Oleh Khaulah
(Aktivis BMI Kota Kupang)

Pandemi masih setia menyelimuti negeri ini. Segala aspek tentu terkena dampaknya, semakin parah selaras dengan berlalunya waktu.

Pendidikan salah satunya, di mana banyak permasalahan yang terjadi. Mulai dari angka putus sekolah yang melambung. Ancaman learning loss yang kian mengkhawatirkan. Angka siswa bunuh diri akibat stres yang membumbung, dan lainnya.

Wajar jika terdengar desakan yang menuntut pemerintah untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM). Hingga akhirnya terbitlah SKB 4 Menteri yang mewajibkan tiap sekolah memberikan layanan belajar tatap muka terbatas setelah seluruh pendidik dan tenaga kependidikan menerima vaksin Covid-19.

Hal ini seperti diungkapkan Mendikbudristek Nadiem, bahwa sekolah juga tetap wajib menyediakan layanan PJJ untuk mengakomodasi anak-anak yang belum diizinkan orang tuanya untuk ke sekolah. Juga karena yang mengikuti PTM maksimal hanya 50 persen dari jumlah siswa. (Suara.com, 03/09/2021)

Keputusan ini tentu menuai pro-kontra di berbagai kalangan. Pihak yang kontra di antaranya, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G amat menyayangkan dan mengkhawatirkan tindakan gegabah tersebut. Menurutnya, vaksinasi anak dan guru harus dituntaskan di sekolah tersebut sebelum dilaksanakannya PTM terbatas. (www.radarbogor.id, 26/08/2021)

Sekretaris Nasional P2G, Afdhal juga menyorot terkait perbandingan kuantitas siswa yang sudah di vaksinasi dengan rombongan belajar. Ungkapnya, dari data vaksinasi anak, perbandingannya masih 10:100. Artinya, masih sangat jauh perbandingan antara siswa yang sudah divaksin dan yang belum. Otomatis, herd immunity belum terbentuk, dan hal ini amatlah membahayakan keselamatan anak.

Sikap kontra juga ditunjukkan sebagian orang tua. Mereka mengkhawatirkan keselamatan anak-anak. Hal ini karena berbagai alasan, misalnya khawatir anak-anak sulit taat prokes Covid-19 karena berkaca dari kondisi masyarakat  yang masih abai dengan prokes. Juga karena khawatir terkait varian Covid-19 yang masih berkembang. Ada juga sebagian orang tua yang pro terhadap keputusan ini, lantaran melihat perjalanan PJJ yang jauh panggang dari api. Anak-anak lebih banyak bermain. Kurang menyerap pembelajaran, pun sistem pembelajaran pada sekolah yang hanya memberi tugas padahal anak-anak masih sulit untuk belajar mandiri.

Selain itu, salah satu syarat dilaksanakannya PTM adalah adanya kesiapan sekolah terkait sarana dan prasarana. Seperti sarana sanitasi dan kebersihan, alat ukur suhu tubuh, akses ke fasilitas kesehatan, penerapan area wajib masker, dan pembentukan satuan tugas penanganan Covid-19. Sudah siapkah sekolah dengan berbagai sarana prasarana tersebut? Karena, banyak yang justru hanya mendesak tanpa pertimbangan yang matang.

Memang benar seperti yang dikatakan Pak Nadiem dan yang dialami orang tua bahwa anak-anak tengah mengalami learning loss. Hal ini tentu sangat berbahaya, apalagi generasi muda adalah generasi pembentuk wajah masa depan bangsa. Tetapi, bukan berarti dengan secepat mungkin langsung dilaksanakan PTM. Apalagi desakan adanya PTM tidak seiring sejalan dengan kebijakan penyiapan infrastruktur sempurna untuk kebutuhan PTM.

Pemerintah harusnya tak hanya memberi putusan tanpa menjelajah kondisi sekolah. Harus dipertanyakan, adakah dana sekolah yang dipergunakan untuk mengadakan sarana prasarana yang dibutuhkan tersebut? Jikalau tidak ada, bagaimana peran negara?

Penting untuk digarisbawahi bahwa keselamatan nyawa anak-anak juga penting. Potensi terkait kuantitas serta kualitas mereka sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang bangsa. Sehingga, jangan sampai kebijakan yang ada justru sekadar memenuhi desakan publik semata tanpa ada penyiapan yang memadai.

Seperti yang disampaikan Epidemiolog UGM, dr Bayu Satria Wiratama, bahwa sekolah bisa saja memberlakukan prokes yang ketat, tetapi tidak menutup peluang jika anak-anak kendor prokes di luar sekolah. Ini tentu sangat membahayakan. Penting untuk dipertanyakan juga, apakah dengan pengadaan sarana dan prasarana, serta syarat vaksinasi 70% bisa menjamin perlindungan semua unsur sekolah dari penyebaran virus?

Hal ini secara gamblang mengindikasikan lemahnya peran negara terhadap terpenuhinya kebutuhan rakyat. Sebelum pandemi saja, pengurusan terkait pendidikan karut-marut. Kurikulum yang digunakan justru berfokus pada capaian prestasi akademik ketimbang terbentuknya kepribadian siswa, apalagi di tengah pandemi? Biaya pendidikan pun terbilang fantastis.

Alih-alih bertanggung jawab, negara justru hanya mampu membuat keputusan, melempar beban kepada pihak sekolah. Sarana dan prasarana misalnya, apakah negara bisa mengadakannya? Jika berkaca pada kondisi keuangan negara yang anjlok di tengah pandemi, maka amatlah susah. Ditambah karakter rezim kapitalis yang senantiasa mengharap imbalan atas kepengurusannya terhadap hajat hidup rakyat, susah mengharap kebaikan dari negara.

Pembelajaran daring memang menuai beragam masalah. Mulai dari anak yang tak memperoleh dampingan lantaran orang tuanya sibuk mencari sesuap nasi. Anak yang tak punya handphone serta jaringan internet yang kurang memadai atau nihilnya kuota internet sehingga terpaksa tak mengikuti pembelajaran. Pun anak yang stres akibat tugas yang menumpuk yang bahkan berujung pada kematian.

Maka banyak pihak yang menyarankan segera dilaksanakannya PTM, karena dinilai lebih efektif. Tetapi, tentu tak boleh tergesa-gesa. Selain yang dipaparkan sebelumnya, satu yang patut dipertanyakan, "Apakah guru bisa meng-handle PTM terbatas dan PJJ dalam waktu bersamaan?" Ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, seharusnya membuat penguasa menarik benang merah, bahwa yang harus dilakukan saat ini adalah membenahi PJJ agar minim masalah, bukan tergesa-gesa melaksanakan PTM yang punya peluang besar lahirnya berbagai masalah baru.

Sejatinya, banyaknya masalah yang dihadapi hari ini berakar dari diterapkannya sistem kapitalis. Semua aturan di dalam kehidupan bersumber dari aturan manusia, tak mampu memberikan solusi sedikit pun, cenderung menambah masalah.

Patut diketahui, sistem pendidikan yang berkualitas harus ditopang dengan sistem ekonomi yang mumpuni. Negara wajib mengelola segala sumber daya yang ada. Salah satunya untuk mengadakan sarana dan prasarana pendidikan. Wajib pula menyediakan lapangan pekerjaan untuk kepala rumah tangga, sehingga bisa melaksanakan kewajibannya mencari nafkah, memenuhi kebutuhan keluarga.

Pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian Islam bagi diri peserta didik. Tak hanya sekadar capaian prestasi akademik. Sehingga butuh sumbangsih keluarga, masyarakat, juga negara. Keluarga, di dalamnya terdapat ibu yang berperan sebagai sekolah pertama anak-anaknya, tak boleh membiarkan mereka bertumbuh dan berkembang tanpa penjagaan dan pengajarannya. Tak boleh mengalami disfungsi seperti hari ini.

Masyarakat menjadi wadah yang baik bagi perjalanan kehidupan sang anak. Di sini, aturan Islam yang diterapkan secara utuh membuat anak mengadopsinya secara utuh pula. Tak ada masyarakat yang abai terhadap prokes, karena taat prokes adalah salah satu ikhtiar untuk mengakhiri pandemi. Hal ini tentu berdampak baik terhadap perkembangan anak.

Negara apabila menjumpai salah satu wilayahnya terinfeksi virus, maka harus sigap menutup pintu keluar masuknya. Kebutuhan rakyat di dalam wilayah tersebut wajib dipenuhi negara. Ini tentu berdampak baik bagi perekonomian negara, juga aspek lainnnya termasuk pendidikan. Maka, ancaman pearning loss tidak akan ditemui.

Tak kalah penting, pemimpin harus paham bahwa amanah kekuasaan yang diembankan di pundaknya, akan dipertanggung jawabkan kelak. Sehingga dengan senang hati menjadi pelayan bagi rakyatnya, menjamin pemenuhan terhadap kebutuhan rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Begitulah Islam dengan segala kesempurnaan pengaturannya. Terlalu mencolok, jikalau kita bandingkan dengan sistem kapitalisme yang padanya melekat kecacatan.
Lalu apakah kita akan bertahan dalam sistem hari ini tanpa melakukan perubahan?

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post