Oleh Sumiati, ST
(Pemerhati Sosial Masyarakat)
Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kekayaan pejabat atau penyelenggara negara mengalami kenaikan sebanyak 70,3 persen. Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, laporan kenaikan itu tercatat setelah pihaknya melakukan analisis terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pada periode 2019-2020. (cnnindonesia.com, 07/09/21)
Penambahan harta kekayaan para pejabat di tengah pandemi merupakan paradoks. Sebab di lain pihak, rakyat justru sedang dalam kondisi prihatin dampak dari pandemi dan kebijakan PPKM yang tak kunjung usai. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jumlah ini hanya menurun tipis 0,01 juta orang dibanding September 2020. Namun, jika dibandingkan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin naik 1,12 juta orang. (Kompas.com, 13/09/21)
Dari fakta yang ada tidakkah cukup memilukan? Di tengah kondisi rakyat yang masih jauh dari kata sejahtera. Bukankah adanya mereka untuk memperbaiki kondisi yang ada? Memberikan tenaga waktu dan pikiran mereka untuk menyerap aspirasi masyarakat, dan membuat kebijakan untuk mensejahterakan rakyat? Namun faktanya, mereka membuat kebijakan yang yang justru tidak pro rakyat.
Kebijakan-kebijakan yang ada malah semakin mencekik rakyat, bahkan dipalak dengan pajak-pajak atas nama undang-undang. Lalu dimana letak kinerja mereka yang dianggap patut mendapatkan gaji, tunjangan yang besar bahkan fasilitas yang nyaman untuk bertugas?
Memang memiliki kekayaan bukanlah sebuah kesalahan. Namun dengan cara apa dan bagaimana mendapatkannya itu yang patut dipertanyakan. Bukanlah etika yang baik ketika pejabat menumpuk kekayaan, sedangkan rakyat masih banyak dalam garis kemiskinan. Sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan darimana datangnya kekayaan tersebut? Apalagi kasus korupsi di negeri ini belum juga tuntas terusut.
Inilah ironi dalam sistem yang diterapkan sekarang. Rakyat harus membuka mata dan menyadari, akibat diurus oleh sistem demokrasi kapitalistik ini. Rasanya sulit bagi siapapun untuk menemukan pemimpin yang baik di dalam sistem pemerintahan saat ini. Kalaupun ada, jumlahnya hanya segelintir orang. Sebab, mereka yang akan memegang tampuk kekuasaan sudah dipastikan berada di bawah kendali para cukong-cukong yang dulu mendukung mereka dengan banyak gelontoran dana pada musim pemilihan.
Mereka tentu akan lebih loyal kepada para pemodal mereka daripada kepada rakyat mereka. Karena itu jangan heran jika banyak pejabat yang kehilangan rasa empati sekalipun banyak rakyatnya yang menderita pada musim pandemi saat ini. Mereka lebih memilih memperkaya diri dan koleganya (oligarki) daripada peduli kepada rakyat mereka sendiri.
Berbeda dengan sistem Islam. Sistem ini akan melahirkan pemimpin yang amanah terhadap pengurusan urusan rakyat dalam rangka ketaatan kepada Allah Swt. Para pemimpin menjalankan tugasnya dengan penuh kesungguhan karena dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Para pemimpin Islam (harus) menyadari bahwa pelaksanaan semua tugasnya akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Swt. di akhirat.
Abdullah bin Umar mengatakan, Rasulullah saw. berkata,
“Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka.”
“Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka.”
“Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atasnya. Maka setiap dari kalian adalah adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR Abu Dawud)
Salah satu contoh sosok Umar bin Abdul Aziz, beliau merupakan khalifah pada masa Umayyah yang cakap dan berhasil menyejahterakan rakyat. Selama berkuasa, ia memang tidak pernah berniat menumpuk harta untuk kepentingan pribadi. Ia Justru menyerahkan hartanya untuk kas negara, menolak tinggal di istana, bahkan meminta istrinya, Fatimah binti Abdul Malik, menyerahkan perhiasannya ke kas negara. Sungguh sosok pejabat yang tak gila harta.
Gambaran fenomena ini tentu tidak akan kita dapati dalam sistem demokrasi kapitalis sekarang. Gambaran pemimpin yang konsisten dalam mewujudkan kesejahteraan yang diridai Allah Swt, hanya akan lahir pada sistem pemerintahan Islam (khilafah). Karena dalam sistem kepemimpinan Islam inilah, para pemimpin senantiasa akan menerapkan syariat secara total di tengah masyarakat yang dipimpinnya.
Wallahu a'lam bishawab
Post a Comment