Oleh: Citra Hardiyanti, S. Pd. (Aktivis Muslimah)
“ Tidak selayaknya seorang mukmin dipatuk ular dari lubang yang sama sebanyak dua kali”. (HR. Bukhori Muslim)
Sungguh ketiadaan peran junnah (perisai) bagi negeri muslim yang mampu menjaga kehormatan, harta, darah dan nyawa merupakan bencana besar. Negeri-negeri muslim bak kue yang dibagi-bagikan dan tiada daya untuk melawan selain perlawanan yang sia-sia. Perjuangan demi perjuangan yang dilakukan sebatas mengganti penguasa lama dengan penguasa baru yang tiada pernah memberikan kesejahteraan bagi umat yang hidup di bawah kepemimpinannya.
Kehidupan negeri muslim pun tak jarang diwarnai oleh konflik berkepanjangan akibat intervensi negara-negara imperialis. Imperialisme mengajarkan secara fasih makna kerakusan dan ketamakan dalam menyerap habis sumber daya dan kekayaan negeri-negeri muslim dengan menghalalkan segala cara. Imperialisme berhasil menancapkan hagemoninya diiringi oleh keberhasilan "antek-anteknya" yang bermain dalam suatu negeri. Sayangnya, antek imperialisme tak berhenti di badan pemerintahan tetapi juga kelompok-kelompok militan berkulit Islam. Hal ini semakin mengokohkan monsterisasi Islam dan cengkeraman terhadap negeri-negeri Islam. Termasuk di Afganistan.
Afghanistan, sejak dulu hingga kini sering terjadi konflik internal. Dari konflik Anglo-Afghanistan pada pertengahan abad ke-20, hingga beralihnya kekuasaan pemerintahan Afghanistan kepada Taliban -kelompok fundamentalis-kini. Setelah revolusi Saur pada tahun 1973-1978 pemerintahan Afghanistan didominasi oleh komunisme, yang cenderung menerapkan hukum yang dianggap bertentangan dengan kalangan konservatif, yang menjadi militan dan membentuk badan persenjataan, Mujahidin. Mujahidin mendapatkan dukungan dari negara yang menjadi lawan Uni Soviet pada perang dunia I yaitu, Amerika serikat, RRT, Inggris, Perancis, Italia, Arab Saudi, dan Mesir, mulai menyalurkan melalui ISI (Pakistan inter-service Intelegensi Agency) kepada kelompok Mujahidin. Hingga kelompok Mujahidin berhasil memukul mundur pasukan uni Soviet, 15 Februari 1987, oleh salah satu gerilyawan Osama bin Laden yang menjadi pendiri Al – Qaeda. (National Geographic Indonesia.co.id).
Kepergian Uni Soviet menyisakan perang yang berkecamuk antara pemerintahan Afghanistan dengan Mujahidin, krisis yang membuat Presiden Muhammad Najibullah mengundurkan diri yang menandakan berakhirnya hagemoni komunisme dan digantikan oleh salah satu faksi Mujahidin, Taliban. Taliban merupakan salah satu faksi yang dipersiapkan oleh badan intelejen pakistan dan dengan sepengetahuan badan intelejen AS, yang bertujuan untuk menghentikan kelompok hekmatyar (salah satu kelompok Mujahidin yang memukul mundur Uni Soviet, yang dipimpin oleh Gulbudin Hejmatyar). (wikipedia.org).
Bentuk dukungan Pakistan terhadap taliban berupa dengan memberikan wilayah pedesaan dan perkotaan, namun dalam tempo 2 tahun satu persatu wilayah Afghanistan jatuh di tangan Taliban hingga pada tahun 1996 berhasil mendirikan imarah islamiyah di bawah kepemimpinan Mullah Muhammad Umar setelah menyingkirkan pemerintahan Burhanuddin Rabbani. Dalam pemerintahannya Taliban menerapkan “islam keras”. Beberapa aturan di antaranya melarang anak-anak perempuan untuk bersekolah dan melarang wanita bekerja di luar rumah, atau melarang perempuan berada di muka umum tanpa disertai kerabat laki-laki. Penggiringan opini di tengah masyarakat terhadap pemerintahan Taliban, meninggalkan trauma mendalam dan semakin menguatnya monsterisasi terhadap Islam dulu hingga kini. Melalui penerapan islam yang buruk pada masa Taliban adalah salah satu bentuk fitnah, padahal Islam adalah agama damai dan mendamaikan.
Pada tahun 1996-1997 terjadi perundingan antara wakil Taliban dan Wakil Amerika serikat berkaitan dengan pengakuan AS terhadap Taliban sebagai pemerintahan resmi di Afghanistan, serta pemberian kursi wakil afghanistan di PBB. Pada tahun 1997 kembali terjadi perundingan antara wakil Taliban dengan perusahaan Unocal dari AS dan Delta dari Saudi Arabia terkait kerjasama pengaliran gas dari Asia tengah melalui afghanistan menuju pakistan dan Samudra hindia. Namun AS menghentikan rencana tersebut pasca terjadinya pengeboman di kedutaan besar AS yang berada di Kenya dan Tanzania pada tahun 1998. AS menuduh Osama bin Laden yang pada saat itu telah berada di dalam tubuh Taliban sebagai dalang dibalik peristiwa tersebut.
Pada 11 September 2001 terjadi pengeboman WTC New York Amerika Serikat. Kejadian ini menjadi dasar politik luar negeri Amerika dalam memberantas kelompok-kelompok yang dianggap mempersulit urusannya dengan dalih War On Terorism. AS membuka hubungan dengan kelompok Rabbani dan Masud serta mengembalikan Dostum. AS membentuk kelompok koalisi yang dikenal dengan koalisi utara berhasil menghentikan dukungan Pakistan kepada Taliban, bahkan Pakistan memberikan dukungan kepada AS dengan mengizinkan menggunakan wilayah Utara, pelabuhan dan militernya untuk melakukan serangan terhadap Afghanistan. Sejak saat itu AS menyerang dengan membabi buta terhadap Afghanistan di bawah slogan WOT dengan dalih mencari Osama bin Laden. Taliban memberikan perlawanan terhadap AS dengan mengusir delegasi Pakistan yang memberikan tekanan agar Taliban tunduk kepada AS. Hingga pada tahun 2001 AS berhasil menjatuhkan Taliban setelah memuntahkan serangan brutal selama berminggu-minggu, dan mengangkat Hamid Karzai, seorang agen CIA dari AS sebagai presiden di Afghanistan.
Kejadian ini membuat kelompok-kelompok yang sebelumnya berselisih misalnya Taliban dan Hekmatyar dan Amerika, walaupun Amerika tidak pernah berhasil menduduki Afghanistan kecuali ibukota Kabul dan ini pun tidak sepenuhnya dikuasai. Koalisi Mujahidin tidak berhenti melakukan serangan terhadap AS walaupun aktivitas diplomatik AS dan tekanan politik yang di lakukan PBB tidak menyurutkan mereka untuk melepaskan diri dari cengkeraman AS. Penambahan pasukan yang dilakukan AS, mulai dari dukungan NATO yang mengirim 12.000 pasukan di tahun 2004 hingga AS melipat gandakan pasukan menjadi 68.000 dan pada tahun 2010 menjadi 100.000 pasukan pada saat kepemimpinan Barack Obama. Namun banyaknya jumlah pasukan tidak mampu menundukkan Afghanistan hingga pada 22 Juni 2011 AS mulai menarik mundur pasukannya dan memulai negosiasi dengan Taliban. Dilansir dari BBC News, setelah 9 ronde yang mayoritas dilakukan di Doha, Qatar, akhirnya disepakati perjanjian Doha antara AS dengan Taliban pada 29 Februari 2020. Isi perjanjian tersebut adalah AS dan sekutu NATO nya akan menarik mundur pasukan selama 14 bulan, dengan syarat Taliban menepati janjinya untuk tidak membiarkan Al – Qaeda atau militan lain untuk beroperasi di wilayah yang dikuasainya dan melanjutkan pembicaraan perdamaian nasional.
Setelah penarikan mundur pasukan AS, Taliban, kelompok radikal yang mengklaim telah menguasai 85 persen teritorial Afghanistan. Pemerintah Afghanistan menyebut itu sebagai sebuah kampanye propaganda. (Tempo.co, Jakarta, pada jum'at, 9 Juli 2021)
Namun juru bicara gedung putih AS, Jen Psaki mengatakan lebih jujur “tidak ada rencana untuk merayakan selesainya penarikan pasukan militer Amerika, kami tidak akan merayakan momen pencapaian yang signifikan dalam hal ini, ini adalah perang yang berlangsung selama 20 tahun tanpa mencapai kemenangan militer”. (Anadolu, 08/07/2021).
Dari pernyataan juru bicara Amerika Serikat, Jen Psaki dapat ditarik kesimpulan bahwa selama 20 tahun Amerika Serikat berperang melawan Taliban tidak pernah berhasil menundukkan kelompok kecil dengan jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pasukan AS. Kekalahan ini memicu AS untuk membuat negosiasi dengan Taliban dengan membuat perjanjian negosiasi jaminan, meskipun pasukan militer AS hengkang dari Afghanistan tetapi kepentingan AS tidak akan diusik oleh Taliban.
Telah lama Afghanistan menjadi perebutan negara negara besar. Selain memiliki sumber daya alam yang belum tersentuh secara geografis Afghanistan merupakan lockland, tidak dilewati oleh laut menempatkannya sebagai pijakan lalu lintas dan pintu gerbang di setiap peperangan penaklukan di benua Asia. AS menyadari Afghanistan berperan penting sebagai pintu pembatas bagi Rusia dan China dari arah Asia Tenggara, serta sebagai lewatnya jalur pipa dari Asia Tengah (Turkmenistan) menuju Pakistan, yang dibangun di sepanjang Benua Indian menuju laut Arab.
Selain Amerika, China juga memiliki kepentingan terhadap Afghanistan yaitu proyek BRI (Belt and Road Initiative). China mengharapkan keamanan berlangsungnya proyek tersebut, sehingga tetap menjalin kerjasama dengan Taliban.
Selain letak geografis yang menguntungkan, Afghanistan merupakan salah satu wilayah yang paling kaya akan logam mulia tradisional dengan nilai yang mungkin mencapai tiga triliun dolar Amerika, termasuk bahan bakar fosil. Logam mulia tersebut meliputi bijih besi, lithium-ion, tengah, logam langka dan kobalt. Lithium-ion merupakan bahan untuk membuat baterai yang digunakan pada smartphone, mobil listrik, dan laptop.
Dua keuntungan di atas menjadikan Afghanistan sebagai magnet yang menarik persaingan kekuatan internasional untuk menguasainya. Apa yang terjadi di Afghanistan memilukan hati kaum muslimin. Kaum muslimin yang sejatinya kuat bahkan negara adidaya pun tak mampu mengalahkan kelompok kecil di satu negeri, namun kekaburan pemahaman Islam dan metode penerapannya menjadikannya berulang kali dikelabui sehingga sebanyak apapun pikiran dan tenaga yang dikerahkan bahkan jiwa-jiwa tulus dikorbankan tidak akan mampu mengusir penjajahan dari akarnya.
Maka ini menjadi pembelajaran penting bagi kita, bahwa kedaulatan itu hanya akan tercapai jika atas pondasi sistem Islam kaffah. Kedaulatan pun harus diraih dengan cara yang benar sesuai dengan metode Rasulullah SAW yang telah terbukti kegemilangan dari penerapannya selama 14 abad lamanya.
Metode Rasulullah dalam mendirikan negara Islam di Madinah terangkum dalam tiga marhalah/tahapan, sebagai berikut:
Dari pengkajian yang mendalam terhadap Sirah Nabi, maka akan di dapati metode penerapan islam yang tiada kita temukan pada diri Taliban. Selain ketidak jelasan dalam ide yang diusung dan kekaburan metode penerapannya menjadikannya mudah dikelabui, dan digiring sesuai keinginan kafir penjajah. Meskipun menang secara fisik, namun pada hakikatnya tetap di bawah kungkungan hagemoni kapitalis. Maka perjuangan Taliban bukanlah perjuangan Islam. [Wallahu'alam bisa showab].
Post a Comment