Oleh Siti Fatimah
Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah
Dikutip dari Kontan.co.id, pemerintah tengah mengajukan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap jasa pendidikan sebesar 7%. Dengan demikian, maka jasa pendidikan tak lagi dikecualikan dalam lingkup non Jasa Kena Pajak (JKP).
Agenda tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Beleid ini kini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan, pemerintah dengan legislatif sangat berhati-hati dalam pembahasan wacana PPN atas jasa pendidikan. Ia bilang, sejauh ini, pemerintah sudah mendengarkan saran dari berbagai stakeholders.
Hasil sementara, seluruh jasa pendidikan merupakan obyek PPN yang terutang pajak atas konsumsi tersebut. Namun, untuk jasa pendidikan yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak seperti sekolah negeri tetap mendapatkan fasilitas pengecualian PPN.
“Kita bukan mengenakan pajaknya, tapi ingin mengadministrasikan sekaligus mengafirmasi lembaga pendidikan taat, komit kepada pendidikan yang nirlaba itu,” kata Prastowo dalam acara kerjasama Kontan dan Kompas TV; B-Talk, Rabu (8/9).
Bukan hal yang mengejutkan, jika pemerintah merencanakan pajak pendidikan. Dalam Sistem ekonomi kapitalisme pendidikan dianggap komoditas ekonomi. Hal ini pun tertuang pada pasal 4 ayat (2) huruf d UU perdagangan.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengakui bahwa jasa pendidikan memang menjadi salah satu komoditas yang dapat diperdagangkan sesuai dengan pasal 4 ayat (2) d UU perdagangan.
Meski demikian, pengaturan jasa pendidikan tak dapat dilepaskan dari UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) maupun UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT). Maka prinsip nirlaba tidak dapat dipatuhi oleh setiap penyelenggara pendidikan, baik lokal maupun asing. Fakta komersialisasi pendidikan tak bisa dihindarkan, kondisi ini dimanfaatkan oleh negara. Pungutan pajak atas jasa pendidikan komersial pun dianggap sah, sebab negara ada dalam genggaman sistem ekonomi kapitalis dimana pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Namun di sisi lain korporasi pengeruk SDA diberi karpet merah menguasai kekayaan tersebut. Padahal jika SDA dikelola mandiri, hasil pendapatannya sangat besar dan mampu untuk memenuhi kebutuhan rakyat tanpa harus mengambil pajak. Sehingga jelas, rencana pemerintah di atas sebenarnya menunjukkan pengaruh sistem kapitalis yang menjadikan negara kehilangan perannya sebagai pelayan. Negara layaknya korporasi yang jual beli dengan rakyat. Dalih pemerintah yang hanya mengambil pajak dari sebagian lembaga pendidikan seperti pada sekolah internasional menjadi bukti negara lepas tanggung jawab dan berlagak jadi pemalak.
Namun hal ini tidak terjadi dalam sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah. Sistem ini mengatur manusia dengan aturan hukum syariat yang bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Bukan hukum yang dirancang oleh akal manusia yang terbatas dan lemah.
Dalam Islam, pendidikan termasuk kebutuhan dasar publik yang mutlak menjadi tanggung jawab negara. Negara tidak boleh mengambil keuntungan ataupun pajak dari penyelenggara kebutuhan ini. Yang ada negara lah yang harus membiayai pendidikan tersebut. Adapun pembiayaan pendidikan berasal dari Baitul Mal. Baitul Mal merupakan lembaga keuangan Khilafah dimana terdapat 3 pos sumber pemasukan Baitul Mal :
1. Pos kepemilikan negara meliputi: fai (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang harta yang tidak punya ahli waris, serta harta orang murtad.
2. Pos kepemilikan umum, berasal dari hasil pengelolaan SDA secara syar'i.
3. Pos zakat, berasal dari zakat kaum muslimin baik zakat fitrah, zakat mal, shadaqah, wakaf, dan sebagainya.
Untuk pembiayaan pendidikan, negara bisa mengambil dari pos kepemilikan negara dan umum, sehingga dalam konteks pendidikan jaminan pemenuhan kebutuhan bagi seluruh warga negara bisa diwujudkan dengan gratis dari 2 jalur pembiayaan tersebut. Dari dana itu pula, Khilafah menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai, seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran dan lain sebagainya. Negara Khilafah pun mampu menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidang nya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan. Para sahabat sepakat mengenai kewajiban memberikan ujrah atau gaji pada tenaga pengajar di instansi pendidikan negara khilafah di seluruh strata pendidikan.
Khilafah Umar bin Khatab Ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebesar 15 Dinar setiap bulan. Gaji ini beliau ambil dari Baitul Mal. Adapun terkait sekolah swasta yakni yang tidak nirlaba, Khilafah hanya mengawasi lembaga-lembaga tersebut agar kurikulum dan mata pelajaran yang diajarkan tidak bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Sebab setiap warga negara Khilafah diperbolehkan mendirikan sekolah, madrasah, pesantren atau lembaga pendidikan lain serta menarik kompensasi atas jasa yang mereka berikan.
Itulah gambaran konsep pendidikan dalam sistem pemerintahan Islam. Sistem pendidikan mulia yang rahmatan lil 'aalamin. Sehingga terdapat jurang perbedaan yang begitu dalam antara sistem pendidikan Islam dengan sistem kapitalis seperti saat ini.
Wallahu'alam bishawab.
Post a Comment