Pandemi Belum Usai, Politisi Malah Sibuk Berkoalisi




Oleh Annisa Al Maghfirah
(Pegiat Literasi)

Tentu kita ingat dengan lirik lagu berikut. 'Kiri, kanan ku lihat saja banyak pohon cemara.'
Sekarang, agaknya realita berbeda menjadi ''kiri,kanan ku lihat saja banyak baliho parpol' 

2024 masih lama. Para partai politik mulai mencari muka dan suara untuk pemilu mendatang.  Pemilu yang rencananya akan dilaksanakan tahun 2024 memang menjadikan para parpol mulai memasang kuda-kura dari sekarang untuk meraih kursi. Entah dari promosi diri, pencitraan sana sini hingga berkoalisi. Seolah lupa bahwa pandemi belum selesai dan ada urusan rakyat yang urgen untuk diurusi.

Pentas Demokrasi Menuju 2024

Koalisi adalah langkah terbaik dalam menggaet dukungan parpol untuk bersatu mengusung pion menuju 2024 atau untuk meraih kursi parlemen dan menteri. Terbaru, koalisi partai pendukung pemerintah (rezim Jokowi) mendapat kawan baru, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN). Sebelum PAN resmi merapat, koalisi pemerintah di DPR sudah dihuni enam partai, yaitu PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, NasDem, dan PPP. Kehadiran PAN membuat koalisi pendukung pemerintah kian kuat di parlemen. Komposisi kursi koalisi pemerintah sudah jauh lebih banyak dibanding non-koalisi atau disebut oposisi. 

Dengan perbandingan yang berat sebelah tersebut, oposisi tak bakal berdaya jika menghadapi voting di DPR terkait suatu Undang-Undang. Dan dikatakan oleh beberapa pihak bahwa hal itu bahaya serius bagi demokrasi.

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai bergabungnya PAN membuat DPR yang didominasi koalisi akan cenderung mendukung kebijakan pemerintah.

Analis politik dan Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, berharap Partai Demokrat dan PKS akan tetap konsisten di pihak oposisi. Pangi menyebut negara tanpa ada kekuatan oposisi tidaklah baik. Demokrasi tanpa oposisi, pemerintah tanpa oposisi adalah pemerintahan masturbasi, keenakan dan asyik sendiri (Tribunnews, 28/08/2021).

Berkoalisi Demi Kursi

Partai politik dalam demokrasi memang memiliki keinginan agar bisa mendapatkan kursi di ruang parlemen maupun kursi menteri. Mencari sosok dan parpol yang berkuasa (sedang dalam tampuk kekuasaan) adalah jalan yang ditempuh oleb parpol dalam demokrasi. Berkoalisi adalah keuntungan yang empuk menuju langkah 2024.

Demokrasi yang berdasarkan suara terbanyak sebagai pelegalitas hukum memang tabiatnya. Tak heran, undang-undang yang tidak mementingkan rakyat pun disetujui, aturan yang dibuat sebagian besar  hanya untungkan kelompok tertentu (kapitalis dan parpol).

'No free lunch'. Istilah ini sangat benar. Di alam demokrasi, tak ada makan siang gratis. Tak ada koalisi oposisi yang tulus. Semua berbalut kepentingan dan saling untung. Telah menjadi track record politik demokrasi bahwasanya tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Semua berdasar kepentingan. Tentu umat tidak akan lupa Gerindra dengan drama oposisinya dipemilihan lalu. Inilah  yang dimaksud dengan politik transaksional. Sudah fitrah bawaan dari politik demokrasi yang memang demikian. 

Politik alam demokrasi memang asasnya manfaat dan kepentingan. Di mana ada kepentingan, di situlah parpol mendamba keuntungan. Sedangkan rakyat hanya dibutuhkan pada waktu pemilu. Selebihnya, peran dan suara rakyat diabaikan. Tak jauh beda dengan wakilnya rakyat alam demokrasi. Kebanyakan acuh disaat sudah menduduki kursi parlemen.. 

Jika partai koalisi pemerintah menguasai suara parlemen, suara partai oposisi menjadi tidak berguna. Sebab, ketok palu UU, aturan atau kebijakan diputuskan berdasarkan suara mayoritas. Suara para koalisi pemerintah. Konon, wakil rakyat, tapi realitanya wakil suara partai. Begitulah realitas politik demokrasi. Inilah wajah partai politik dan politisi didikan sistem sekuler.

Sebagai rakyat mestinya terbuka mata dan pikiran. Pilpres masih tiga tahun mendatang, tapi partai dan wakil rakyat  sudah sibuk berkoalisi demi kontestasi 2024. Padahal sedang pandemi, dimana hati nuraninya. Harusnya yang diurusi adalah rakyat yang saat ini sedang berjibaku dengan pandemi. Rakyat harus sadar dengan fakta rusaknya demokrasi dan jadikan pelajaran untuk ke depannya. Dengan tidak berharap perubahan dengan demokrasi.

Partai dalam Sistem Islam

Dalam Islam, keberadaan kelompok atau jamaah maupun partai terdapat pada QS. Ali Imran:104.  Dari ayat tersebut, suatu kelompok atau partai memiliki dua fungsi. Yakni beraktivitas menyeru kepada Islam dan melaksanakan amar makruf nahi mungkar (menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan yang mungkar). Agar dapat melaksanakan kedua fungsi tersebut, partai haruslah memiliki ikatan anggota yang kuat bersandar kepada akidah Islam.

Partai Islam haruslah berasaskan akidah Islam, karena ketika melakukan amar makruf nahi mungkar, standarnya adalah syariat Islam. Amar makruf nahi mungkar ini ditujukan kepada umat dan juga kepada penguasa yang menjalankan kekuasaan mengurusinya. 

Dalam sistem pemerintahan Islam, keberadaan partai politik tidak hanya ada satu, bisa lebih. Akan tetapi, partai yang banyak tersebut memiliki asas yang sama yaitu akidah Islam. Semua partai juga memiliki tujuan yang satu yaitu menjaga agar pngaturan urusan umat sesuai dengan syariat Allah. Tidak ada kepentingan karena berkoalisi dengan penguasa. Semua harus objektif dalam menilai, mengawasi ataupun menasehati penguasa dengan standar hukum syara. 

Alhasil, tidak akan ada perbedaan asas dan tujuan partai sebagaimana yang terjadi pada sistem demokrasi. Semua partai bekerja sama dalam kebaikan dan takwa. Tiada lain untuk mewujudkan pemerintahan dan penguasa yang senantiasa menjalankan hukum Allah dan rakyat yang bertakwa.

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post