Oleh Khaulah
(Aktivis BMI Kota Kupang)
Pemerintah tengah merencanakan pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap jasa pendidikan. Sebelumnya, pernah beredar wacana ini, Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa PPN akan dikenakan pada sembako, jasa pendidikan, serta jasa kesehatan. Jika tidak ada aral melintang, dipastikan kebijakan ini akan diberlakukan setelah usainya pandemi.(kontan.co.id, 08/09/2021)
Ditegaskan oleh pemerintah bahwa tak semua sekolah dikenakan PPN. Misalnya jasa pendidikan yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak seperti sekolah negeri. Jadi, PPN hanya dikenakan untuk sekolah mewah. Hal ini karena pemerintah menimbang dari sisi anggaran yang digelontorkan untuk sektor pendidikan. Pada tahun 2021, misalnya, pemerintah menganggarkan Rp550 triliun, dan dipakai untuk fasilitas semua jenis pendidikan.
Kendati demikian, terdapat les privat berbiaya tinggi dan pendidikan gratis, yang keduanya tidak dikenakan PPN. Maka, solusi dari kesenjangan ini adalah pemerintah menyiapkan RUU KUP yang memuat reformasi sistem PPN. Hal ini diharapkan bisa memenuhi rasa keadilan dengan mengurangi distorsi dan menghilangkan fasilitas yaang tidak efektif, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan optimalisasi pendapatan negara.
Ibarat gayung bersambut kata berjawab, banyak kontra dari berbagai pihak terkait wacana pemerintah ini. anggota X DPR Fraksi Partai Gerindra, Himmatul Aliyah, menegaskan bahwa pemerintah seharusnya menjamin agar pendidikan diperoleh warga negara serta wajib membiayai pendidikan warganya. Apalagi, pengenaan pajak pada sektor pendidikan mengakibatkan biaya pendidikan meroket, begitu pula angka putus sekolah.
Kontra serupa disampaikan oleh Ekonom senior, Faisal Basri. Bahwasanya, entah sekolah mewah atau tidak mewah, tetap no tax for education, tak ada pajak bagi pendidikan. Beliau pun melanjutkan, jangan karena pemerintah tak bisa mendulang pendapatan maka upayanya diperluas ke private sector.
Jelas, alasan yang dinyatakan pemerintah bisa dibantah bahkan (hanya) dengan beberapa pernyataan kontra tersebut. Penting ditegaskan kembali bahwa pendidikan (termasuk sembako, kesehatan, dan keamanan) adalah hak rakyat (baca: semua rakyat) yang harus dipenuhi negara. Sungguh, sangat keterlaluan apabila negara mendulang pendapatan darinya.
Fakta kebijakan ini memproyeksikan lepasnya tanggung jawab negara untuk menjamin pendidikan secara gratis dan berkualitas. Tampak, pendidikan sedang mengalami masalah, semakin bertambah pun belum ada solusi. Harusnya pemerintah memberi perhatian lebih, mencari solusi agar masalah tak menumpuk. Alih-alih memberi perhatian lebih, negara justru mencekik rakyat dengan biaya pendidikan berlebih.
Negara dengan kacamata kapitalisnya, mencari celah memperbanyak pungutan dari rakyat. Bahkan di tengah pandemi, ketika mencari nafkah seolah mencari jarum dalam setumpuk jerami. Di saat akses terhadap pendidikan sulit dijangkau mayoritas generasi. Generasi muda dihantam dari berbagai arah untuk hengkang dari dunia pendidikan, mereka tak luput dari incaran pajak. Sungguh zalim!
Beginilah potret pendidikan di kehidupan yang berlandaskan sistem kapitalis. Sistem yang menempatkan materi menjadi kebahagiaan sejati. Ada saja celah, bahkan dengan mengorbankan rakyat kecil dengan tujuan memperoleh materi. Padahal negara sejatinya sebagai pengurus, memenuhi hajat hidup rakyat, memutar otak mencari solusi termasuk di dalamnya terkait pendidikan. Tetapi, bisakah negara menjalankan amanah sebagai pengurus rakyat dengan sebaik-baiknya? Apakah negara mempuyai pendapatan untuk itu?
Negara dengan suka rela mempersilakan masuknya asing untuk menjarah kekayaan alam di negeri ini. Negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa ini kian terhimpit, miskin, terjadi kesenjangan sosial-ekonomi karena penumpukan kekayaan pada sebagian orang pun pada asing. Negara tak punya dana untuk mengurus rakyat, maka dibiarkanlah rakyat bekerja dan membiayai hidupnya sendiri. Bahkan mirisnya, sudahlah tidak mengurus rakyat, negara malah menetapkan tarif atas hak rakyat yang harusnya diberikan dengan gratis dan berkualitas oleh negara. Jelas, negara yang berada di bawah naungan kapitalisme tak bisa menjalankan amanah sebagai pengurus rakyat, terkhusus pada aspek pendidikan.
Berbeda dengan pendidikan dalam naungan Islam, yang negaranya bertanggung jawab secara penuh. Ditopang oleh sistem ekonomi berbasis _ baitul maal yang kukuh. Pendidikan yang diberikan berkualitas dan gratis. Pajak tak menjadi tulang punggung pendapatan negara sebagaimana dalam sistem kapitalis, tetapi akan dipungut (itupun terbatas pada orang-orang kaya) tatkala minimnya kas baitul maal.
Negara akan mengadakan fasilitas serta infrastruktur pendidikan mulai dari gedung-gedung, laboratorium, perpustakaan beserta buku-buku. Bahkan negara menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya dengan memberikan mereka gaji yang tak sedikit. Dari sini jelas, bahwa negara dalam sistem Islam sanggup memenuhi semua kebutuhan rakyat, yang ditopang oleh sistem ekonomi berbasis baitul maal.
Maka, potret pendidikan hari ini yang mana negara memungut pajak darinya adalah sebagai bentuk kezaliman. Negara harusnya bertindak sebagai pelayan rakyat, bukan pengisap darah rakyat yang bahkan telah tersisa sedikit. Oleh karena itu, perlu adanya transformasi dari sistem kapitaslisme hari ini ke sistem Islam, sistem dari Sang Pencipta jagat raya.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment