Penulis dan Member AMK
Semenjak pandemi melanda negeri ini, lebih kurang 1,5 Tahun yang lalu. Aktivitas manusia mendadak mengalami perubahan. Manusia mulai berimigrasi ke ruang digital. Diantara ruang digital yang mengalami perubahan cukup signifikan adalah sosial media. Ia berhasil menjuarai wilayah terpadat penghuninya. Penghuninya sering kita kenal dengan sebutan warganet atau nitizen. Di sanalah semua orang dapat menjelajahi dunia tanpa harus jauh-jauh pergi ke dunia nyata dengan alat transportasi.
Informasi apapun dapat kita ketahui hanya dengan sekali klik. Penghuninya bebas berselancar kapan pun, di mana pun dan kemana pun yang ia mau. Segala hal dapat diakses melalui situs-situs yang tersedia. Termasuk konten-konten berbau negatif seperti pornografi, pelecehan, fitnah dan hoax. Sebenarnya pemerintah sudah mengedukasi masyarakat agar menyebarkan informasi yang akurat saja.
Di sini pemerintah melakukan tiga pendekatan yakni, tingkat hulu, menengah dan hilir. Untuk tingkat hulu pemerintah bekerjasama dengan 108 komunitas, akademisi, lembaga pemerintah untuk memberikan literasi digital pada masyarakat.
Adapun, untuk tingkat menengah pemerintah menghapus konten-konten negatif yang diunggah ke situs web. Sedangkan pendekatan di tingkat hilir dilakukan dengan melibatkan instansi pemerintah, media konvensional dan sosial agar situs web, akun media sosial dan saluran lain yang dioperasikan pemerintah dapat berjalan dengan optimal. (viva.co.id, 18/9/2021).
Meskipun berbagai cara telah dilakukan untuk menghentikan konten-konten negatif tersebut. Namun, pada kenyataannya ia akan tetap saja muncul. Buktinya masyarakat terutama generasi muda masih saja dapat mengakses konten-konten negatif seperti konten pornografi dan berita- berita hoax yang belum jelas sumbernya dari mana. Padahal sudah diredam oleh pemerintah. Lebih ironis lagi, mereka pun ikut menyebarkannya ke sosial media. Nauzubillah.
Adapun berita hoax dapat dikategorikan dalam dua hal. Misinformasi dan disinformasi. Misinformasi adalah informasi salah yang dibuat dan disebarkan tanpa ada niat menipu dan merugikan orang lain. Semisal, berita-berita yang tidak akurat atau belum dapat dibuktikan kebenarannya. Sedangkan disinformasi merupakan informasi salah yang sengaja dibuat dan disebarkan untuk menipu atau merugikan orang.
Baik misinformasi maupun disinformasi bisa tersebar luas dengan cepat di media sosial. Mengingat masyarakat lebih cenderung mencari informasi tentang hal apapun di media sosial. Karena hanya di sanalah segala informasi bisa didapatkan dengan mudah dan praktis. Tidak peduli dari mana sumbernya. Apakah berita tersebut benar atau sekadar hoax. Semua dipukul rata oleh nitizen.
Lantas mengapa bisa terjadi demikian. Karena edukasi yang disuguhkan pada masyarakat tidak bersumber dari rasa ketakwaan kepada Allah. Jika seseorang itu bertakwa tentulah ia akan paham dan dapat membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Mana konten yang layak dikonsumsi masyarakat, mana yang tidak layak. Semestinya semua berjalan sesuai dengan hukum syara.
Selain itu, masyarakat juga tidak dipahamkan tentang definisi baku dari konten negatif itu sendiri. Bagi mereka konten negatif hanyalah konten-konten yang berbau pornografi, pelecehan, penipuan dan berita bohong. Padahal, jika didefinisikan konten negatif berarti segala konten yang bertentangan dengan akidah Islam dan norma-norma keagamaan.
Hidup dalam payung demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Menghilangkan konten negatif di tengah masyarakat ibarat memotong rumput liar senantiasa akan muncul kembali. Meskipun sudah dipotong berulang kali. Itulah mengapa upaya pemerintah untuk menangkal berbagai konten negatif ini tidak berjalan dengan efektif. Mengapa? Karena akar permasalahannya tidak dicabut. Yaitu sistem demokrasi-kapitalis yang masih saja dibiarkan hidup dan tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Sistem yang menafikan agama dalam mengatur urusan kehidupan. Ya, agama hanya dibolehkan mengatur ibadah ritual saja. Selebihnya keputusan dan hukum dibuat oleh manusia yang berkuasa dan berkepentingan.
Padahal Islam sebagai dien yang sempurna telah mengatur masalah ini. Dalam Daulah Islamiyah Pers diarahkan untuk menyusun program-program sesuai dengan politik media. Selain harus memiliki akidah yang kokoh, ia juga harus mengokohkan akidah di hati dan akal rakyat dengan cara menyiarkan apa saja konten-konten yang dapat memperkuat ketaatan pada Allah Swt.
Selain itu, negara juga berperan penting dalam hal ini. Pemerintah berkewajiban untuk membuat regulasi yang jelas tentang definisi baku dari konten negatif yang dapat merusak pemikiran masyarakat. Seperti tidak boleh menyebarkan berita bohong yang belum jelas sumbernya. Sebab, kebohongan termasuk kemaksiatan meskipun di ruang digital. Dilarang menyebarkan konten yang mengarah pada pornografi karena dapat mengantarkan seseorang pada kemaksiatan di saat melihatnya. Intinya tidak boleh menyebarkan segala ide yang bertentangan dengan akidah dan hukum Islam.
Selanjutnya masyarakat juga harus dipahamkan literasi media. Untuk kepentingan apa saja media itu boleh digunakan. Sebab, fungsi media untuk mencerdaskan masyarakat bukan untuk merusak pemikiran mereka.
Kemudian bila terjadi pelanggaran dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Maka diberikan sanksi untuk semua pelanggar, tak peduli apakah ia pengguna media sosial ataupun praktisi media profesional. Semua sama dimata hukum.
Begitulah syariat Islam mengatur dan menyaring informasi yang masuk ke dalam pemikiran umat. Jika masyarakat tidak diedukasi dengan benar. Maka, tanpa disadari media sosial bisa menjadi ladang kemaksiatan yang keberadaannya tak kasat mata. Namun, pertanggungjawaban di hadapan Allah sungguh nyata. Untuk itu bijaklah menggunakan media sosial hari ini. Pastikan kebenaran sumber berita tersebut sebelum ikut menyebarkannya. Jika kita tidak ingin terjerumus ke dalam kubangan dosa.
"Ingatlah di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga dan kamu menganggap sesuatu yang ringan saja. Padahal dia di sisi Allah adalah besar” (TQS. an-Nuur [24] : 15).
Wallahu a'lam bisshowab.
Post a Comment