Impor Cabai Kala Pandemi, Bagaimana Nasib Petani?



Oleh Aan Anisah

Cabai, meski bukan makanan pokok, tetapi merupakan primadona dunia kuliner Indonesia. Beragam jenis makanan di Indonesia menjadikan  cabai sebagai salah satu kondimen yang wajib ada. Namun setelah beberapa bulan sebelumnya konsumen menjerit karena harga cabai melangit, kali ini giliran petani yang menangis karena harga cabai benar-benar tak logis.

Bisa dibayangkan, di beberapa tempat, harga jual cabai merah keriting di tingkat petani anjlok hingga kisaran Rp2.000-Rp3.000 per kg. Padahal, Titik Impas Biaya Produksi atau Break Event Point (BEP) untuk cabai idealnya di atas Rp25.000—Rp30.000 per kg.

Harga cabai besar juga turun menjadi Rp5.500 per kg, dari sebelumnya Rp8.000 per kg. Sementara cabai rawit hijau anjlok menjadi Rp4.000 per kg, padahal sebelumnya kisaran Rp13.000 per kg.

Wajar jika di beberapa wilayah, para petani banyak yang memilih membiarkan tanaman cabainya rusak. Bahkan, petani cabai di Majalengka memilih menelantarkan lahannya hingga membakar tanamannya.

Hal ini tak hanya terjadi pada cabai. Komoditas lainnya pun sering mengalami hal demikian. Misalnya bawang merah, bawang putih, kedelai, komoditas ternak seperti ayam, dan yang lainnya. Komoditas strategis dan politis seperti beras juga tak luput dari permasalahan.

Pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, biasanya berdalih anjloknya harga adalah akibat faktor kelebihan produksi atau surplus. Akibatnya, ketersediaan barang di pasar terlalu melimpah, sementara permintaan atas barang tersebut tetap atau malah berkurang akibat daya beli masyarakat yang terus menurun di masa pandemi.

Sangat disayangkan sikap pemerintah yang menunjukkan ketidakadilan kepada rakatnya sendiri khususnya para petani, di tengah berita anjloknya harga cabai dalam negeri, ternyata di sisi lain juga ramai diberitakan banjir impor cabai.

Dikutip dari bisnis.com (24/8/2021), Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Kementan Bambang Sugiharto menjelaskan impor cabai sebesar 27.851 ton sepanjang semester I/2021 dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri. Cabai diimpor dalam bentuk cabai kering, cabai dihancurkan atau ditumbuk; dan bukan cabai segar konsumsi.

Menurut Bambang, jika dibandingkan, volume impor tersebut hanya sekitar 1% dari total produksi nasional. Karenanya, pihaknya pun mengajak industri nasional menyerap cabai dari petani lokal.

Data impor cabai dari Kementan ini sedikit berbeda dengan data BPS. Pasalnya, berdasarkan data BPS, impor cabai sepanjang Semester I-2021 (Januari—Juni) sebanyak 27.851,98 ton dengan nilai US$59,47 juta. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan realisasi impor pada Semester I-2020 yang hanya sebanyak 18.075,16 ton dengan nilai US$34,38 juta.

Padahal, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2018, Indonesia adalah negara penghasil cabai terbesar keempat di dunia. Hal ini juga didukung oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur yang pada akhir tahun 2020 merilis Analisis Data Cabai Provinsi Jawa Timur 2019.

Mirisnya lagi tanggapan pemerintah tampak selalu gagap dalam menghadapi situasi seperti ini. Padahal, semestinya semua bisa diantisipasi sekiranya mereka serius berpikir dan bekerja untuk memberi solusi, semata-mata demi mewujudkan kesejahteraan para petani dan keadilan bagi konsumen.

Terlebih, di luar faktor menurunnya daya beli masyarakat, ternyata ada peran pemerintah yang menyebabkan pasokan barang melimpah di pasaran. Di antaranya manajemen informasi dan data yang amburadul, serta kebijakan membuka kran impor yang ugal-ugalan dengan dalih menjaga stabilitas harga dan memenuhi kebutuhan industri.

Sehingga pemerintah memudahkan para importir masuk ke Indonesia untuk bersaing dengan pangan yang di hasilkan oleh para petani lokal. Miris peran pemerintah yang seharusnya mengayomi dan mensejahterakan rakyatnya malah melihat dari keuntungan yang dirasakan mana yang lebih besar manfaat bagi dirinya sendiri dan para pengusaha besar.

inilah salah satu fakta di sistem kapitalis demokrasi. Jauh dari slogannya "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat," karena itu semua tidak terbukti. Sistem kapitalis demokrasi saat ini yang diterapkan itu lebih memilih meraup keuntungan bagi dirinya sendiri. Jauh dari tanggung jawab sebagai pengayom masyarakat.

Ketika penguasa berperan sebagai pengayom. Fokus pengelolaan sumber daya pangan akan terarah pada distribusi di tengah masyarakat. Penguasa tak akan sibuk membentuk berbagai instansi baru ketika masyarakat masih terjadi kemiskinan dan rawan pangan.

Maka satu-satunya solusi hanya dengan Islam. Kslam akan menuntaskan seluruh problematika kehidupan manusia termasuk impor cabai yang dikeluarkan kebijakan oleh pemerintah saat ini.

Maka Sistem politik Islam juga menjamin kemandirian dan kedaulatan negara tegak sempurna. Negara tak akan mudah tunduk pada tekanan internasional yang dibuat melalui diktum-diktum perjanjian yang hakikatnya merupakan alat penjajahan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah memang tak menjadikan kepentingan rakyat sebagai hal yang utama. Paradigma sekuler kapitalistik yang mendasari penyelenggaraan pemerintahan membuat fungsi kepemimpinan bergeser dari fungsi  yang seharusnya.

Dalam sistem ini, kekuasaan faktanya hanya menjadi alat mewujudkan kepentingan kelompok atau partai politik.
manakala hukum Allah belum tegak sempurna. Bahkan, sistem yang ada akan terus memproduksi kerusakan yang menjauhkan masyarakat dari cita-cita hidup sejahtera.
Karena itu, sudah saatnya masyarakat menyadari pentingnya perubahan ke arah Islam.

Di dalam Islam tak ada kepentingan pribadi yang menempel dalam kekuasaan Islam selain harapan beroleh ridha Allah Swt. Dalam Islam, kepemimpinan adalah alat penegak hukum-hukum Allah, yang amanahnya akan dipertanggungjawabkan di akhirat.

Melalui pelaksanaan hukum-hukum Allah inilah kesejahteraan dan keadilan di tengah umat akan bisa diwujudkan. Pelaksanaan hukum Allah secara sempurna hanya bisa dilakukan dengan menerapkan syariat Islam secara kafah.

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post