Berbagai bentuk aspirasi yang ingin disampaikan masyarakat pada dasarnya merupakan bentuk penyaluran haknya sebagai warga negara. Namun, belakangan publik dihebohkan dengan sejumlah mural yang menyinggung pemerintah dan kemudian viral.
Di Kota Tangerang, ada mural bergambar wajah mirip Presiden Jokowi. Mata dari sosok wajah di mural itu tertutup tulisan '404: Not Found'. Mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertuliskan "404 Not Found" pun ramai diperbincangkan warganet di media sosial. Pembahasan atau cuitan tentang mural itu menjadi trending topic di Twitter dengan tagar #Jokowi404NotFound (Kompas.com, 15/08/2021).
Kasubbag Humas Polres Tangerang Kota Kompol Abdul Rachim membenarkan soal mural tersebut. Namun mural itu kini telah dihapus aparat kepolisian setempat. Polisi menilai, mural tersebut melecehkan lambang negara yang sekaligus merupakan pemimpin tertinggi Polri (Detiknews.com, 15/08/2021).
Menanggapi hal itu, Arsitek dan Ahli Tata Kota Bambang Eryudhawan mengatakan, pemerintah harus hati-hati dalam memperlakukan mural, grafiti atau seni jalanan (street art). Dihapusnya mural dan seni jalanan tersebut justru dapat menjadi bumerang bagi pemerintah. Terutama kaitannya dengan penilaian masyarakat terhadap penguasa. "Mural itu sudah ada sejak dulu, bahkan sejak Orde Baru. Waktu itu jadi bagian dari media untuk menyampaikan kritik dan pendapat," kata Yudha (15/08/2021).
Mural itu sudah ada sejak dulu, bahkan sejak Orde Baru. Waktu itu jadi bagian dari media untuk menyampaikan kritik dan pendapat," kata Yudha kepada Kompas.com, Minggu (15/08/2021). Seharusnya, imbuh Yudha, pemerintah tidak bersikap represif. Sebaliknya, pemerintah harus memaknai mural sebagai seni dan media seseorang dalam mengemukakan pendapat.
"Jadi keberadaan mural itu memang tergantung aturan pemerintah kota, tetapi jika mural Presiden Jokowi dianggap menghina, pertanyaan berikutnya apakah tidak ada lagi kebebasan berekspresi di negeri ini," tuntas Yudha.
Selain itu, sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun juga mengkritik tindakan aparat yang menghapus mural berisi kritik sosial tersebut. Menurut Ubed, penghapusan mural itu merupakan bentuk baru represif dan pembungkaman. "Tindakan aparat menghapus mural kritik sosial itu dalam perspektif demokrasi adalah bentuk baru represif dan pembungkaman yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi," ujar Ubed saat dihubungi, Sabtu (14/8).
Sebagai karya seni, menurut Ubed, ia hanya bisa dinilai dan diperdebatkan. Terlebih lagi karya mural yang berisi kritik sosial tidak dapat dihakimi, apalagi dihapus tanpa diskusi. Sebab fenomena kritik sosial melalui mural itu menunjukkan tanda-tanda bahwa protes melalui saluran lain telah banyak dibungkam dan tidak lagi didengar oleh kekuasaan.
Komnas HAM juga sempat berkomentar mengenai penghapusan mural. Menurut komisioner Beka Ulung Hapsara, ada norma dan standar yang bisa jadi panduan untuk mengatur kebebasan berekspresi. "Ada beberapa aspek yang jadi ukuran pembatasan ekspresi seni. Keamanan nasional, keselamatan publik dan ketertiban Umum. Sementara dari kontennya, tidak menyebarkan kebohongan, SARA, ujaran kebencian," ujarnya.
Oleh karena itu, selama kebebasan berekspresi termasuk mural tersebut masih dalam ketentuan-ketentuan di atas, maka tidak dapat dikatakan melanggar. Beberapa waktu terakhir, mural yang berisi kritik sosial dihapus oleh aparat. Kasus pertama yang menyita perhatian publik adalah mural dengan wajah yang menyerupai Presiden Joko Widodo, namun pada bagian matanya ditutupi dengan tulisan 404: Not Found. Kemudian, mural bertuliskan 'Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit' di Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, juga bernasib sama. Mural tersebut dihapus aparat Satpol PP karena dianggap melanggar ketertiban umum (CNN Indonesia, 14/08/2021).
Beginilah realitanya. Berharap pada Demokrasi hanya akan menuai kekecewaan tak berujung. Demokrasi hanya memberi ruang kebebasan berpendapat dan mengkritik bila tidak mengganggu kelangsungan kursi penguasa dan tidak mengancam eksistensi ideologi mereka. Meskipun Demokrasi menggaungkan kebebasan perpendapat, pada faktanya jika pendapat yang disampaikan berseberangan tetap akan dianggap pelanggaran yang bisa dikenai sanksi dan dijerat pidana. Meskipun yang disampaikan adalah sebuah kebenaran, perbuatan itu akan dikriminalisasi bila mengganggu kenyamanan kursi penguasa apalagi sampai mengguncang eksistensi ideologi mereka.
Meski sebuah kebenaran yang disampaikan namun akan dikriminalisasi bila mengganggu kenyamanan kursi rezim apalagi sampai mengguncang eksistensi ideologi. Sungguh sebuah hipokrit jika melihat realitas sikap aparat dan rezim yang justru sebaliknya.
Demokrasi yang berideologi kapitalis dan berakidah sekuler sejatinya memberikan kebebasan pada rakyat dalam menyampaikan pendapat. Masalahnya, yang dimaksud kebebasan berpendapat di sini adalah kebebasan yang meniadakan aturan Sang Pencipta dalam mengatur kehidupan. Bukan kekebasan yang berseberangan dan mengancam eksistensnya. Sehingga sekalipun melanggar agama, jika pelanggaran itu sejalan dengan kepentingan mereka, hal ini tidak dianggap sebagai pelanggaran. Sebaliknya, walaupun sesuai agama tapi jika mengganggu kepentingan mereka, tetap akan mereka proses secara hukum.
Inilah keburukan Demokrasi. Selain bertentangan dengan agama, Demokrasi juga tidak akan pernah menghadirkan keadilan yang hakiki. Para pemangku kebijakan hanya membuat aturan yang menguntungkan dirinya dan golongannya.
Kaum muslimin seharusnya menyadari bahwa sistem kapitalis sekuler menjadikan Demokrasi sebagai alat untuk mengamankan kepentingan segelintir pihak. Penguasa yang ditopang pengusaha dari sisi finansial, menjalin kerja sama dengan minoritas pengusaha tersebut seraya mengabaikan kepentingan rakyat.
Kritik yang dianggap sebagai hal wajar untuk muncul dalam pemerintahan Demokratis, pada faktanya bersifat elastis. Pendapat yang sejalan dengan kepentingan penguasa itulah yang diekspos ke permukaan.
Islam sangat mendorong setiap Muslim untuk melakukan muhasabah lil hukam. Hal ini semata-mata dalam rangka tetap menjaga iklim ideal di tengah-tengah masyarakat agar tetap berada dalam koridor hukum syara. Ketika penguasa membuat aturan yang menzalimi rakyatnya dan bertentangan dengan syariat, tentu harus dikoreksi, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Kritik dalam Islam adalah sunah Rasulullah dan tabiat kaum muslimin. Kritik juga merupakan ekspresi cinta umat kepada pemimpinnya agar tidak tergelincir ke dalam maksiat berbuah dosa yang bisa mendatangkan murka Allah.
Islam mewajibkan setiap individu muslim untuk mengajak sesamanya kepada kemakrufan (kebaikan) dan mengingkari kemungkaran serta menyadari bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari ketaatannya kepada Allah Swt. Hal itu mereka lakukan tanpa kekerasan secara ikhlas dan sabar semata-mata demi meraih rida Allah Swt. Yang perlu diperhatikan adalah nasihat dan kritik yang disampaikan tidak sampai menghina fisik atau memperolok-olok pribadi pemimpin, melainkan hanya mengkritisi kebijakan yang menyimpang dari Syariat Islam dan menyalahi kemaslahatan umat. WallahuAllam.
Post a Comment