Dilema Hukum Buatan Manusia



Oleh Ely Yuliani
(Ibu Rumah Tangga dan Pembelajar Ilmu Syari'at)


Berita tindak kejahatan di negeri ini seakan terus menerus menjadi topik berita. Sungguh memprihatinkan.

Begitu banyaknya berita yang berhasil diwartakan dengan beragam perbuatan kriminalitas, entah itu pembunuhan, penipuan, transaksi barang haram, perzinahan,  pemerkosaan, perampokan bahkan tindak kekerasan seksual yang korbannya tidak hanya orang dewasa saja, tetapi terhadap anak di bawah umur pun sering terjadi.

Mirisnya tak sedikit dari korban kekerasan seksual ini bungkam, tidak berani melapor kepada pihak yang berwajib, dikarenakan merasa malu atas aib yang menimpa diri mereka. 

Kejahatan semacam ini  terus saja berulang, sementara hukuman yang diterima tidak cukup membuat para pelaku jera. Bahkan saking seringnya mendengar berita mengenai kekerasan seksual, seolah menjadi hal yang biasa dan lumrah terjadi. Dan mindset semacam ini sangat berbahaya karena akan berujung pada sikap apatis, pembiaran, serta toleran atas perilaku keji ini.

Sebut saja artis yang dulunya pernah tersandung kasus asusila terhadap seorang remaja serta kasus penyuapan panitera yang divonis oleh hakim dengan 5 (lima) tahun kurungan penjara. Pasca bebas, anehnya mereka justru disambut masyarakat dan penggemarnya, seolah-olah pahlawan yang baru pulang dari peperangan dan meraih kemenangan. Dan lebih anehnya lagi, hampir semua stasiun televisi menayangkan pemberitaan ini, meski akhirnya pemberitaan-pemberitaan tersebut berujung polemik. 

KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) selaku lembaga independen negara yang mengatur penyelenggaraan penyiaran program televisi Indonesia, akhirnya dipertanyakan terkait  kinerjanya. KPI dituding telah membiarkan pelaku pelecehan seksual sukses wara-wiri di acara televisi sehingga berhasil menjadi topik utama pemberitaan selama beberapa hari.

Syahdan, yang lebih mengejutkan justru datang dari tubuh KPI itu sendiri. Diberitakan bahwa di balik KPI yang bertugas sebagai wadah penyeleksi penyiaran, ternyata di dalamnya terdapat juga tindakan kejahatan terkait pelecehan seksual dan perundungan. SubhânaLlâh!

Diberitakan, seorang pria yang mengaku sebagai pegawai KPI Pusat mengaku sebagai korban perundungan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh tujuh pegawai di Kantor KPI Pusat selama periode 2011-2020. (republika.co.id, 2/9/2021). Na'udzubillah.

Sungguh satu hal yang sangat tidak wajar dan menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa segala perbuatan merusak moral ini justru terjadi pada masyarakat yang mayoritas memeluk Agama Islam?

Ajaran Islam menyeru pemeluknya untuk ber-akhlaqul karimah. Yaitu, berperilaku dengan amal perbuatan terpuji dan meninggalkan amal apa saja yang syara' pandang tercela.

Ajaran Islam pun mengajarkan tentang pahala dan dosa serta surga dan neraka. Namun, mengapa mereka seakan tidak punya rasa takut? Perbuatan hina semacam kekerasan seksual, perzinahan, aborsi, homoseksual dan lesbian hingga transgender seakan-akan sengaja difasilitasi dan mendapat tempat di hati masyarakat di negeri ini.

Semua kegilaan akal manusia ini terjadi akibat dari penerapan paham yang keliru. Yaitu paham sekulerisme, sebuah paham yang memisahkan agama dari kehidupan.

Agama hanya dipraktikkan dalam ruang lingkup pribadi, antara individu dengan Tuhan semata. Agama tidak boleh mengatur kehidupan bermasyarakat bahkan bernegara. Bahkan embel-embel atas nama Hak Asasi Manusia (HAM), sekulerisme  membentuk watak masyarakat menjadi individu-individu yang bebas berbuat sesuka hati, dan pada akhirnya memporak-porandakan tatanan kehidupan manusia.

Banyaknya kasus  perselingkuhan, pemerkosaan,  perzinahan, dan aborsi di negeri ini adalah akibat dari pemahaman agama yang minim dan tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah berupa hukuman yang mampu membuat jera. Bahkan pemerintah seakan melakukan pembiaran terhadap dunia hiburan di negeri mayoritas Islam ini menjadi wadah untuk mengapresiasi perilaku LGBT, transgender dan sejenisnya. Mereka bergentayangan di dunia hiburan. Padahal Allah Subhânahu wa Ta'âlâ telah mengutuk perbuatan terkutuk yang mereka sebut sebagai citarasa seni dan kebebasan berekspresi. Sekulerisme benar-benar telah merubah dan menjauhkan pemikiran masyarakat dari ajaran Islam. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Maka barang siapa mencari di luar itu (seperti zina, homoseks, dan lesbian), mereka itulah orang-orang yang melampaui batas." (TQs. Al-Ma'arij 70: Ayat 31)

Umat Islam harusnya sadar dan paham bahwa agama Islam mengatur semua aspek kehidupan. Tidak benar bahwa manusia bebas berbuat sesuka hati tanpa aturan Ilahi, Sang pembuat hidup itu sendiri. Manusia harus terikat dengan hukum syara', yaitu hukum yang datangnya dari Allah Subhânahu wa Ta'âlâ sebagai pedoman bagi manusia, agar selamat di dunia hingga akhirat.

Hanya hukum yang tepatlah yang mampu membuat mereka jera. Hukum dalam sistem demokrasi kapitalisme sekulerisme, tidak akan mampu mengatasi masalah terkait kejahatan seksual karena hukuman yang diterapkan hanyalah penjara. Sebuah hukuman yang tidak ada jaminan pelakunya untuk tidak mengulang perbuatan kejinya selepas keluar dari tahanan. 

Berbeda dengan hukum Islam. Huddud dalam hukum Islam terbukti sangat efektif mencegah terjadinya maksiat. Hukuman qisas, rajam, cambuk, serta potong tangan akan membuat pelaku maksiat jera dan di sisi lain mampu mencegah orang lain dari berbuat kejahatan yang serupa.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa." (TQs. Al-Baqarah 2: Ayat 179)

Penegakan Huddud berarti menjaga hak-hak dan kehidupan manusia dari segala kedzaliman dan kerusakan. Namun sayangnya hukum semacam ini tidak bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan sekuler saat ini. Sebab hukum Islam semacam ini hanya bisa diterapkan dalam sebuah Institusi Negara yang mengadopsi syari'at Islam itu sendiri secara kaffah. Bilakah hal ini berlaku? Allâhu Musta'an. 

Wallalâhu A'lam bish-shawab []

Post a Comment

Previous Post Next Post