Oleh : Ismayanti (Penulis, Aktivis Dakwah Kampus)
Merdeka.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti hasil
laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang diterima. Hasilnya, tercatat
sebanyak 70 persen penyelenggara negara memiliki harta yang kian berlimpah. Selain
di lembaga legislatif, harta para pejabat di eksekutif dalam Kabinet Indonesia Maju
di bawah naungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama pandemi Covid-19 juga bertambah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sebanyak 70,3 persen
penyelenggara negara mengalami kenaikan harta kekayaan selama pandemi Covid-19.
Angka tersebut diketahui berdasarkan hasil laporan harta kekayaan penyelenggara
negara (LKHPN) kepada lembaga antirasuah tersebut.
“Kita amati juga selama pandemi setahun terakhir ini, itu secara
umum penyelenggara negara 70% hartanya bertambah. Kita pikir pertambahannya masih
wajar, tapi ada 22,9% yang justru menurun. Kita pikir yang pengusaha yang bisnisnya
surut atau bagaimana gitu,” ucap Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan,
dalam diskusi webinar LHKPN yang disiarkan di YouTube KPK RI, Selasa (7/9/2021).
(Detikcom, 7/9/2021)
Benar-benar membuat rakyat cukup terkejut setelah pengumuman
kekayaan pejabat yang mengalami kenaikan pesat. Sebut saja Presiden Jokowi, kekayaannya
meningkat sebesar Rp8,8 miliar. Menko Maritim dan Investasi juga mengalami peningkatan.
Harta kekayaannya bertambah Rp67.747.603.287. Masih ada Menteri Pertahanan, Prabowo
Subianto; Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono; dan tak kalah menarik
ada Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas dengan harta kekayaan melejit selama hampir
setahun pandemi, yakni naik 10 kali lipat, mencapai Rp10 miliar. Benar-benar fantastis
bagi sebagian besar rakyat, tetapi bagi mereka yang sudah terbiasa bergelimang harta,
kenaikan itu masih dianggap berada dalam batas kewajaran.
Sementara, rakyat golongan bawah dipaksa harus menerima hidup
pas-pasan, bahkan kekurangan, menerima jika harga bahan pokok naik, pengangguran
meningkat, dan anak-anaknya putus sekolah karena tak memiliki biaya. Bahkan
ironinya lagi mereka (para pejabat) pernah berkata “Kita sama-sama harus bersabar
menghadapi kondisi saat ini.”
Satu sisi rakyat diminta untuk bersabar & tidak berputus asa, tetapi pada waktu yang sama,
para pejabatnya meningkatkan jumlah harta. Utang dan derita biar saja rakyat yang
menanggung, sedangkan para pejabat berada di panggung (kekuasaan) menikmati kehidupan
dengan penuh sumringah.
Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun,
turut bersuara. Menurutnya, bertambahnya kekayaan para pejabat dikarenakan mereka
memiliki bisnis selain pekerjaannya sebagai pejabat negara. (poskota.co.id, 12/9/2021).
Namun, publik patut bertanya terkait bisnis apa yang mendatangkan keuntungan miliaran
rupiah selama pandemi setahun ini? Sebab, secara politik, hal ini dinilai para pejabat
tak memiliki etika politik. Pejabat publik ialah pelayan rakyat, mereka dipilih
untuk mengurusi urusan & kepentingan rakyat, memenuhi kebutuhan mereka,
bukan justru sibuk menjadi pengusaha. Alih-alih gencar dalam mencari solusi atas
kondisi hidup rakyat yang tak karuan, justru mereka terobsesi untuk semakin
kaya walau ditengah kondisi yang tak berjaya
Namun, fenomena tersebut justru membuka mata & pikiran
publik, bahwa ini semua adalah hasil didikan sistem sekuler demokrasi yang mendorong
masyarakat untuk terus berorientasi pada materi, inilah akibat diurus oleh sistem
yang bathil maka hasil cetakannya pun tidak jauh berbeda dari sang pendidik.
Siapa yang tidak mengenal
sosok Umar bin Abdul Aziz, beliau merupakan Khalifah pada masa Umayyah yang cakap
dan berhasil menyejahterakan rakyat. Salah satu indikator makmurnya rakyat terlihat
ketika para amil zakat berkeliling kampung hingga ke Afrika untuk membagikan zakat,
tetapi tak ditemukan satu orang pun yang mau menerima zakat. Padahal, kondisi keuangan
negara surplus. Khalifah Umar bahkan memberikan subsidi bagi warganya yang membutuhkan
biaya menikah serta menebus utang-piutang yang ada di tengah rakyat. Selama berkuasa,
ia memang tidak pernah berniat menumpuk harta untuk kepentingan pribadi. Ia Justru
menyerahkan hartanya untuk khas negara, menolak tinggal di istana, bahkan meminta
istrinya, Fatimah binti Abdul Malik, menyerahkan perhiasannya ke khas negara. Sungguh
sosok pejabat yang tak gila harta.
Bahkan dalam Islam, seorang penguasa atau pejabat haram mengambil
harta yang bukan haknya, apalagi memanfaatkan jabatannya untuk hal tersebut. Seperti
yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ketika meragukan kekayaan seorang
penguasa atau pejabat, ia menyita jumlah kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai
penghasilannya yang sah. Terkadang pula, jumlah kelebihan harta pejabatnya dibagi
dua, separuh untuk yang bersangkutan dan separuh lainnya diserahkan kepada kas negara.
Ia pun selalu mencatat dan menghitung kekayaan seseorang sebelum diangkat sebagai
penguasa atau kepala daerah.
Karena dorongan iman & ketakutan akan azab Allah inilah seharusnya
menjadikan penguasa & para pejabat negara berhati-hati dalam mengelola
harta mereka, apalagi sampai bisa bertambah dalam kondisi masyarakat yang belum
stabil bahkan banyak yang kurang mampu, sehingga keseriusan negara sebagai
pelayan rakyat sangat perlu dipertahankan.
Zaid bin Aslam mendengar ayahnya berkata, “Pada suatu hari, Umar
bin Khaththab mengatakan kepada kami, ‘Aku mengetahui kekayaan yang kalian peroleh,
jika ada di antara kalian ada yang mempunyai kekayaan dari kekayaan negara yang
berada di bawah pengawasan kami, janganlah kalian menggampangkan sesuatu walaupun
berupa pelana keledai, tali, atau pelana unta. Karena semuanya itu adalah milik
kaum muslimin dan setiap orang mempunyai bagian di dalamnya. Jika bagian itu milik
satu orang, ia akan memandangnya sangat besar; dan jika bagian itu milik jemaah
kaum muslimin, mereka akan memandangnya kurang berharga.’ Selanjutnya Khalifah Umar
berkata, ‘Itu harta Allah.' Allahu'alam bissawwab. []
Post a Comment