Oleh Eviyanti
Pendidik Generasi dan Member AMK
Wakil Menteri yang akan berakhir jabatannya akan mendapatkan uang bonus senilai Rp580.454.000 untuk satu periode masa jabatan. Ketentuan pemberian uang penghargaan itu tertuang dalam Pasal 8 Perpres 77/2021 yang merupakan hasil pengubahan atas Perpres Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri (Wamen). Dalam beleid terbaru itu, Jokowi menetapkan pemberian uang penghargaan atau 'bonus' kepada Wamen apabila berhenti atau telah berakhir masa jabatannya.
Seperti yang dikutip oleh tagar.id, Senin (30/08/2021), Adapun besaran bonus yang akan diterima eks Wakil Menteri itu sebesar Rp580.454.000 untuk satu periode masa jabatan. Ketentuan pemberian uang penghargaan itu tertuang dalam Pasal 8 Perpres 77/2021 yang merupakan hasil pengubahan dari beleid sebelumnya.
"Wakil Menteri apabila berhenti atau telah berakhir masa jabatannya diberikan uang penghargaan sebagai Wakil Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," demikian isi Pasal 8 Ayat (1) Perpres 77/2021 sebagaimana dilihat dari salinannya pada Senin (30/8/2021).
"Uang penghargaan bagi Wakil Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak sebesar Rp580.454.000,00 (lima ratus delapan puluh juta empat ratus lima puluh empat ribu rupiah) untuk 1 (satu) periode masa jabatan Wakil Menteri," demikian isi Pasal 8 Ayat (2).
Peraturan ini pun menuai kritik dari publik, di antaranya Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan. Ia mengatakan bahwa para Wakil Menteri tidak layak menerima bonus tersebut, sebab Indonesia masih dilanda pandemi yang menyebabkan pendapatan keuangan negara mengalami kontraksi luar biasa.
Lagi pula para Menteri dan Wakil Menteri sudah mendapat gaji, tunjangan reguler, tunjangan kinerja dan fasilitas lainnya yang sudah mencukupi. Misbah menilai seharusnya anggaran itu dialokasikan untuk percepatan vaksinasi virus Covid-19 yang faktanya masih timpang antar daerah atau bisa untuk menambah bansos dan bantuan UMKM. (cnnindonesia.com, 31/8/2021)
Sungguh ironi, pemerintah mengeluarkan regulasi yang menjamin jabatan Wamen mendapat kompensasi ratusan juta, di tengah kesulitan rakyat yang menghimpit. Bukan hanya mempertontonkan hilangnya sense of crisis tapi makin menguatkan pandangan publik bahwa jabatan ini hanya bagian dari politik balas budi dan politik kekuasaan.
Minimnya rasa empati para pejabat terhadap nasib rakyat adalah buah dari pelaksanaan sistem demokrasi. Mengurus rakyat akan dilakukan setengah hati sedangkan melayani para korporasi dengan segenap hati.
Tentu situasi ini sangat berbeda dengan sistem Islam yang dipimpin oleh seorang yang amanah. Di dalam sistem Islam, seorang pemimpin atau Khalifah, mendapat amanah dari rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahannya. Sebagai pemimpin, kedudukan Khalifah adalah pelayan rakyat yang memiliki tanggung jawab penuh untuk mengatur urusan umat.
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, Khalifah dibantu Mu’âwinûn at-Tafwîdh dalam bidang pemerintahan. Ia diangkat Khalifah untuk bersama-sama memikul tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Pejabat-pejabat lain seperti Wali, Qadhi, diangkat untuk membantu menyelesaikan berbagai permasalahan. Di dalam struktur pemerintahan, ada departemen-departemen mengatur kemaslahatan umat seperti Departemen Pendidikan, Departemen Peridustrian, dan Departemen Kesehatan.
Semua pejabat diingatkan akan beratnya amanah yang dipertanggungjawabkan di dunia juga di akhirat.
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رضي الله عنه قاَلَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: “ماَ مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ، وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Ma’qil bin Yasar Radiyallahu anhu ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Sallallahu Alayhi Wasallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang diserahi Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia meninggal dunia dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, kecuali Allah mengharamkannya masuk surga.” (Muttafaqun ‘alaih)
Wallahu a’lam bishshawab.
Post a Comment