Bonus Fantastis untuk Wamen, Bukti Hilangnya Sense Of Crisis


Oleh : Rosmita

Di tengah kesulitan rakyat yang terus menghimpit, akibat pandemi yang tak kunjung usai. Pemerintah justru mengeluarkan regulasi yang menjamin jabatan wakil menteri mendapat kompensasi ratusan juta rupiah. 

Seorang wakil menteri akan mendapatkan uang penghargaan sebesar Rp580.454.000 untuk satu kali periode masa jabatan. 

Adapun pemberian uang penghargaan mengacu pada berapa lama masa jabatan. Masa jabatan satu tahun akan mendapat 20% dari angka maksimal uang penghargaan, masa jabatan dua tahun 40%, masa jabatan tiga tahun 60%, masa jabatan empat tahun 80%, masa jabatan lima tahun 100%.

Aturan ini berlaku setelah Jokowi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77/2021 tentang Wakil Menteri pada 19 Agustus yang lalu. (CNBC.Indonesia, 30/8/2021) 

Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, kebijakan tersebut mengarah pada efisiensi di pemerintah pusat. 

Apapun alasannya, kebijakan memberikan uang penghargaan terhadap para wakil menteri hingga ratusan juta rupiah tetaplah tidak bisa dibenarkan. Di saat rakyat sedang mengalami kesulitan bahkan sekedar untuk makan. Kenapa pemerintah malah memberikan bonus yang begitu besarnya kepada para wakil menteri. Padahal kinerja mereka juga tidak optimal, terbukti dari berlarut-larutnya pandemi karena penanganan yang lamban. Bahkan banyak menimbulkan korban. 

Seharusnya uang tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat yang terdampak pandemi. Ini sebaliknya rakyat dibiarkan kelaparan selama PPKM diberlakukan tanpa memberi bantuan. Giliran untuk para pejabat, pemerintah tak segan-segan menggelontorkan uang. 

Ini bukti hilangnya sense of crisis di tubuh pemerintah. Hal ini semakin menguatkan pandangan publik bahwa jabatan yang diemban oleh para pemangku kekuasaan hanya bagian dari politik balas budi. Para pejabat hanya memikirkan kepentingan dirinya, partainya dan para kapitalis pendukungnya. Tak peduli rakyat sengsara asal mereka bisa mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. 

Dalam sistem kapitalisme, untung rugi menjadi standar penguasa dalam mengurus rakyatnya. Suatu kebijakan hanya akan ditetapkan apabila mendatangkan keuntungan bagi dirinya dan kelompoknya saja. Namun, bila dirasa merugikan, maka tidak akan diterapkan. Contohnya, pada masa pandemi ini seharusnya dari awal pemerintah melakukan karantina wilayah untuk mencegah penyebaran wabah tetapi hal ini tidak dilakukan karena dalam UU apabila pemerintah melakukan karantina wilayah maka negara wajib memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Pemerintah malah mengambil kebijakan PSBB yang berakibat pada melonjaknya kasus covid-19. 

Bukti lain dari hilangnya sense of crisis pemerintah adalah di masa pandemi yang tak kunjung berakhir pemerintah sempat-sempatnya melakukan pengecatan pesawat kepresidenan. Tak tanggung-tanggung dana yang dikeluarkan sebesar 2 miliar rupiah. Anggota Komisi ll DPR-RI, Guspardi Gaus menilai, hal tersebut menunjukkan Istana kurang peduli terhadap kondisi rakyat saat ini yang sedang berjuang menghadapi pandemi. 

Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan bahwa pejabat harus memiliki sense of crisis. Kepekaan terhadap kondisi sosial yang menimpa rakyat saat ini. Namun, pernyataan tinggallah pernyataan tak mungkin jadi kenyataan. Faktanya, jurang persepsi antara harapan publik dengan kinerja pemerintah semakin menganga.

Lalu masihkah kita berharap kepada pemimpin yang tak memiliki sense of crisis? 

Pemimpin dalam Islam

Pemimpin dalam Islam bertugas mengurus urusan umat, maka pemimpin dalam Islam akan mendahulukan kepentingan umat daripada kepentingan dirinya bahkan keluarganya. 

Seperti Umar bin Khattab yang hanya memakan roti kering dan minyak zaitun walaupun pada saat itu dia menjabat sebagai seorang khalifah yang memimpin duapertiga dunia. Beliau keliling pada malam hari untuk memeriksa apakah ada rakyatnya yang kelaparan. Bahkan beliau memanggul sendiri karung gandum dan memasaknya untuk diberikan kepada seorang ibu dan anaknya yang kelaparan. Luar biasa. 

Rasulullah saw. pun sebagai seorang pemimpin sekaligus utusan Allah hidup sederhana, tidur beralaskan tikar bahkan Rasulullah pernah mengikat perutnya dengan batu untuk menahan rasa lapar. Tidak seperti para raja di zaman Nabi atau  pemimpin masa kini yang hidup bergelimang harta dan fasilitas mewah. 

Pemimpin dalam Islam adalah pemimpin yang amanah, mereka takut jika tidak berbuat adil akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat kelak. 

Rasulullah saw bersabda : "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari) 

Selain itu pemimpin dalam Islam dipilih dengan cara baiat oleh umat sehingga tidak memerlukan biaya yang besar. Maka pemimpin yang terpilih tidak perlu melakukan politik balas budi kepada para pendukungnya. Dengan demikian setiap kebijakan yang diambil adalah demi kemaslahatan umat dan sesuai dengan hukum syara bukan berdasarkan kepentingan pribadi, partai atau kapitalis. Sehingga kepemimpinan dalam Islam bebas dari politik oligarki. 
Wallahu a'lam bishshawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post