APBN dalam Sistem Kapitalis Menimbulkan Krisis

Oleh: Yulianti Rizki

Mahasiswi di Kota Depok

 

Akhir Juli 2021 Indonesia digemparkan dengan pernyataan Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan Kabinet Indonesia periode 2019-2024, yang buka-bukaan terkait alasan pemerintah harus menambah utang negara saat kondisi pandemi Covid-19. Menurutnya utang diperlukan guna menutup defisit yang semakin membengkak karena pengeluaran pemerintah yang besar. Apalagi di masa pandemi pemerintah harus jor-joran menyediakan anggaran untuk penanganan kesehatan dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia. Belum lagi, risiko rusaknya perekonomian negara.

Dukungan pun datang dari Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, yang ditunjukkan dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana sebesar Rp124,13 triliun. Dan pemerintah pun menambah anggaran pemulihan ekonomi nasional dari Rp699,43 triliun menjadi Rp744,75 triliun

Namun, alih-alih menyelesaikan masalah, sebenarnya pemerintah di masa yang akan datang akan mendapatkan warisan beban utang dari pemerintah saat ini.

Sebenarnya pada revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terjadi defisif hingga 6,34% atau diperkirakan Rp1.039 triliun dan akan menjadi beban anggaran selama 10 tahun mendatang. Melonjaknya nilai pembiayaan utang pada 2020, membuat lebarnya defisit APBN. Merujuk pada peraturan presiden nomor 72 tahun 2020, pembiayaan utang 2020 mencapai Rp1.039,22 triliun, melonjak 158,4% dibanding tahun sebelumnya. Inilah kondisi APBN dalam sistem kapitalis, bukan menjadi solusi tapi malah menimbulkan krisis.

Selain itu, rasio pembayaran utang terhadap pendapatan yang naik di era Presiden Jokowi. Ditambah dana yang mengendap dan bocor di daerah, serta pembiayaan PMN dan BMN sakit yang berpotensi menjadi masalah di masa depan. Sementara itu rasio penerimaan perpajakan terus menurun dari 10,65% sebelum pandemi menjadi 8,69%. Tapi kondisi ini tidak menurunkan tekat pemerintah untuk berutang demi menutupi defisit APBN yang besar akibat alokasi anggaran yang sangat besar.

Mirisnya di tengah besarnya alokasi anggaran APBN terutama penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional sejak tahun lalu dampaknya kurang maksimal dirasakan masyarakat. Indonesia malah menduduki posisi nomor 1 di dunia yang paling banyak terinfeksi virus corona.

Dalam sistem kapitalisme yang diterapkan di berbagai negeri saat ini, sumber pemasukkan negara bersumber dari utang dan pajak. Jika APBN mengalami defisit dan pajak tersendat, maka utang luar negeri satu-satunya pilihan, karena berutang adalah satu-satunya cara yang ditempuh untuk mengatasi krisis ekonomi dan berkepanjangan dan APBN yang makin berat.

Di sinilah bobroknya sistem kapitalisme, secara potensi negeri ini punya modal besar untuk menjadi negara makmur sejahtera, sumber daya alam begitu melimpah ruah, tambang, energi, pertanian, hutan, laut, semuanya ada. Namun semua itu tidak berguna, sebab pengelolaannya telah diserahkan pada pihak swasta. Menjadikan negeri ini hanya mengandalkan berutang, padahal diakui atau tidak, utang telah menjadi alat penjajahan untuk semakin melanggengkan agenda penjajahan di negeri Muslim.

Kondisi ini jauh berbeda dengan Islam. Dalam tata aturan ini terdapat pengaturan sistem keuangan, pengelolaan kas di dalam Islam sangat unik, berbeda dengan kapitalisme. Sistem ini akan menjaga kas negara minus atau bocor.

Pada masa kepemimpinan Islam, sesulit apa pun kondisi yang terjadi pada masa itu misalnya dalam keadaan wabah, negara tetap tidak akan berutang  ke negara luar, apalagi kepada negara yang memusuhi Islam. Terlebih lagi utang yang jelas berpotensi riba dan hukumnya haram dalam syariat untuk dilakukan.

Jika negara kekurangan anggaran, dengan terpaksa menarik pajak kepada beberapa kelompok yaitu  kepada Muslim yang memiliki harta berlimpah tapi sebatas untuk mencukupi kekurangan anggaran sampai terpenuhi.

Inilah sekilas gambaran sistem APBN dalam Islam. Dalam sistem keuangan Islam, ada beberapa rincian yakni: Pertama, khalifah sebagai pengatur APBN. Maka, Islam memiliki metode pemilihan khalifah yang khas. Saat pemilihan khalifah harus memenuhi syarat yang ketat, di antaranya Muslim, baligh, berakal, merdeka, mampu dan adil. Itu dilakukan agar muncul seorang pemimpin yang imannya kuat, amanah dengan tugasnya dan senantiasa berhati-hati dalam mengatur keuangan negara.

Kedua, pemasukan APBN dalam sistem Islam tetap dan jumlahnya beragam. Kas APBN dibagi menjadi pos zakat, kas negara dan kepemilikan umum. Kas zakat diisi oleh para muzakki (orang yang wajib membayar zakat). Kas negara diisi oleh jaziyah, ganimah, fai, kharaj, termasuk harta tak bertuan yang diperoleh dari harta yang tak memiliki ahli waris atau harta yang dikembalikan oleh orang-orang yang berlaku curang. Sedangkang kas kepemilikan umum didapat dari hasil pengelolaan sumber daya alam.

Ketiga, ketatnya pengeluaran. Aktivitas pembiayaan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penting, tidak dibenarkan kebutuhan tersebut melanggar hukum syariat, sehingga kas negara tidak akan mudah bocor dikarenakan penggunaan yang boros.

Keempat, pengawasan yang teliti. Pembelanjaan negara akan selalu diawasi oleh rakyat, majlis umat, majlis wilayah, hingga partai politik. Peluang berlaku curang dalam memanfaatkan kas APBN akan diminamilisir. Jika ada kesalahan sedikit saja akan langsung diingatkan. Semua ini berjalan atas dorongan iman, saling menasihati dengan kasih sayang.

Itulah empat hal yang akan diterapkan dalam sistem Islam sehingga akan terhindar penggunaan APBN yang tidak tepat dan terhindar dari riba yang haram.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post