Oleh Cahyani Pramita, SE
(Pemerhati Sosial Masyarakat)
Semakin lama pandemi berlangsung, semakin besar pula dampaknya di berbagai sektor kehidupan. Tidak hanya sektor kesehatan, tapi juga sektor ekonomi hingga pendidikan. Termasuk diantaranya yaitu banyaknya mahasiswa putus kuliah.
Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) angka putus kuliah mahasiswa perguruan tinggi pada akhir 2020 naik menjadi sekitar 50% padahal rata-rata tahun sebelumnya, angka tersebut hanya berkisar pada pada 18%. Mayoritas kasus terjadi di Perguruan Tinggi Swasta.(voaindonesia, 05/08/2021)
Sepanjang tahun 2020 angka putus kuliah di Indonesia mencapai 602.208 orang. Kondisi demikian tak lepas dari pandemi Covid-19 yang memberi dampak ekonomi kepada masyarakat hingga negara. Dalam situasi wabah, banyak para orangtua yang kehilangan pekerjaan, usaha gulung tikar dan semakin merasakan sulitnya mencari penghidupan.
Angka rata-rata putus kuliah yang paling banyak di Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Hal ini berdampak pada terancam tutupnya PTS karena operasional mereka sangat bergantung pada iuran mahasiswa. Jika sebagian besar mahasiswanya memilih cuti atau berhenti kuliah, tentu mereka tidak mendapat pemasukan untuk mengelola kampus. Alhasil jika PTS tutup maka semakin sedikitlah institusi yang mengambil peran untuk mencerdaskan generasi, mencetak generasi ilmuwan yang kompeten yang melanjutkan estafet negeri ini.
Tingginya angka putus kuliah ini sebenarnya bukan semata karena pandemi namun juga dipengaruhi oleh serangkaian kebijakan terkait pendidikan sejak awal munculnya pandemi. Pada awal munculnya pandemi, mendikbudristek bungkam dalam menghadapi gelombang protes aksi mahasiswa menyangkut UKT. Mahasiswa benar-benar marah karena tak ada keringanan ataupun penurunan UKT sebagai wujud simpati ditengah pandemi kepada rakyat sendiri.
Berselang beberapa waktu baru kemudian pemerintah melalui kemendikbudristek akhirnya memberikan penjelasan bahwa: 1. UKT tidak ada kenaikan, 2. Majelis rektor PTN sudah menyepakati empat skema program keringanan UKT, 3. Mahasiswa yang orangtuanya terdampak pandemi akan diberi bantuan sebesar 400 ribu rupiah melalui program Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Kebijakan tersebut tidak serta-merta menjadi solusi. Namun justru terbentur dengan kebijakan lain seperti kebijakan otonomi kampus di mana implementasi diserahkan pada masing-masing institusi kampus. Sehingga apapun kebijakannya, maka implementasinya tetap “sesuka” atau “sesuai kepentingan” masing-masing kampus.
Alhasil realita berbicara, bagaimana kebijakan terdahulu tak mampu mencegah tingginya angka mahasiswa yang putus kuliah karena tidak mampu membayar UKT. Nadiem Makarim, Mendikbudristek merespon dengan mengeluarkan kebijakan berupa peraturan baru mengenai UKT. Peraturan ini memastikan tidak ada mahasiswa yang putus kuliah karena tidak memiliki uang untuk membayar UKT. Pemerintah menyiapkan anggaran sebesar 745 Milyar rupiah untuk mensubsidi UKT bagi mahasiswa yang tidak mampu. Setiap mahasiswa yang terdampak Covid-19 akan mendapat bantuan sesuai besaran UKT dengan batas maksimal Rp. 2,4 juta per mahasiswa.
Inilah fakta yang kita lihat di negeri ini. Kebijakan demi kebijakan silih berganti dikeluarkan, namun tak kunjung menyelesaikan masalah. Antar kebijakan yang dikeluarkan bahkan bisa tumpang tindih, tak sinergis. Selain itu, juga nampak bahwa kemurahan penguasa memberi bantuan kepada rakyatnya harus disertai syarat dan ketentuan tertentu.
Tak ada bantuan yang benar-benar tulus tak bersyarat bagi rakyat. Dalam segala hal, penguasa selalu berhitung untung-rugi. Posisi mereka bukan sebagai pengurus urusan rakyat melainkan berposisi sebagai penjual jasa atau regulator saja.
Aneka jasa kebutuhan publik diperjualbelikan oleh negara kepada rakyatnya sendiri. Layanan kesehatan, pendidikan, keamanan harus dibeli rakyat dengan harga yang tidak murah. Yang tak punya uang, jangan harap bisa mendapatkan. Subsidi atau bantuan? Ada memang, namun dengan aneka syarat dan ketentuan, bagi kalangan tertentu dan jumlahnya pun ala kadarnya saja tanpa bisa mencover seluruh kebutuhan.
Berbeda jauh dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, pendidikan, kesehatan, keamanan merupakan hak rakyat yang wajib dipenuhi negara. Negara wajib menjamin pemenuhanya dengan sebaik-baiknya, sebagaimana hak dasar seperti sandang, pangan dan papan. Hal ini sejalan dengan ketetapan syariat bahwa fungsi negara adalah “ra’in”, mengurus dan menjaga rakyatnya dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh allah Swt.
Rasul saw. bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin (pengurus) dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban. Maka seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban” (HR. Bukhari)
Sisi ruhiyah (keimanan) dalam sistem Islam (khilafah) begitu kental dimana penguasa akan merasa takut jika abai dalam memenuhi hak-hak rakyatnya. Mereka sangat paham bahwa amanah kepemimpinan bukanlah ajang mencari keuntungan, justru amanah ini kelak bisa menjadi penyesalan. Rakyat ibarat anak-anak yang benar-benar diurus, dijaga, dilindungi kehidupannya. Takkan sedikitpun berhitung untung-rugi dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Support negara khilafah dalam sistem pendidikan begitu besar. Mewujudkan layanan pendidikan gratis dan berkelas bagi seluruh rakyat tanpa unsur bisnis. Visi pendidikan Islam yang mulia hanya akan terwujud saat ada dukungan sistem Islam lainnya. Seperti sistem pemerintahan Islam yang berbentuk khilafah yang menjadikan akidah dan syariah sebagai landasan dan tuntunan, bukan sistem sekuler yang tak kenal halal-haram.
Selain itu juga butuh sistem ekonomi yang kuat yang menjadikan khilafah memilikki sistem keuangan yang tangguh sebagai modal menyejahterakan rakyat, termasuk juga menggratiskan semua layanan publik dengan layanan yang optimal. Memberi gaji dan fasilitas pendidikan, hingga uang saku pelajar, fasilitas maksimal untuk perpustakaan, support penuh untuk penelitian yang semua serba mencengangkan. Sungguh semua terwujud dengan sistem Islam kafah dalam bingkai khilafah. Bukan dengan sistem sekular kapitalisme yang mengejar keuntungan materi selalu.
Wallahu a’lam bishshawab
Post a Comment