Oleh Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember, Penulis Bela Islam AMK
Insiden perusakan masjid dan pembakaran bangunan milik Jemaat Ahmadiyah di Balai Gana, Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat dirusak oleh sekitar dua ratus orang tak dikenal bakda salat Jumat (3/9/2021).
Menurut Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes Donny Charles Go mengatakan perusakan itu merupakan buntut dari penolakan masyarakat sekitar terhadap keberadaan Jemaat Ahmadiyah di desanya.
Saat ini pihaknya sudah berhasil mengamankan anggota Ahmadiyah yang berjumlah 20 KK atau 72 orang. Juga mengamankan pelakunya diduga sebanyak sepuluh orang. Tidak ada korban jiwa, situasi sudah terkendali, dan massa sudah kembali, kata Donny. (liputan6.com, 5/9/2021)
Kejadian tersebut mengundang kecaman dari berbagai pihak. Di antaranya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sama-sama mendesak aparat untuk mengusut dan menindak tegas semua oknum yang melakukan perusakan.
Sekretaris Jendral PBNU, Helmy Faishal Zaini mengajak semua pihak untuk menghormati hukum dan perundang-undangan. Negara ini bukan negara bar-bar, tapi negara hukum. Seharusnya mengedepankan dialog antar umat beragama atau antar madzab dan keyakinan, agar dapat hidup dalam satu ikatan kebersamaan dan kekeluargaan. (CNNIndonesia.com, 5/9/2021)
Jika sekiranya dari awal, negara hadir dan bersikap tegas terhadap Jemaat Ahmadiyah yang melanggar hukum atau undang-undang, maka tidak akan terjadi insiden konflik antarwarga. Justru keadaan menjadi berbalik, oleh pihak-pihak tertentu digunakan untuk menyudutkan dan menyerang Islam seakan intoleransi.
Bahkan, lembaga yang mewakili aspirasi umat Islam yakni MUI pun dituduh sebagai pemicunya.
Sebagai bukti, adanya sejumlah pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) yang menilai akar masalah intoleransi bersumber dari SKB tiga Menteri tahun 2008, yakni tentang pelarangan kegiatan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Fatwa Ahmadiyah adalah ajaran sesat. Lebih dari itu, desakan elemen masyarakat sipil menuntut untuk mencabut fatwa MUI yang dinilai sebagai pemicu persekusi dan penyerangan terhadap masjid dan bangunan Ahmadiyah.
Tentu saja, MUI yang menjadi pihak tertuduh tidak tinggal diam. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerukunan Antarumat Beragama, Yusnar Yusuf menyanggah tudingan yang tidak mendasar tersebut, dimana fatwa MUI dituduh sebagai pemicu konflik. Untuk diketahui bahwa fatwa MUI terbit pada Juli 2005 yang diteken oleh Ketua Komisi Fatwa MUI periode 2001-2007, Ma'ruf Amin, yang kini menjabat Wakil Presiden RI. Yusnar menambahkan, bahwa untuk menyusun sebuah fatwa berdasarkan kronologis, fakta sejarah, dan fakta di lapangan.
Fatwa yang menyebutkan bahwa Jemaah Ahmadiyah dianggap menyimpang, sesat, dan harus dibubarkan oleh pemerintah. Alasan utamanya, karena Ahmadiyah mengakui nabi setelah Nabi Muhammad saw. yakni Mirza Ghulam Ahmad, ujar Ma'ruf saat rapat dengan komisi VIII DPR (17/2/2011).
Wakil Ketua MUI Anwar Abbas ikut bersuara, sangat menyayangkan mereka yang membela Ahmadiyah, "Aneh, menuntut MUI untuk mencabut fatwanya, seharusnya mereka meminta Ahmadiyah untuk tidak mengacak-acak pokok-pokok ajaran agama Islam yang ada."
Jadi, Ahmadiyah bukan Islam, tetapi aliran sesat yang menyesatkan. Bahkan melanggar UU Penodaan agama khususnya pasal 2 ayat 2 disebutkan, "Apabila ada penodaan agama dilakukan oleh organisasi, maka harus dibubarkan setelah ada pertimbangan Menteri Agama dan Presiden."
Ironis, bukannya dibubarkan justru Menteri Agama, Yaqut Chalil Qoumas, sehari setelah pelantikannya berjanji akan memberikan perlindungan kepada Syiah dan Ahmadiyah. Akibatnya, menuai kecaman dari berbagai pihak termasuk dari MUI. Di mana peran negara selama ini ? Alih-alih menjaga dan melindungi agama, yang ada justru kebijakannya yang selalu memancing kontroversi. Apalagi, Ahmadiyah selalu berulah sebagai sumber konflik antarwarga yang kerap terjadi. Sungguh negara abai.
Wajar, jika membuat umat Islam marah karena agamanya diobok-obok.
Nabinya dihina, kitabnya dilecehkan. Ulamanya dikriminalisasikan, dan dizalimi.
Dampaknya, terjadi konflik antarwarga, umat terpecah belah. Inilah yang dikehendaki oleh musuh Islam.
Sesungguhnya biang kerok dari semua permasalahan adalah negara mengadopsi sekularisme, yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem yang menafikan agama. Agama dilarang untuk mencampuri urusan publik baik urusan bermasyarakat maupun bernegara. Akibatnya, umat Islam jauh dari agamanya. Fatalnya, umat tidak bisa membedakan aliran sesat yang menyimpang dari Islam.
Dengan ide kebebasan beragama, berdalih toleransi, dan hak asasi manusia, mereka dibiarkan dengan alasan mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. Mereka diberikan kebebasan untuk menyebarkan keyakinannya, meskipun menyimpang dan membahayakan akidah umat Islam lainnya. Miris, negara yang berpenduduk muslim terbesar justru sebagai tempat tumbuh kembangnya aliran sesat. MUI mencatat ada 300 lebih aliran sesat di Indonesia sudah terpantau sejak 1995 hingga (21/1/2016). Tidak tahu sekarang berapa jumlahnya. Ini membuktikan bahwa negara abai tidak mampu menangani dan menghilangkan eksistensi aliran sesat di tengah masyarakat.
Hanya sistem Islam yakni khilafah yang dapat melindungi agama dan menghilangkan aliran sesat. Karena asasnya akidah Islam maka mendorong semua individu untuk memiliki keimanan yang kuat.
Solusinya bukan dengan meningkatkan toleransi antarwarga, karena Islam mengharamkan toleransi terhadap kesesatan. Namun, khilafah akan memberikan edukasi pada publik untuk melindungi akidah dan agama warganya melalui pendidikan formal maupun informal.
Dalam Islam tidak ada paksaan dalam beragama (QS. al-Baqarah [2]: 256), oleh sebab itu jika seseorang keluar dari Islam dihukumi murtad dan akan diberikan sanksi tegas berupa hukuman mati. Namun, terlebih dahulu diperingatkan untuk bertobat. Pemberian sanksi tegas supaya memberikan efek jera bagi pelaku serta mencegah yang lain melakukan hal yang sama. Di samping itu, sanksi hukuman yang diterima akan menjadi penebus dosa. Inilah, keistimewaan hukum Islam yang tidak dimiliki oleh hukum positif negara sekuler. Itulah cara khilafah melindungi dan menjaga agama.
Bagaimana khilafah melindungi umat dari aliran sesat? Yakni dengan melarang dan membubarkan organisasinya, serta menghentikan aktivitasnya. Kemudian anggotanya akan dibina agar kembali pada Islam.
Dalam sejarahnya, sejak negara Islam didirikan oleh Rasulullah saw. hingga sistem kekhilafahan setelahnya, umat Islam hidup rukun berdampingan dengan nonmuslim (Yahudi, Nasrani, Majusi dan lainnya). Mereka disebut kafir dzimmi, karena tunduk pada aturan Islam. Oleh sebab itu, darah, harta, dan jiwanya dalam perlindungan khilafah.
Khilafah tidak hanya memberikan jaminan beragama dan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Namun, juga menjamin kebutuhan pokok mereka, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Rasululluh saw. bersabda:
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)
Secara empiris, hanya sistem Islam yakni khilafah yang mampu mengurusi dan mengatur masyarakat yang heterogen dengan baik berdasarkan syariat Islam secara kafah. Sebab, khilafah memiliki kewajiban untuk menjaga agama, akal, kehormatan, harta, jiwa, dan keamanan warga negaranya.
Wallaahu a'lam bishshawaab.
Post a Comment