Oleh: Laelasari
Karyawan Swasta
Pancasila
yang seharusnya dijadikan dasar atau pondasi bagi berdirinya negara kesatuan
Indonesia dan menjadi pedoman dalam kehidupan bernegara ternyata belum bisa
terealisasi dengan baik dalam semua aspek kehidupan warganya. Banyak kita lihat
terjadinya penyimpangan dari lima sila yang ada. Salah satunya pada sila keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yaitu dalam kasus putusan vonis atas kasus
Habib Rizieq Shihab (HRS) yang dijatuhkan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur,
Kamis 26 Juni 2021.
HRS
adalah seorang ulama besar yang selalu ingin menegakkan amar makruf nahi mungkar,
dan ulama yang mempunyai pengaruh besar bagi umat Muslim di Indonesia. Ulama
sejatinya adalah pewaris Nabi yang melanjutkan dakwah Islam sesuai dengan
ajaran Nabi, menyuarakan kebenaran dan kezaliman. Keberadaan ulama sangat
dibutuhkan oleh umat di tengah kehidupan sekuler sekarang karena umat bingung
dan tak mampu membedakan yang hak dan batil. Selayaknya kita menghormati dan
memuliakan para ulama karena mereka yang menjadi pengarah agar umat tidak
semakin tersesat dalam hidupnya.
Hal
yang sebaliknya terjadi pada HRS, karena beliau adalah ulama yang kritis pada
penguasa karena melihat ketidakadilan dan kezaliman yang ada, maka sepertinya
beliau menjadi incaran dan hambatan yang harus dibungkam suara dan kebebasannya
karena dapat menganggu kelangsungan pemerintahan sekuler yang ada sekarang.
Banyak
kasus yang dituduhkan kepada HRS. Mulai dari kasus chat mesum, organisasi
terlarang, kasus kerumunan di masa pandemi Covid dan yang terakhir kebohongan
hasil tes swab di RS Ummi Bogor. Di antara hukuman yang diberikan terhadap
kasus HRS yang sudah terjadi yaitu
pelarangan dan penutupan organisasi FPI yang dipimpinnya, hukuman 8 bulan
penjara atas kasus kerumunan di Petamburan, denda sebesar 20juta atas kasus
kerumunan di Mega Mendung dan yang terakhir seakan tidak ingin melihat HRS
hidup bebas normal seperti masyarakat biasa
adalah vonis putusan 4 tahun penjara untuk kasus kebohongan hasil tes
swab di RS Ummi Bogor yang dirasa banyak kalangan seperti vonis yang
mengada-ada apabila dibandingkan dengan kasus serupa yang lain.
Hakim menilai HRS bersalah melanggar Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP lantaran
dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyampaikan kabar bohong
atas kondisi kesehatannya selama dirawat di RS UMMI. Selain itu, hakim juga
menilai dari kebohongan yang disiarkan oleh HRS dianggap telah menerbitkan
keonaran di tengah masyarakat.
Vonis hukuman yang diberikan ke HRS dalam kasus ini banyak
mendapat perhatian dari berbagai kalangan karena dirasa sangat tidak adil dan
mengada-ada apabila dibandingkan dengan banyak kasus lain yang serupa atau
dirasa lebih besar seperti kasus korupsi
yang jelas merugikan negara tapi hanya mendapatkan vonis hukuman yang
sama atau bahkan lebih sebentar.
Fadli Zon, anggota Komisis I DPR RI Fraksi Gerindra,
menyatakan adanya ketidakadilan dalam vonis tersebut dan terjadi inkonsitensi
penerapan peraturan protokol kesehatan dan berita bohong dalam beberapa kasus.
Vonis tersebut dianggap berlebihan (news.detik.com, 25/6/2021).
Senada dengan itu Lieus
Sungkharisma, kooordinator Forum Rakyat, melihat vonis 4 tahun penjara terhadap Habib Muhammad
Rizieq Syihab (HRS) oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur membuat
telah melukai rasa keadilan (rmolbanten.com, 22/6/2021)
Kejadian
ini semakin menguatkan buruknya wajah pengadilan di negeri ini. Akhirnya akan
berujung pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan supremasi hukum
yang ada. Dalam negara yang menganut sistem kapitalis seperti Indonesia,
manfaat adalah tolok ukur untuk menilai sebuah perbuatan, termasuk tindak
kejahatan. Ketika manfaat itu menjadi pertimbangan dalam memandang sebuah kejahatan
maka bisa dikatakan standar kejahatannya akan berubah-ubah. Jika perbuatan
dianggap merugikan pihak penuntut, maka itu akan dianggap sebagai sebuah
kejahatan.
Demikian
sebaliknya, Bisa dilihat dalam kasus HRS di atas dan kasus Menteri yang
sama-sama menyembunyikan hasil swabnya padahal posisinya adalah pejabat
pemerintah yang berhubungan dengan banyak orang. Namun, tidak ada tuntutan
hukum kepadanya. Karenanya asas manfaat ini sebenarnya tidak layak untuk
dijadikan landasan untuk menilai sebuah kejahatan. Hukum tidak lagi menjaga
keadilan tapi dijadikan untuk menjaga kekuasaan. Hukum tunduk atas kepentingan
para pemilik modal.
Sedangkan
dalam sistem hukum dan peradilan Islam merupakan kesatuan sistem yang terpancar
dari akidah Islam. Hukum yang mengikat dalam kehidupan semuanya bersumber pada
Al-Qur’an dan Sunah, tidak ada intervensi dari pihak manapun di dalam hukum.
Keputusan dalam pengadilan Islam harus diambil hakim tidak boleh didasarkan oleh dugaan dan prasangka serta hasil putusnnya harus dihormati dan dilaksanakan sebagai bukti takwa terhadap hukum Allah. Di dalam hukum Islam, semua sama di mata hukum, penguasa dan rakyat berkedudukan sama. Inilah semua harapan dan doa kita, di saat syariat Islam diterapkan dan tegak maka keadilan dapat memberikan kenyamanan dan keberkahan buat semua umat manusia beserta makhluk hidup lainnya.
Dan
seperti apa yang diucapkan HRS kepada hakim seusai sidang vonis “Sampai jumpa
di pengadilan akhirat.” Semua yang dilakukan oleh manusia semua akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah yang menguasai hari akhir atau hari
pembalasan. Wallahu a’lam bishawab.[]
Post a Comment